Reformasi Perpajakan Pasca Pemilu

Oleh: Johana Lanjar Wibowo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemilihan Umum (pemilu) telah diselenggarakan. Tahapan selanjutnya perhitungan dan rekapitulasi dari tingkat daerah hingga pusat. Siapa pun yang terpilih nanti, harapannya, langsung bekerja merealisasikan janji-janji kampanyenya. Mengingat kembali debat pemilihan presiden dan wakil presiden 13 April 2019 lalu, tema yang diusung ialah ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, serta perdagangan dan industri. Tema itu telah mengelaborasi kedua kandidat mengenai bagaimana mewujudkan perekonomian nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Isu penerimaan negara, utamanya pengelolaan pajak/fiskal, juga tidak luput dari topik bahasan. Gagasan ini sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Begitulah bunyi Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Ditambah lagi, Pasal 23A menegaskan, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Bukan tanpa sebab, penerimaan pajak memegang porsi paling banyak. Pada tahun anggaran 2019, angka ini ditargetkan sebesar Rp1.577,55 miliar. Kontribusinya 72,86% dari total pendapatan negara sebesar Rp2.165,11 miliar. Sementara, realisasi penerimaan pajak tahun 2018 mencapai Rp1.315,9 triliun. Angka ini sebesar 92,4 persen dari target penerimaan pajak tahun 2018 (Rp1.424 triliun).
Berbicara penerimaan pajak, tentu tidak lepas dari perbincangan rasio pajak. Selama periode 2014-2018, perkembangannya cenderung stabil. Berikut ini data-datanya: 13,7 (2014); 11,6 (2015); 10,8 (2016); 10,7 (2017); dan 11,6 (outlook 2018). Sementara, rasio pajak pada tahun ini ditargetkan sebesar 12,2. Diperlukan terobosan untuk mendongkrak rasio ini. Salah satunya dengan reformasi perpajakan. Presiden dan wakil presiden terpilih nantinya harus komit atas hal ini sebagaimana tertuang dalam visi dan misi mereka.
Terlebih lagi, tongkat estafet reformasi perpajakan berada dalam genggamannya. Pembaruan sistem administrasi perpajakan sebagaimana telah digariskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2018. Tujuannya untuk mewujudkan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel yang mempunyai proses bisnis yang efektif dan efisien. Selain itu, membangun sinergi yang optimal antar lembaga. Muaranya, meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara.
Reformasi perpajakan meliputi lima pilar, salah satunya teknologi dan basis data. Pengembangan sistem informasi perpajakan sendiri sedikitnya terdiri atas: (a) sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system); dan/atau (b) sistem pendukung operasional administrasi perpajakan (operational support tax administration system). Saat ini sedang dibuka pengadaan barang dan/atau jasa untuk empat paket, yaitu: (1) agen pengadaan, (2) jasa konsultansi owner’s agent-change management, (3) jasa konsultansi project management and quality assurance, dan (4) system integrator sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system). Pelaksanaan pekerjaannya secara multiyears selama sekitar lima tahun. Belum lagi nantinya, pengadaan untuk pemeliharaan sistemnya.
Pelibatan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), seperti inspektorat jenderal atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sangat diperlukan. Bukan hanya itu, pelibatan instansi atau lembaga lain, seperti: kejaksaan agung dan komisi pemberantasan korupsi, dapat memperkuat pengawasan. Tujuannya memastikan proses pengadaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta terhindar dari penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran.
Komitmen dari para anggota legislatif juga dibutuhkan. Hal ini karena setiap tahunnya rencana anggaran pengadaannya dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan begitu, pelaksanaan pekerjaannya bisa terus berlanjut hingga selesai dan tidak berhenti di tengah jalan. Selain itu, dukungan dari DPR sebagai upaya penguatan otoritas pajak juga melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Saat ini, rancangannya sedang dilakukan pembahasan. UU KUP sendiri merupakan ketentuan formal dalam hukum pajak. Di samping itu, isinya juga mencakup penguatan otoritas pajak dari sisi kelembagaan atau organisasi.
Pengembangan sistem ini sebagai wujud integrasi data keuangan. Menteri Keuangan telah memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan atau entitas lain. Hal ini sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.03/2017 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 73/PMK.03/2017. Sebetulnya, integrasi data keuangan telah dimulai lewat gagasan Kartu Indonesia Satu (Kartin1). Pencanangannya telah dilakukan pada 2017 lalu. Platform Kartin1 ini mengintegrasikan data perbankan nasabah dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Implementasinya sebagai bagian penguatan basis data.
Di samping itu, ada hal yang juga penting, yaitu pemanfaatan data dan informasi perpajakan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 tahun 2012, Pemerintah mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) wajib memberikan data dan informasi perpajakan. Tercatat 69 ILAP yang diwajibkan. Reformasi perpajakan perlu juga diikuti implementasi Single Identity Number (SIN). Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) digunakan sebagai identitas tunggal. Kementerian Dalam Negeri mencatat, hingga Januari 2019, sedikitnya 1.169 lembaga telah melakukan kerja sama pemanfaatan NIK.
Dengan begitu, basis data perpajakan akan menjadi luas dan akurat dan semakin andal. Apa pun kebijakan perpajakannya, basis data perpajakan (tax base) menjadi komponen utama, di samping soal tarif (tariff) dan wajib pajak (taxpayers). Reformasi perpajakan akan memperkuat otoritas pajak dalam pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan. Muaranya, reformasi perpajakan diharapkan lebih meningkatkan kepastian arah kebijakan perpajakan Indonesia ke depan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 2072 kali dilihat