Sistem Pajak Indonesia Dianggap Ngerepotin, yang Bener?

Oleh: Fikri Harris, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“DJP emang instansi paling ngerepotin dah, kita udah bayar, kita disuruh lapor, tiba-tiba kita disuruh pemadanan NIK sama NPWP kita, mereka kerja apa sih, bubarin aja udah lah.”
Yang dimaksud NIK adalah Nomor Induk Kependudukan, dan NPWP adalah Nomor Pokok Wajib Pajak. Keluhan tersebut kerap kali keluar dari mulut wajib pajak sebagai kritikan terhadap sistem perpajakan di Indonesia. Akan tetapi, wajib pajak tidak sadar bahwa dengan diterapkannya sistem ini justru memberikan keuntungan nomplok alias bonanza bagi mereka.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini memberikan wewenang dan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menentukan besaran pajak terutang wajib pajak itu sendiri. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan yang bersifat sukerala untuk memenuhi kewajiban pajaknya.
Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian serta kepercayaan wajib pajak terhadap mekanisme perpajakan di Indonesia. Harapannya, Indonesia dapat memberikan kebijakan pajak yang berkeadilan.
Sistem ini disebut dengan self assessment system.
Sejarah Kebijakan Pajak Indonesia
Sejak masa orde baru, tulang punggung penerimaan Indonesia berasal dari sektor minyak bumi. Sehingga gejolak harga minyak dunia pada tahun 1980-an memberikan dampak besar terhadap perekonomian Indonesia.
Merespons situasi yang terjadi, Ali Wardhana selaku Menteri Keuangan saat itu memutar otak agar dapat mengoptimalkan sumber penerimaan lainnya. Lantas, beliau melakukan penyusunan reformasi pajak dengan menggandeng Harvard Institute for International Development.
Tujuan utama dari reformasi pajak ini adalah menyederhanakan sistem administrasi pajak agar dapat meningkatkan tax ratio atas pajak non-minyak bumi terhadap porduk domestik bruto (PDB). Pemerintah ingin menguatkan sumber penerimaan negara yang bukan berasal dari minyak bumi.
Alhasil, pada tahun 1983-1985 pemerintah menerbitkan lima dasar hukum pajak Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU BM). Reformasi ini sekaligus mengubah sistem official assessment menjadi sistem self assessment.
Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung antara wajib pajak dan petugas sehingga menghindari praktik suap dan gratifikasi. Pada sistem pemajakan yang baru, wajib pajak diberikan kesempatan menghitung jumlah pajak yang harus mereka bayar. Reformasi pajak ini memberikan dampak yang signifikan, terbukti sampai saat ini sektor perpajakan konsisten mendominasi sumber penerimaan negara.
Self Assessment
Perlu diakui, saat ini masih terdapat pro dan kontra terhadap kebijakan ini. Masyarakat berpendapat kebijakan ini hanya menguntungkan pegawai pajak saja, lantaran dengan pelaporan mandiri, tugas pegawai pajak menjadi berkurang.
Pendapat masyarakat tersebut tidak sepenuhnya salah, karena kewajiban perhitungan dan pembayaran pajak diserahkan kepada wajib pajak, membuat DJP tampak "hanya" perlu fokus melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Sistem ini meningkatkan efesiensi pemungutan pajak sehingga dapat menekan beban negara untuk membayar gaji pegawai pajak. Selaras dengan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menerapkan kebijakan zero growth dalam pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan Kementerian Keuangan termasuk DJP.
Di sisi lain, penambahan kewajiban wajib pajak ini justru memberikan keleluasaan kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang harus dibayakan. Tentunya penghitungan jumlah pajak yang terutang tersebut harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kepastian hukum ini kemudian ditegaskan oleh pemerintah melalui diberlakukannya UU KUP sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan hal berikut.
“Sepanjang belum dilakukan pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan, maka sepanjang itu pula isi dari SPT yang dilaporkan telah dianggap benar”.
Intinya, penerapan sistem ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela. Akan tetapi, tetap saja timbul keterpaksaan dari wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Wajib pajak menganggap sistem self assessment sebagai beban bagi mereka. Hal ini karena kewajiban mereka semakin banyak yaitu (diawali dari mendaftarkan diri) menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Selain itu, bisa juga seringkali terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak, karena kekurangtahuan atas pemahaman ketentuan perpajakan.
