Patuh Pajak, Dipaksa atau Sukarela?

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pengenaan dan pemungutan pajak bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipaker). “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Begitu bahasa undang-undang menjelaskan pengertian pajak.
Undang-undang ini menegaskan kembali Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana negara memaksa pemungutan pajak kepada masyarakat?
Kata-kata memaksa berdasarkan undang-undang sudah menyiratkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada acuan yang menjadi dasar dalam memaksa masyarakat atau dalam hal ini wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Acuannya adalah undang-undang dan turunannya berupa peraturan perpajakan. Tanpa acuan tersebut, negara tidak memiliki legitimasi untuk dapat melakukan pemungutan pajak kepada wajib pajak.
Namun, hal itu tidak bisa serta-merta dimaknai sebagai kesewenangan negara. Mengapa? Mari cermati kembali kata-kata "diatur dengan undang-undang". Jadi, setiap pajak yang dibebankan kepada masyarakat, harus ada dasar hukum yang setingkat undang-undang, baik pajak negara maupun pajak daerah. Mengapa undang-undang? Karena ia merupakan ketentuan yang lahir dari kesepakatan bersama antara pemerintah (eksekutif), dengan perwakilan rakyatnya (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah). Pemungutan pajak yang di luar undang-undang, bisa disebut kezaliman negara terhadap rakyatnya. Tentu kita ingat istilah yang kesohor, taxation without representation is robbery. Pemajakan tanpa persetujuan oleh perwakilan rakyat adalah perampokan.
Ketika sudah ada dasar bagi negara atau otoritas perpajakan untuk melakukan pemungutan pajak, maka pilihan yang tersedia bagi wajib pajak hanya ada dua. Pilihan pertama adalah melaksanakan kewajiban pajak secara sukarela. Ini berarti wajib pajak patuh mengikuti aturan perpajakan yang ada dan menjalankan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Atau pilihan kedua, menunggu aksi dari otoritas perpajakan dalam memaksa pelaksanaan kewajiban perpajakan, misalnya sebagai hasil dari pemeriksaan pajak, pelaksanaan tindakan penagihan pajak, atau bahkan penyidikan pajak.
Ruang untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara sukarela sebenarnya sudah disediakan dan terbuka bagi seluruh wajib pajak. Sejak tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia beralih dari official assessment menjadi self assessment. Artinya, sejak tahun 1983, wajib pajak bertanggung jawab untuk melakukan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak secara mandiri.
Dengan sistem perpajakan self assessment, wajib pajak sudah harus menentukan sikap dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Sikap ini akan menentukan bagaimana pemenuhan kewajiban perpajakan akan dilakukan. Apakah melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku atau mencoba untuk menyembunyikan sebagian atau bahkan seluruh data dan informasi yang seharusnya dapat menyebabkan wajib pajak melakukan pembayaran pajak yang lebih besar.
Jika wajib pajak mengambil sikap untuk menyembunyikan sebagian atau bahkan seluruh data dan informasi perpajakan, tentu akan ada konsekuensi risiko yang dapat diterima oleh wajib pajak. Misalnya ada penghasilan lain wajib pajak yang belum dilaporkan dan ditemukan dalam kegiatan pemeriksaan pajak, maka wajib pajak akan menerima sanksi administrasi yang menambah pokok pajak yang masih harus dibayar.
Pemeriksaan pajak merupakan salah satu mekanisme otoritas perpajakan dalam melakukan evaluasi atas self assessment pelaksanaan kewajiban pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Cara ini dilakukan untuk memastikan bahwa pemenuhan kewajiban pajak sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Fakta bahwa masih banyaknya penetapan pajak sebagai hasil pemeriksaan pajak boleh jadi merupakan sinyal bahwa masih ada sebagian wajib pajak yang memilih untuk “dipaksa patuh” dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Jika diselisik lebih mendalam, boleh jadi hal ini terjadi karena ada peluang keberhasilan yang bisa diperoleh wajib pajak ketika memilih tidak patuh.
Jumlah petugas pajak yang belum sebanding dengan jumlah wajib pajak menjadi celah tersendiri bagi wajib pajak untuk menjadi tidak patuh. Pada tahun 2023, jumlah wajib pajak mencapai 69,1 juta, sementara jumlah petugas pajak hanya sekitar 46 ribu pegawai. Sehingga, tidak heran jika masih ada wajib pajak yang mencoba tidak patuh. Ada risiko terkena sanksi, namun masih ada peluang keberhasilan karena tidak mungkin semua wajib pajak dapat terawasi.
