Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pendaftaran tanah, sebagai tindakan strategis pemerintah, membuka jalan untuk mencatat dan mengelola kepemilikan tanah secara teratur, permanen, dan berkelanjutan. Dalam perjalanannya, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) muncul sebagai instrumen utama yang dijalankan oleh Petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, di balik upaya ini, timbul pertanyaan krusial terkait kepastian hukum, terutama dalam konteks pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Mengurai Konsep PTSL

Pertama-tama, kita perlu memahami konsep dasar PTSL. Pendaftaran tanah, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, melibatkan "Initial Registration," yakni suatu proses pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan yuridis mengenai tanah yang belum didaftarkan. PTSL adalah bagian integral dari upaya ini, di mana Petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengelola pendaftaran tanah secara sistematis dan menyeluruh. Hal ini mencakup perencanaan, implementasi di lapangan, dan pemahaman holistik terhadap prosedur "sistematis."

Dampak positif dari PTSL terlihat dari peningkatan jumlah sertifikat dan pengurangan sengketa tanah di seluruh Indonesia. Meski begitu, Hans Kelsen memberikan pandangan bahwa efektivitas hukum juga perlu dipertimbangkan bersama validitas hukum. Kesenjangan antara pemahaman aturan hukum dan pelaksanaannya dapat menciptakan ketidakpastian. Penegakan keadilan menjadi inti dari upaya perbaikan pelaksanaan penerbitan sertifikat PTSL. Meskipun prosesnya seringkali rumit, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kepastian hukum dengan mempercepat terbitnya sertifikat dan menyederhanakan proses PPh dan BPHTB. Namun, penting untuk memastikan bahwa kemudahan bagi pemohon PTSL tidak mengorbankan integritas dan kepastian hukum.

Regulasi Pajak

Regulasi PPh dan BPHTB dalam konteks PTSL diatur oleh Pasal 33 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Permen ATR/BPN 6/2018). Namun, menurut hemat penulis, ketentuan ini membutuhkan klarifikasi lebih lanjut. Penerima sertifikat tanah, termasuk PTSL, akan tetap diterbitkan walaupun PPh dan BPHTB tidak dapat dibayarkan. Peserta PTSL yang kesulitan membayar pajak diharapkan membuat surat keterangan, yang dicatat dalam buku tanah dan sertifikat PTSL. Kepala Kantor Pertanahan (Kantah) memiliki tanggung jawab untuk melaporkan PPh dan BPHTB yang tertunda secara berkala kepada Bupati/Walikota. Penghapusan PPh dan BPHTB terutang hanya dapat dilakukan setelah pembayaran pajak terutang dilunasi. Meskipun regulasi ini mengisyaratkan kewajiban pembayaran, interpretasi yang jelas dan rinci perlu disusun untuk memastikan pemegang sertifikat dan pemohon PTSL memahami tanggung jawab mereka.

Tanggal jatuh tempo pembayaran PPh terutang dan sanksi atas keterlambatan diatur oleh undang-undang perpajakan. Keterlambatan membayar PPh berakibat pada denda dan penundaan pembayaran yang dicatat dalam buku tanah dan sertifikat PTSL. Demikian pula, sanksi atas keterlambatan pembayaran BPHTB diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Penentuan tarif pajak PTSL sejalan dengan tarif PPh final, yaitu 2,5% dari nilai penghasilan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pembayaran PPh PTSL terjadi pada pelunasan PPh terutang, 15 bulan setelah bulan diterimanya pembayaran, dengan sanksi administrasi sebesar 2% per bulan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran.

Langkah Kritikal

Pentingnya pemenuhan kewajiban pajak, seperti PPh dan BPHTB, dalam PTSL tidak hanya sebagai langkah hukum, tetapi juga sebagai langkah krusial dalam menghasilkan sertifikat. Perlunya regulasi yang menangani penundaan pembayaran menjadi kunci untuk mendorong pemenuhan kewajiban ini. Pemegang sertifikat dan peserta PTSL perlu memahami bahwa pembayaran tepat waktu bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga prasyarat untuk kepastian hukum yang optimal. Sertifikat hasil PTSL harus memenuhi standar yang ditetapkan, tetapi belum memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang memadai. Pembayaran PPh dan BPHTB yang tertunda harus segera dilakukan saat peristiwa hukum terjadi, menciptakan kepastian hukum serta jelasnya perbuatan hukum. Sertifikat menjadi indikator bahwa kewajiban PPh dan BPHTB belum dilunasi, mencegah pemindahan hak atas tanah dari program PTSL jika kewajiban tersebut belum diselesaikan.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, kepastian hukum dalam pendaftaran tanah melalui PTSL tidak hanya memerlukan landasan hukum yang kuat, tetapi juga implementasi yang cermat dan efisien. Seiring dengan perubahan dan peningkatan, peraturan terkait pajak dan perlindungan hukum harus diperbarui secara berkala untuk memastikan keseimbangan yang tepat. Dalam memahami dan mengelola kepastian hukum dalam PTSL, pemerintah, pemegang sertifikat, dan peserta PTSL dapat bersinergi untuk mencapai tujuan kepemilikan tanah yang berkelanjutan, efektif, dan adil.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.