Edukasi Pajak
Minimnya pengetahuan wajib pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku merupakan salah satu penyebab terjadinya kesalahan yang dilakukan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.
Banyaknya ketentuan teknis perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah dipandang menyulitkan wajib pajak untuk memahaminya. Mulai dari teknis perhitungan yang benar, bagaimana cara pelaporan pajaknya hinga jangka waktu yang harus diperhatikan ketika melakukan pelaporan.
Sebenarnya pemerintah telah menyusun seluruh ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini terus dilakukan penyederhanaan agar lebih mudah dipahami. Akan tetapi, pada kenyataannya, tak sedikit wajib pajak yang belum memahami dengan benar mengenai perpajakan. Meskipun demikian, kita tentu perlu mencamkan sebuah prinsip ihwal ketentuan perundang-undangan, bahwa sekali peraturan diundangkan, masyarakat sudah dianggap tahu.
Luasnya wilayah Indonesia dan terbatasnya jumlah petugas pajak menjadi kendala tersendiri bagi DJP untuk melakukan edukasi terhadap wajib pajak. Akan tetapi, DJP terus melakukan terobosan semaksimal mungkin untuk dapat menyosialisasikan ketentuan perpajakan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Pengawasan Kepatuhan
Dengan sistem self assessment, kebenaran dari jumlah pajak yang dibayarkan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan wajib pajak menjadi tantangan tersendiri guna memastikan kebenarannya. Hal tersebut mengakibatkan DJP perlu memaksimalkan fungsi pengawasannya untuk memastikan tingkat kepatuhan dan kebenaran data yang dilaporkan wajib pajak.
Jika berbicara tentang kepatuhan, dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kepatuhan formal dan materila. DJP dapat mengukur tingkat kepatuhan formal melalui pelaporan SPT Tahunan wajib pajak. Sementara, kepatuhan material mengacu kepada kebenaran data yang dilaporkan wajib pajak sehingga masih sangat sulit diukur.
Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap hasil palaporan wajib pajak, DJP mengembangkan sistem Compliance Risk Management (CRM). Secara umum, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara sistematis oleh DJP. Sistem ini didesain untuk memperhatikan risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari setiap wajib pajak.
Pemadanan NIK-NPWP
Kritik masyarakat terkait DJP semakin menjadi ketika terkesan tiba-tiba (padahal sudah berlaku tengah tahun 2022 yang lalu) diperintahkan untuk melakukan pemadanan NIK-NPWP secara mandiri. Padahal, penerapan kebijakan ini justru memberikan kemudahan kepada wajib pajak.
Nantinya, masyarakat dapat memanfaatkan seluruh layanan administrasi pemerintah hanya menggunakan NIK. Kondisi tersebut tentunya menguntungkan wajib pajak, karena mereka hanya perlu menggunakan satu nomor identitas saja sehingga lebih sederhana.
Perlu dipahami, dengan integrasi ini, bukan berarti tidak semua orang menjadi wajib pajak, apalagi harus membayar pajak. Sebab, yang membayar pajak adalah mereka yang mampu dan memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saja. Jika kemampuan ekonominya menengah ke bawah, justru masyarakat akan mendapatkan bantuan sosial sesuai ketentuan.
Bagi DJP sendiri, integrasi NIK menjadi NPWP diharapkan dapat membantu mengurangi shadow economy, apalagi jika di masa mendatang bisa diterbitkan aturan pembatasan transaksi tunai, misalnya transaksi tunai maksimal 100 juta rupiah. Selain itu, DJP dapat semakin mudah melakukan pengawasan terhadap wajib pajak.
Integrasi NIK sebagai NPWP ini sendiri akan berlaku sepenuhnya mulai 1 Januari 2024, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut PMK-112). Menurut PMK-112 yang masih berlaku sampai saat artikel ini ditulis, wajib pajak masih memiliki kesempatan sampai akhir tahun ini untuk melakukan pemadanan secara mandiri.
DJP tentunya berkomitmen untuk menyempurnakan dirinya secara dinamis mengikuti perkembangan zaman. Sinergi DJP dan wajib pajak, untuk sistem pajak yang harmonis.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 435 kali dilihat