(Reformasi) DJP Menolak Kafkaesque

Oleh: Lutfiya Tussifah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Selain bergulat dengan semakin tingginya angka pencandu narkoba, Indonesia juga masih harus bergelut dengan tingginya angka pencandu kerumitan sistem.
Bagaimana tidak? Pelayanan publik belum optimal dan keluhan masyarakat mengenai kualitas layanan setiap hari terdengar. Dalam angka, jumlah pengaduan terkait penyelenggaraan pelayanan publik meningkat dari tahun 2021 ke tahun 2022, dari 7.186 laporan menjadi 8.292 laporan (Laporan Tahunan Ombudsman Tahun 2021 dan 2022).
Mengutip survei yang dilakukan oleh Populi Center --sebuah lembaga nirlaba-- tahun 2021, persyaratan yang berbelit menjadi masalah utama yang dikeluhkan oleh 11,4% responden. Keluhan selanjutnya adalah waktu pelayanan yang lambat dengan 11,3% suara dan kurangnya transparansi dengan 9,7% suara (Katadata, 2021).
Kerumitan birokrasi turut menyumbang daftar opsi. Ia menjelma momok yang tidak bisa dihindari sebab nyaris apapun yang hendak dilakukan individu dalam dunia modern hari ini harus melewati labirin (yang acapkali) tanpa navigasi.
Ingin resmi diakui sebagai penduduk? Ingin mendapatkan pelayanan kesehatan atau sekadar diizinkan bepergian melintasi perbatasan? Bahkan saat kita ingin menjadi warga negara yang baik dan berkontribusi dalam pembangunan? Tenang, silakan isi formulir dan ikuti antrean.
Tidak mengherankan apabila kemudian muncul sebuah istilah untuk menggambarkan keputusasaan terhadap cara kerja dunia modern: kafkaesque.
Kafkaesque lahir dari interpretasi atas karya-karya Franz Kafka, penulis abad ke-20 kelahiran Praha, sebuah kota di Kerajaan Austro-Hungaria pada masa pra-Perang Dunia I, yang setelahnya pecah menjadi beberapa negara, dan saat ini sebagian wilayah negara tersebut bernama Republik Ceko. Praha menjadi ibukotanya. Dalam tulisan-tulisannya Kafka kerap menggambarkan tokoh yang terjebak dalam sistem yang bertele-tele dan prosedur yang tidak jelas.
Sebut saja The Trial, salah satu novel populernya. The Trial bercerita tentang Josef K. yang pada suatu pagi ditahan tanpa penjelasan tentang dasar penahanannya. Di sepanjang novel, pembaca akan menjadi saksi betapa lamban dan berlikunya proses hukum yang dijalani tokoh utama yang hingga akhir hayatnya tidak kunjung mendapatkan pencerahan.
Keengganan Kafka terhadap birokrasi juga tergambar dari cerpen Poseidon yang mengisahkan Dewa Laut yang terus berkutat dengan administrasi wilayah perairan sampai-sampai ia jarang sekali melihat laut. Kafka berkelakar bahwa dewa pun kewalahan menghadapi sistem yang diciptakan spesies bernama manusia.
Suka tidak suka, kritik Kafka memang harus kita terima sebagai realitas. Birokrasi yang menjadi tanda kemajuan peradaban membawa keteraturan yang menghasilkan residu ketidakteraturan. Trade off ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan termasuk pada satu bagian yang bernama perpajakan.
Sistem perpajakan modern begitu kompleks dengan aneka proses bisnis yang menyusunnya. Upaya kita menyederhanakannya membuat wajib pajak mengenal beberapa prosedur yang menjadi kewajibannya: daftar, hitung, bayar, dan lapor.
Untuk melaksanakan kewajiban tersebut wajib pajak kemudian akrab dengan istilah nomor pokok wajib pajak alias NPWP. Wajib pajak juga tidak asing dengan EFIN, kode yang digunakan untuk layanan perpajakan daring, serta beragam aplikasi dan blangko.
Lantas benarkah sistem perpajakan telah terjerumus ke dalam kafkaesque?
Untuk menjawabnya, kita perlu mengkaji ulang substansi kafkaesque. Meski kerap digunakan untuk menggambarkan proses yang semrawut, sebenarnya ada satu elemen lagi yang harus dipenuhi sebelum suatu fenomena dianggap kafkaesque.
Kafkaesque bicara soal ironi dari bagaimana subjek bereaksi terhadap situasi yang dialaminya. Sebagai contoh, Poseidon terjebak dalam kesibukannya sebab ia tidak mau mendelegasikan tugas-tugasnya. Di sisi lain, Josef K. mengalami tragedi disebabkan arogansinya sendiri yang membuat dia merasa terlalu pintar untuk dibodohi.
Berdasarkan uraian barusan, sistem perpajakan kita belum dapat dianggap sebagai kafkaesque. Kesediaan kita untuk mengakui ada yang kurang dari sistem yang kita ciptakan dan kesadaran kita untuk melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap sistem tersebut adalah alasan utama kita terselamatkan.
Reformasi perpajakan yang sedang berlangsung hari ini secara tidak langsung adalah upaya menolak kafkaesque. Keinsafan kita untuk terus membenahi administrasi dan memperbarui regulasi guna menyelaraskan organisasi dengan kebutuhan zaman merupakan wujud harapan akan birokrasi yang lebih ramah terhadap pemangku kepentingan.
Beberapa kebijakan yang lahir dari reformasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) jilid III ini adalah pemadanan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai NPWP bagi wajib pajak orang pribadi. Kebijakan ini memudahkan masyarakat karena dengan satu identitas mereka sudah dapat mengakses dua jenis layanan, kependudukan dan perpajakan.
Dalam proses bisnis pembayaran, sistem akan terhubung langsung dengan proses bisnis internal lainnya seperti pembuatan surat pemberitahuan (SPT). Selain itu, satu kode billing yang dulu terbatas pada satu jenis/masa/ketetapan pajak akan dapat digunakan beberapa jenis/masa/ketetapan sekaligus.
Proses bisnis pengelolaan SPT turut disederhanakan dengan mereduksi jenis formulir SPT Pajak Penghasilan Tahunan Orang Pribadi (SPT PPh OP) dari yang sebelumnya ada tiga jenis (formulir 1770, 1770 S, dan 1770 SS) menjadi hanya satu jenis. Wajib pajak juga hanya memperoleh lampiran sejumlah yang diperlukan sesuai isian pada halaman induk SPT.
Dengan deretan simplifikasi ini, reformasi DJP akan memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain dapat mengetahui posisi hak dan kewajiban perpajakannya secara near real-time, wajib pajak juga akan mendapatkan pelayanan yang lebih tepat sasaran disertai prosedur yang lebih ringkas. Dengan demikian, beban kepatuhan pada sisi wajib pajak dapat jauh berkurang.
Lahirnya inovasi yang memangkas birokrasi tentunya patut diapresiasi. Namun, perlu diingat bahwa usaha melawan kafkaesque bukan duel satu sesi. Kafkaesque akan abadi selama dunia modern masih berdiri. Oleh sebab itu, upaya kita mengentaskan kafkaesque juga tidak boleh berhenti.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 375 kali dilihat