Oleh: Kiagus Abdul Rahman, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak dalam menjalankan administrasi perpajakannya adalah dengan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, maupun pelaporan SPT Masa. Sesuai namanya, SPT Tahunan, artinya pelaporan pajak ini hanya dilakukan satu tahun sekali, sedangkan SPT Masa sebulan sekali.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 3, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi jatuh tempo pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak yakni paling lambat tanggal 31 Maret, sedangkan jatuh tempo pelaporan untuk Wajib Pajak Badan adalah paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak yakni paling lambat 30 April. Untuk pelaporan SPT masa sendiri, misalnya pelaporan SPT Masa PPN dilakukan paling lambat di akhir bulan berikutnya.

            Karena pelaporan SPT Tahunan ini dilakukan sekali dalam setahun, atau satu bulan sekali untuk SPT Masa, cukup banyak wajib pajak yang terlambat dalam melakukan pelaporan pajaknya. Sesuai dengan ketentuan dalam UU KUP Pasal 7 ayat (1), atas keterlambatan ini dapat dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp100.000,00 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan Rp1.000.000,00 untuk keterlambatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan. Sedangkan SPT Masa PPN dikenakan sanksi Rp500.000,00 atas keterlambatan pelaporan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) setiap bulannya.

            Belajar dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak daerah yang berlaku di instansi lain, atas keterlambatan pembayaran pajak kendaraan bermotor langsung bisa kelihatan nilai sanksi administrasi yang harus dibayar ketika kita terlambat melakukan pembayaran.

Berbeda dengan pengenaan sanksi administrasi perpajakan yang harus menunggu diterbitkan terlebih dahulu tagihannya melalui Surat Tagihan Pajak (STP) dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menerbitkan tagihan ini mulai dari penerbitan sampai dengan penyampaiannya kepada wajib pajak.

Proses penerbitan ini bisa memakan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Ini cukup merepotkan baik dari sisi fiskus sebagai pengawas administrasi perpajakan karena harus menerbitkan tagihan secara manual. Dari sisi wajib pajak yang mempertanyakan pun demikian. Kenapa baru sekarang diterbitkan sanksi administrasi padahal keterlambatannya sudah beberapa waktu yang lalu?

            Di era digital sekarang ketika transaksi keuangan dan transaksi lainnya dapat dilakukan secara daring dan tersistem, tentunya pengenaan sanksi secara langsung ketika wajib pajak terlambat melakukan pelaporan pajaknya harusnya dapat dengan mudah dilakukan. Jadi ketika wajib pajak terlambat melakukan pelaporan pajaknya, sistem akan dengan mudah mendeteksi. Sistem akan dapat dengan mudah menerbitkan sanksi administrasi secara langsung bahkan sistem pula akan dapat langsung menerbitkan E-billing (kode billing untuk melakukan pembayaran pajak) atas sanksi admnistrasi tersebut sehingga wajib pajak dapat segera melakukan pembayaran pajak atas keterlambatan tersebut.

Yang terpenting dan perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana aturannya dibuat dan sistem teknologi informasinya disiapkan karena dalam praktiknya wajib pajak yang terlambat lapor itu tentunya sudah menyadari atas keterlambatan ini dan tidak sedikit pula wajib pajak yang menanyakan bagaimana melakukan pembayaran sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan pajak yang dilakukannya.

            Melihat arah kebijakan reformasi perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi yang diberi wewenang untuk menjalankan tugas pemerintahan di bidang perpajakan sedang menyongsong era perpajakan baru yakni dengan akan diterapkannya Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Pembaruan itu menerapkan konsep kemudahan, kecepatan, dan penggunaan teknologi informasi yang mengikuti perkembangan zaman dan tentu saja tanpa mengubah tujuan substansi institusi perpajakan itu sendiri yakni tercapainya target penerimaan pajak. Harapannya ke depan, sistem yang akan digunakan DJP telah mengakomodasi penerapan atas pengenaan sanksi administrasi secara otomatis ini.

              Sehingga dengan adanya aturan dan sistem yang mendukung penerapan ini, akan cukup mempermudah administrasi pengawasan dan penerbitan STP sanksi administrasi kepada wajib pajak dan di sisi lain wajib pajak  juga akan dapat dengan mudah mengetahui adanya sanksi tersebut sehingga mempermudah wajib pajak untuk dapat segera melakukan pembayarannya.

Hal ini tentu saja secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang dan penerimaan pajak pun secara umum akan bertambah. Fiskus pun tidak perlu secara manual melakukan pengawasan dan penelitian atas keterlambatan pelaporan yang dilakukan wajib pajak karena ketika wajib pajak melakukan pelaporan yang terlambat pengenaan saknsi administrasi tersebut secara otomatis akan muncul. Semoga.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.