Pajak UMKM Setengah Persen, Kado Lebaran Terindah

Oleh: Mohamad Apip, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Masih dalam suasana lebaran Idul Fitri 1439 H/2018 M, ada beberapa peristiwa besar yang menyedot perhatian publik. Pertama, Piala Dunia FIFA 2018, perhelatan akbar turnamen sepak bola dunia empat tahunan yang ditunggu-tunggu para pecinta sepak bola. Kedua, pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak seluruh Indonesia di 171 daerah. Ketiga, tak kalah pentingnya dengan dua peristiwa yang disebut sebelumnya, yaitu peluncuran beleid baru pajak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Saking pentingnya, Presiden RI Joko Widodo langsung turun sendiri yang meluncurkan aturan baru pajak UMKM di Surabaya tanggal 22 Juni 2018 dan di Denpasar tanggal 23 Juni 2018, yang dihadiri ribuan pengusaha UMKM.
Mengapa penting? Secara nasional, kontribusi sektor UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini mencapai sekitar 62 persen, dengan jumlah pelaku UMKM sekitar 59 juta, dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 97 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor UMKM memiliki peranan yang besar dalam menggerakan perekonomian nasional.
Kebijakan baru pajak UMKM ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23), berlaku sejak 1 Juli 2018. Wajib Pajak yang diatur di sini adalah yang omset usahanya tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.
Menurut penulis, ada beberapa hal yang menarik terkait PP 23 dan perlu diketahui para pengusaha khususnya pelaku UMKM.
Pertama, Tarif pajak penghasilan (PPh) UMKM turun. Sekarang hanya 0,5% (setengah) persen dari omset. Pengenaannya bersifat final dalam jangka waktu tertentu. Sesuai aturan sebelumnya (PP 46/2013), UMKM dikenakan PPh final sebesar 1% (satu persen) dari omset, namun tidak diatur mengenai jangka waktunya
Wacana penurunan tarif pajak UMKM sebenarnya sudah santer dari tahun lalu. Kabar baiknya adalah penurunan tarif ini menjadi kenyataan, tidak hanya sekadar wacana.
Sebagai praktisi yang sering berhadapan dengan Wajib Pajak (WP) UMKM, penulis sering menerima curhat dari para pelaku UMKM terutama dari orang pribadi usahawan. Menurut mereka, tarif pajak 1% dari omset masih terlalu berat bagi mereka. Sementara saat yang bersamaan mereka harus bayar sewa tempat usaha, bayar cicilan pinjaman ke bank, dan untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.
Dengan kebijakan pajak UMKM sekarang yang lebih ringan, pastinya akan menguntungkan pengusaha UMKM yang telah ber-NPWP dan telah rutin bayar pajak 1% dari omset tiap bulannya. Mereka dapat bernapas lebih lega, sehingga sebagian dana yang semula disisihkan untuk bayar pajak bisa digunakan untuk mengembangkan usahanya. Harapannya suatu saat saat nanti mereka bisa naik kelas.
Kedua, Masalah keadilan. Aturan pajak UMKM sesuai PP 23 lebih berkeadilan. Mengapa? Ada pasal yang memberikan opsi bagi pengusaha UMKM yang tidak ingin dikenakan PPh Final 1% dapat menggunakan penghitungan pajak penghasilan sesuai tarif umum Pasal 17 UU PPh (tidak final), dengan catatan yang bersangkutan memberitahukan terlebih dahulu kepada Dirjen Pajak.
Aturan ini akan meringkankan WP UMKM yang secara perhitungan pembukuan sebenarnya mengalami kerugian, namun sesuai aturan yang sebelumnya (PP 46/2013) tetap harus bayar PPh Final 1% dari omset.
Ketiga, Kesempatan partisipasi warga negara yang lebih luas. Dengan tarif pajak yang lebih kecil hanya 0,5% (setengah persen) dari omset, diharapkan akan mendorong masyarakat pelaku usaha UMKM yang belum punya NPWP, tergerak hatinya untuk segera mendaftar NPWP, masuk dalam sistem perpajakan dan ikut berpartisipasi membayar pajak (incentive to move).
Untungnya bagi para pengusaha UMKM adalah saat mereka diminta persyaratan NPWP untuk keperluan tertentu, seperti saat mengajukan pinjaman modal ke lembaga perbankan, mengajukan KPR, atau mengajukan perizinan usaha, mereka sudah siapkan jauh-jauh hari. Pantauan penulis, orang pribadi usahawan yang datang ke kantor pajak untuk mendaftar NPWP banyak yang dikarenakan faktor “butuh” untuk memenuhi persyaratan tertentu.
Adapun terkait saran seorang tokoh publik untuk mengenolkan tarif pajak usaha mikro dan kecil, penulis kurang sependapat. Menurut penulis, ini akan membatasi warga negara, khususnya pelaku UMKM, yang ingin berpatisipasi kepada negaranya.
Seperti termaktub dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Sementara itu, dalam Undang-Undang Pertahanan Negara disebutkan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Cara membela negara tidak harus dengan mengangkat senjata. Pajak adalah salah satu bentuk bela negara setiap warga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif melalui pembayaran pajak dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara dari sisi keuangan negara atau pembiayaan pembangunan.
Prasangka baik penulis, tidak semua orang ingin mengelak dari pajak. Kemungkinan yang ada adalah sebagian warga masyarakat belum bisa berpartisipasi karena tarif atau besaran pajaknya yang menurut mereka dirasa masih terlalu berat. Dengan tarif pajak yang lebih ringan, ada kemungkinan mereka jadi mau berkontribusi. Apalagi dengan melihat sejarah, sedari dulu masyarakat kita adalah masyarakat yang suka bergotong-royong.
Secara individu, pajak yang terkumpul dari UMKM masih terbilang kecil. Namun dengan jumlah pelakunya yang banyak dan jika makin banyak yang mau mendaftar NPWP dan membayar pajak secara tertib dan kontinyu, ke depannya UMKM akan memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap kemandirian keuangan negara. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 372 kali dilihat