Pajak UMKM Setengah Persen, terus?

Oleh: Moh. Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. Berita ini patut disambut dengan gembira. Semula, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Pengusaha UMKM dikenakan Pajak Penghasilan Final sebesar satu persen dari penghasilan bruto. Kini, mereka hanya dikenakan separuhnya saja.

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati oleh para pengusaha UMKM tersebut terkait dengan perubahan beleid tersebut. Pertama, bahwa peraturan tersebut diterbitkan dengan pertimbangan utama utuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak UMKM.

Ada tiga hal yang tersurat dalam pertimbangan tersebut: mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, memberikan kemudahan dan memberikan keadilan lebih bagi wajib pajak yang memiliki peredaran usaha tertentu (UMKM) dalam jangka waktu tertentu.

Kita bahas satu per satu. Pemerintah mendorong pelaku UMKM dapat “naik kelas” terlibat dalam kegiatan ekonomi formal. Apa perbedaan sektor ekonomi formal dan ekonomi informal? Dari beberapa literatur yang ada, beberapa ciri kegiatan ekonomi informal antara lain: tidak memiliki ijin usaha, tidak terorganisir dengan baik (misalnya tidak ada pembukuan, tidak ada SOP), pola kegiatan usahanya tidak teratur (lokasi dan waktu usaha), teknologi dan modal terbatas dan bersumber dari tabungan sendiri, hasil produksi dan pemasarannya juga terbatas. Melalui terbitnya peraturan ini, Pemerintah berharap pelaku UMKM “naik kelas” dari sektor ekonomi informal ke sektor ekonomi formal, memiliki izin usaha, terorganisir dengan baik minimal memiliki pembukuan, akses ke permodalan lebih luas, teknologi yang digunakan juga lebih maju, sehingga hasil produksi dan pemasarannya dapat lebih maju.

Yang kedua, memberikan kemudahan. Harus diakui, meski berbagai upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk mempermudah pembayaran dan pelaporan pajak, awam tetap saja beranggapan hal tersebut sulit dilakukan. Pelaku UMKM pun beranggapan sama. Upaya mempermudah pelaku UMKM dalam menjalankan kewajiban perpajakannya pun telah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Kerumitan menghitung pajak terutang, dipangkas dengan menerapkan satu tarif tunggal, satu persen dan dihitung dari penghasilan bruto (omset). Kewajiban menjalankan pembukuan pun diganti dengan kewajiban melakukan pencatatan omset saja. Kewajiban laporan bulanan secara khusus pun ditiadakan, wajib pajak cukup membayar pajaknya saja dan wajib pajak sudah dianggap lapor. Kemudahan ini tetap diakomodir dalam PP Nomor 23 tahun 2018 ini.

Yang terakhir adalah lebih berkeadilan kepada wajib pajak yang memiliki peredaran usaha tertentu dalam jangka waktu tertentu. Nuansa keadilan yang kental dalam PP Nomor 23 tahun 2018 yang berbeda dari PP nomor 46 tahun 2013 adalah bahwa pengenaan pajak sebesar setengah persen dari omset adalah merupakan pilihan. Kenapa ini dianggap sebagai “lebih adil” bagi UMKM?

Dulu, berdasarkan PP nomor 46 tahun 2013 para pelaku UMKM gebyah uyah dikenakan tarif tunggal satu persen dari peredaran bruto, tanpa memperhatikan mereka untung atau rugi secara akuntansi. Selama peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar akan dikenakan satu persen dari omset. Sedangkan dalam beleid terbaru, tarifnya tinggal separuh dan pelaku UMKM pun diberikan kesempatan untuk menghitung pajaknya dari penghasilan netto (penghasilan kena pajak) berrdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan. Artinya, pelaku UMKM yang merugi, tak perlu lagi membayar pajak penghasilan. Tentu ada beberapa persyaratan teknis yang harus dipenuhi. Salah satu diantaranya adanya pembukuan yang dilakukan sesuai kaidah akuntansi dan peraturan perpajakan. Mereka yang masih kesulitan untuk mengadakan pembukuan, cukup membuat pencatatan dan dikenakan pajak hanya sebesar setengah persen dari omset.

Oh iya, dalam rangka mendorong pelaku UMKM untuk melakukan kegiatan ekonomi formal, tarif yang rendah itu hanya dapat dimanfaatkan oleh orang pribadi paling lama tujuh tahun sejak PP ini ditetapkan. Sedangkan untuk UMKM badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas maksimal 3 tahun dan UMKM badan usaha yang berbentuk CV, Firma, & Koperasi maksimal 4 tahun. Setelahnya, mereka akan menggunakan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan.

Oleh karena itu, selain menikmati tarif yang rendah dan cara penghitungan yang mudah, pelaku UMKM jangan lupa juga untuk “naik kelas” dengan mulai belajar melakukan pembukuan sederhana, dan secara bertahap mulai melakukan pembukuan sesuai dengan kaidah akuntansi yang berlaku di Indonesia dan tentunya sejalan dengan ketentuan perpajakan juga. Karena sesungguhnya banyak UMKM yang gagal “naik kelas” karena mereka gagal mengetahui berapa keuntungan sesungguhnya hanya karena mereka gagal menyelenggarakan pembukuan. Mari bangkit UMKM Indonesia! (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.