Pembukuan dan Aspek Perpajakan Koperasi
Oleh: Mawan Triantana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tidak dapat dipungkiri, pembukuan yang teratur merupakan salah satu faktor untuk keberhasilan usaha. Usaha dalam skala kecil maupun besar, usaha yang dilakukan perorangan ataupun badan. Termasuk pula usaha yang dilakukan oleh koperasi. Apalagi, koperasi yang memiliki banyak anggota, perlu menyampaikan laporan keuangan untuk menjaga kepercayaan. Kita tentu masih ingat, salah satu founding fathers negeri ini, Mohammad Hatta, dinobatkan sebagai Bapak Koperasi. Betapa, koperasi memiliki peran yang penting dalam perekonomian, bahkan sempat menyandang predikat "sokoguru perekonomian". Oleh karena itu, roda keberlanjutan usaha koperasi perlu dijaga, termasuk salah satunya adalah aspek kepatuhan perpajakannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, pengurus koperasi memiliki tugas menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib. Pengurus juga berkewajiban menyusun laporan tahunan, setelah tutup tahun buku sebelum diselenggarakan rapat anggota tahunan. Laporan keuangan paling tidak memuat neraca akhir tahun buku, perhitungan hasil usaha beserta penjelasannya.
Setali tiga uang, salah satu kewajiban perpajakan Wajib Pajak adalah membuat laporan keuangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pengertian
Koperasi menurut UU Perkoperasian, adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Salah satu fungsi Koperasi adalah untuk membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Koperasi melakukan kegiatan ekonomi dapat berupa jual-beli barang dan/atau jasa ataupun berupa simpan pinjam yang keuntungannya dikembalikan ke anggota dan sebagian digunakan untuk pengembangan usaha.
Kewajiban Perpajakan
Kewajiban perpajakan Koperasi pada umumnya adalah sama sebagaimana wajib pajak badan usaha lainnya. Pertama, mendaftarkan diri sebagai wajib pajak ditandai dengan terbitnya nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selanjutnya adalah menghitung, membayar dan melaporkan pajak yang menjadi kewajibannya. Untuk dapat menghitung pajak dengan benar diperlukan pembukuan atau pencatatan atas transaksi yang dilakukan.
Terdapat objek pajak yang khusus untuk koperasi yaitu, pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 Ayat (2) atas penghasilan bunga simpanan anggota koperasi. Besarnya tarif pajak ada dua yaitu 0% dan 10%. Tarif 0% untuk penghasilan bunga simpanan sampai dengan Rp244.000,00 per bulan. Dan tarif 10% untuk penghasilan bunga simpanan lebih dari Rp244.000,00 per bulan.
Jenis pajak yang umum melekat pada wajib pajak badan termasuk koperasi adalah pajak atas penghasilan. Koperasi dapat menghitung PPh berdasarkan tarif final Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), atau mengunakan tarif umum PPh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP.
PPh tarif final PP 23/2018 adalah sebesar 0,5% dari peredaran usaha tiap bulan. Tarif ini dapat dipilih oleh Koperasi jika omzet tidak lebih dari 4,8 miliar rupiah. Namun koperasi dapat penggunaan tarif final ini hanya sampai empat tahun dari sejak tanggal pendaftaran NPWP. Atau hanya sampai dengan tahun pajak 2021 jika koperasi terdaftar tahun 2018 dan sebelumnya. Koperasi dengan peredaran bruto lebih dari 4,8 miliar rupiah menggunakan tarif umum Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP.
Menurut hemat penulis, penghitungan menggunakan tarif umum Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP sebaiknya dipilih Koperasi. Dari pembukuan yang telah dilakukan akan diketahui keuntungan bersih koperasi dan akan menjadi dasar PPh terutang. Apabila untung maka ada PPh yang dibayar, namun jika masih rugi maka belum muncul kewajiban membayar Pajak Penghasilan.
Besar tarif umum Pasal 17 UU PPh jo. UU HPP, wajib pajak badan adalah sebesar 22% dari keuntungan atau penghasilan kena pajak. Terdapat fasilitas pengurangan 50% dari tarif umum untuk wajib pajak badan dengan omzet sampai dengan 4,8 miliar rupiah atau tarifnya menjadi 11%. Fasilitas ini diatur dalam Pasal 31E UU PPh jo. UU HPP. Bahkan fasilitas pengurangan tarif 50% ini juga berlaku bagi wajib pajak badan yang memiliki omzet sampai dengan 50 miliar rupiah, namun hanya atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran usaha sampai dengan 4,8 miliar rupiah.
Khusus koperasi yang telah memiliki omzet lebih dari 4,8 miliar rupiah, terdapat kewajiban lain yaitu pemungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas setiap penjualannya. Sebelum memungut PPN, koperasi harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) terlebih dahulu. Koperasi yang omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar dapat juga memilih mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Selain menghitung pajak atas penjualan atau penghasilan yang diperoleh, koperasi juga memiliki kewajiban memotong pajak penghasilan atas biaya jasa atau sewa yang dikeluarkan. Dasar penghitungannya adalah biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan atau suatu masa tertentu. Jenis pajak tersebut di antaranya adalah PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2).
PPh Pasal 21 merupakan pemotongan PPh atas pengeluaran gaji, honor ataupun penghasilan lain yang penerimanya adalah orang pribadi. PPh Pasal 23 merupakan pemotongan PPh atas pengeluaran biaya jasa yang penerimanya adalah wajib pajak badan dan bukan objek PPh tarif final, serta untuk pemotongan biaya sewa aktiva selain tanah bangunan. Sedangkan PPh Pasal 4 ayat (2) digunakan pemotongan PPh atas biaya sewa tanah bangunan dan biaya jasa yang terutang PPh final seperti jasa konstruksi.
Bayar dan Lapor
Kewajiban perpajakan setelah mendaftar dan menghitung pajak adalah membayar pajak yang terutang. Terdapat jangka waktu pembayaran pajak yang berbeda-beda menurut jenis pajaknya. Dan terdapat sanksi bunga apabila terjadi keterlambatan pembayaran pajak.
Jatuh tempo pembayaran PPh Tahunan Wajib Pajak Badan adalah paling lambat empat bulan setelah akhir Tahun Pajak atau tanggal 30 April untuk Tahun Buku Januari - Desember. Atas PPN yang dipungut dan terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya. Sedangkan untuk PPh masa seperti PPh PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2) jangka waktu pembayarannya adalah tanggal 15 bulan berikutnya.
Kewajiban perpajakan yang terakhir adalah melaporkan dan pertanggungjawaban penghitungan dan pembayaran pajak. Sarana melaporkannya menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai jenis pajaknya. Sebagaimana kewajiban pembayaran pajak, atas pelaporan SPT juga terdapat jatuh temponya.
Jatuh tempo pelaporan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan adalah paling lama empat bulan setelah akhir Tahun Pajak. SPT Masa PPN harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya. Sedangkan SPT Masa lainnya seperti PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 4 ayat (2) dilaporkan jika hanya ada pembayaran dan jangka waktu pelaporannya adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
Yang perlu diperhatikan, terdapat sanksi administrasi juga apabila koperasi telat melaporkan SPT. Terlambat melaporkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan dikenai sanksi sebesar Rp1.000.000,00. Untuk terlambat melaporkan SPT masa PPN terdapat sanksi sebesar Rp500.000,00 dan untuk SPT masa lainnya dikenai sanksi Rp100.000,00.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 731 kali dilihat