Perjalanan Coretax dan Konsistensi Perubahan DJP

Oleh: Hana Maurinawati, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Jauh sebelum manusia terbius dalam kecanggihan teknologi, sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi, sebuah adicita mengejawantah. Filsuf Yunani Kuno pra-Sokratik dari Efesus, Herakleitos, berkata, "Tak ada yang permanen, kecuali perubahan itu sendiri." Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan alam semesta. Tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen, semuanya berada di dalam proses menjadi.
Sang filsuf juga tersohor dengan ucapannya,“Tidak ada orang yang dapat menyeberangi sungai yang sama dua kali, karena baik manusia maupun sungainya tidak sama.”
Hal ini bermakna bahwa segala sesuatu mengalami perubahan terus-menerus, selalu bergerak, dan tidak ada yang menetap. Oleh karena itu manusia tidak mungkin “melangkah dua kali” ke dalam situasi yang sama.
Roda zaman terus menggelinding. Pernahkah terbayangkan bahwa setiap hal mutakhir yang kita nikmati merupakan buah dari transformasi konstruktif yang terus-menerus terjadi? Andaikan perubahan berhenti, mungkin manusia masih berbusana dari kulit binatang, menulis di kulit kayu, atau berkirim kabar dengan merpati pos --alih-alih mengenakan fasion terkini, menulis di gawai, atau berkirim pesan via media sosial.
Filosofi Herakleitos, Coretax, dan DJP
Tidak dapat dimungkiri, perubahan konstan terjadi dalam sebuah negara, organisasi, intansi, bahkan pada unit-unit terkecil dalam hidup ini. Filosofi Herakleitos terlihat padan dengan perjalanan institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang konsisten berubah. Konsistensi perubahan ini selalu melahirkan inisiatif dan inovasi mutakhir yang terbaik.
Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP atau Core Tax Administration System, atau selanjutnya disebut Coretax ) digadang-gadang menjadi transformasi kiwari dalam institusi DJP.
Coretax merupakan proyek rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi yang berbasis COTS (Commercial Off-the-Shelf) disertai dengan pembenahan basis data perpajakan sehingga sistem perpajakan menjadi mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti.
Bagi pegawai lama atau wajib pajak yang bertahun-tahun berjuang membersamai mengumpulkan pundi-pundi negara, entah berapa kali mereka diharuskan beradaptasi terhadap konfigurasi yang berjalan. Sejak DJP berdiri, seberapa sering perubahan telah terjadi di institusi ini? Benarkah perubahan di tubuh DJP ajek alias abadi seperti filosofi Herakleitos? Mari kita menziarahi catatan dan rekaman sejarah perpajakan di Indonesia.
Dari Era Soekarno Hingga Soeharto
Sejarah mencatat kisah pajak era Soekarno sampai dengan 1966. Kelahiran pajak pada tanggal 14 Juli 1945 --diperingati sebagai Hari Pajak-- tepat 34 hari sebelum kemerdekaan, merupakan penanda lini masa perpajakan Indonesia resmi berjalan. Para pendiri negeri sepakat menuangkan pajak dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23 UUD 1945 memuat lima butir ketentuan. Butir kedua menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.
Dua hari kemudian, 19 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan dibentuk. Pejabatan Pajak menjadi salah satu unit di dalamnya. Pasca-revolusi kemerdekaan, situasi Indonesia belum stabil betul. Aturan warisan kolonial masih digunakan. Pejabatan Pajak bertransformasi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) pada tahun 1965.
Di masa ini, penggalian potensi, pengawasan, dan pemungutan pajak dilakukan secara manual melalui kantor-kantor Inspeksi Keuangan di tingkat kabupaten dan kota. Sistem official assessment berjalan. Artinya, pegawai pajak menghitung, menetapkan, dan mendatangi tempat wajib pajak untuk menagih jumlah pajak yang terutang. Sistem seperti ini bisa jadi banyak kelemahannya, misalnya pengumpulan potensi pajak yang tidak maksimal. Juga, wajib pajak tidak didorong untuk "melek" pajak. Soalnya, segala hal sudah diurusi oleh petugas pajak, termasuk dihitungkan besaran pajaknya.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998), perubahan dan penyempurnaan undang-undang pajak dilakukan. Selama 13 tahun, sampai dengan 31 Desember 1983, reformasi pajak atau tax reform digulirkan. Tahun 1976, terbit Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1976 yang menetapkan Direktorat Ipeda diserahkan ke DJP. Mekanisme birokrasi dan sistem perpajakan berubah.
Tahun 1983, reformasi pajak dilaksanakan melalui Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Official assessment berganti rupa menjadi self assessment. Wajib pajak memiliki kewenangan untuk mendaftarkan diri, menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak terutangnya secara mandiri. Pembayaran pajak tidak lagi melalui petugas pajak, melainkan via kantor pos atau bank persepsi yang telah ditunjuk. Petugas pajak hanya mengadministrasikan dan melakukan pengawasan terhadap wajib pajak.