Langkah pemerintah melakukan reformasi administrasi perpajakan melalui pembaruan sistem inti administrasi perpajakan menjadi krusial untuk melihat bagaimana pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak dapat lebih tersistem dan terstruktur. Potret kepatuhan wajib pajak seharusnya bisa tersaji dalam data valid yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari pihak internal maupun eksternal. Sehingga, ketika ada wajib pajak yang tidak patuh, maka dengan mudah sistem dapat memonitor dan menyajikan data dan informasi terkait ketidakpatuhan wajib pajak. Data yang sudah valid menyebabkan wajib pajak tidak dapat lagi mengelak atas kesalahan yang dilakukan.
Jika kondisi seperti di atas sudah mumpuni, maka rendahnya proporsi jumlah petugas pajak dibandingkan dengan jumlah wajib pajak tidak lagi menjadi permasalahan. Semakin kecilnya peluang untuk melakukan pelanggaran, bisa “memaksa” wajib pajak untuk patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Selanjutnya, kepatuhan dapat saja dilakukan secara sukarela
Tidak dipungkiri, selama ini acuan dari menilai kepatuhan pajak lebih banyak dilihat dari aspek formal. Ketepatan waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) adalah contohnya. Strategi pun disiapkan agar semakin banyak wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan PPh tepat waktu. Namun, aspek material dari kepatuhan pajak seharusnya tetap menjadi isu krusial. Bagaimanapun juga negara bergantung pada penerimaan pajak sebagai penopang jalannya pembangunan dan roda pemerintahan.
Mungkinkah kepatuhan pajak sukarela?
Mewujudkan kepatuhan pajak sukarela merupakan tantangan besar. Tidak ada imbal langsung yang dirasakan dan diperoleh wajib pajak setelah membayar pajak menjadikan sulit mengharapkan wajib pajak dengan sukarela membayar pajak. Setidaknya ada beberapa kondisi yang harus dibangun sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kepatuhan pajak sukarela.
Pertama adalah kepercayaan (trust) masyarakat dan wajib pajak terhadap pemerintah dan otoritas perpajakan. Masyarakat dan wajib pajak harus percaya bahwa pajak dihimpun dan dikelola dengan baik, serta pemanfaatannya juga digunakan benar-benar untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat. Tidak ada penyelewengan dana pajak dan anggaran yang melibatkan oknum pegawai pemerintah. Integritas aparat harus diperkuat karena trust akan terbangun ketika negara bersih dari segala praktik korupsi.
Selanjutnya, kemudahan wajib pajak untuk patuh dapat menumbuhkan kepatuhan pajak sukarela. Kemudahan dalam hal aturan, sistem dan aplikasi, serta fleksibilitas waktu dapat membentuk pola pikir wajib pajak bahwa patuh pajak itu bukan hal yang sulit. Paradigma ini yang bukan tidak mungkin dapat mendorong wajib pajak untuk patuh pajak dengan sukarela.
Kondisi lain adalah terbangunnya budaya sadar dan peduli pajak sejak dini. Hal ini penting untuk menjamin bahwa semakin banyak masyarakat yang mendapatkan pemahaman terkait pajak dan manfaatnya bagi negara. Budaya sadar pajak perlu dibangun sejak di usia dini, bahkan pra sekolah. Jika sadar pajak sudah menjadi budaya sejak usia dini, maka ini akan menjadi kebiasaan yang terbawa terus sampai dewasa. Ketika anak-anak ini nanti sudah dewasa dan bekerja, mereka sangat mungkin untuk patuh pajak secara sukarela.
Mewujudkan kepatuhan pajak sukarela memang tidak mudah, namun bukan mustahil terealisasi. Pajak adalah amanat UUD 1945, sehingga patuh pajak adalah kewajiban seluruh warga negara. Patuh karena dipaksa atau sukarela menjadi pilihan bagi wajib pajak. Apapun pertimbangannya, sukarela untuk patuh pajak harusnya menjadi pilihan bijak bagi seluruh masyarakat. Bukan untuk individu dan golongan, tetapi untuk Indonesia yang sejahtera.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1708 kali dilihat