Menuju Era DJP 4.0
Setelah reformasi perpajakan pertama di tahun 1983, struktur DJP mengalami perubahan pada tahun 1989. Upaya pendekatan pajak yang lebih baik kepada masyarakat diwujudkan dengan memperbaiki fungsi administrasi perpajakan melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa).
Tahun 1991-2000 berbagai reformasi undang-undang perpajakan dilakukan. DJP kembali menerapkan reformasi birokrasi pada 2000-2001. Reformasi ini disebut Reformasi Perpajakan Jilid I atau Modernisasi Administrasi Perpajakan.
DJP mulai menggunakan sistem administrasi digital sederhana menggantikan Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang merupakan prototipe SIDJP (Sistem Informasi DJP). Kantor-kantor modern seperti KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, KPP Madya dan KPP Pratama dibentuk.
Pada tahun 2013, Kementerian Keuangan meluncurkan program Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan yang terdiri dari rumusan 87 inisiatif transformasi yang terbagi dalam lima tema salah satunya yaitu tema perpajakan.
Tahun 2009-2014, Reformasi Perpajakan Jilid II dilaksanakan dengan pembenahan mutu dan integritas sumber daya manusia DJP. Sedangkan Reformasi Perpajakan Jilid III mulai digulirkan tahun 2016 setelah berakhirnya program pengampunan pajak (tax amnesty). Hal ini dipertajam dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 360/KMK.03/2017 tentang Program Reformasi Perpajakan, yang menjadi dasar keberlanjutan Reformasi Perpajakan Jilid III.
Beberapa perubahan aturan dibuat agar layanan perpajakan menjadi semakin mudah. Disisi lain, untuk menerapkan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak, DJP meluncurkan sistem yang disebut compliance risk management (CRM) pada tahun 2019. Tahun 2020 Coretax sebagai capaian tertinggi transformasi DJP merupakan implementasi pembenahan teknologi informasi, basis data, dan proses bisnis DJP. Coretax adalah perwujudan pilar ketiga dan keempat dari lima pilar utama dalam transformasi DJP.
Pilar ketiga adalah teknologi informasi berbasis data, yaitu menciptakan teknologi informasi dan basis data yang reliable dan andal. Sedangkan pilar keempat adalah proses bisnis, yaitu menciptakan proses bisnis yang sederhana, efektif, efisien, akuntabel, berbasis teknologi informasi, dan komprehensif.
Wajib pajak tidak perlu mengunduh banyak aplikasi dengan berbagai kata sandi dan nama pengguna. Hanya dalam satu ketik pada satu aplikasi, wajib pajak maupun petugas pajak dapat mengetahui seluruh data informasi perpajakan hingga pembayaran pada sistem berbasis situs web. Mudah dan terintegrasi.
Menggembleng Gatotkaca DJP 4.0
Selain kesiapan dana, kesuksesan program DJP tidak lepas dari insan-insan di dalamnya. Dalam buku Reformasi Perpajakan (2021) yang diterbitkan oleh DJP, reformasi perpajakan berjilid-jilid dan tantangannya seolah menjadi Candradimuka yang menggembleng Gatotkaca-Gatotkaca DJP 4.0 agar kian perwira dan teruji ketangguhannya. DJP 4.0? Iya, itulah kira-kira sebutan untuk era DJP yang serba digital.
Di level kantor pusat, tim 169 dibentuk. Tim inilah yang selalu berhubungan dan memikirkan bagaimana membayar pajak menjadi kewajiban yang mudah bagi 40 juta wajib pajak. Ratusan duta komunikasi dilatih menjadi corong komunikasi reformasi pajak di lingkup internal. Ribuan surel berkonsep nawala (newsletter) dikirimkan untuk menjangkau gaung reformasi. Berbagai materi, pelatihan hingga olimpiade tentang 21 proses bisnis bergenre Coretax wajib dikhatamkan seluruh lini. Mantap betul!
Herakleitos berkata bahwa dunia itu dicirikan dengan adanya kebalikan. Jika tidak pernah sakit, kita tidak mengerti apa itu arti sehat. Jika tidak ada musim salju, kita tidak akan pernah melihat musim semi. Coretax merupakan wajah dari sistem perpajakan di era modern, setelah kita berkaca pada pengalaman administrasi perpajakan pada periode sebelumnya.
Saat ini persiapan DJP menuju Coretax sedang gencar dilaksanakan. Pelatihan terbatas, baik untuk wajib pajak dan pegawai DJP, terus diselenggarakan demi penyempurnaan. Karena perubahan adalah sebuah keniscayaan, mari persiapkan diri kita menjadi bagian di dalamnya dan nikmati prosesnya. Pajak kuat, APBN sehat, Indonesia Sejahtera!
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1228 kali dilihat