Oleh: Diaz Restu Pramudya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pernahkah Anda menyantap makanan menggunakan sumpit? Seberapa sering Anda menggunakannya? Pastinya istilah sumpit sudah tak asing lagi di telinga kita bukan?

Ya, sumpit merupakan salah satu alat makan berbentuk dua batang sama panjang yang penggunaannya dipegang oleh jari-jari tangan dengan posisi menjepit. Sumpit berasal dari Asia Timur tepatnya China. Pada umumnya sumpit terbuat dari bahan kayu, bambu, plastik, dan logam yang permukaannya telah dihaluskan terlebih dahulu demi kenyamanan konsumen yang menggunakannya.

Biasanya keberadaan sumpit ini identik dengan makanan khas negara China, Jepang, dan Korea. Di tiga negara tersebut sumpit sudah menjadi alat makan utama bagi warga di sana. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai negara lain pun telah menerapkan pemakaian sumpit sebagai alat makan, termasuk Indonesia. Bahkan sekarang ini, posisi sumpit sebagai alat makan setara dengan sendok dan garpu.

Di Indonesia sendiri, pemakaian sumpit dapat ditemui di berbagai restoran dan warung makan tertentu. Bakso dan mi ayam menjadi salah satu warung makan penyedia sumpit yang populer di masyarakat. Sering kita melihat bahwa sumpit yang kita pakai saat hendak makan bakso atau mi ayam biasanya adalah sumpit yang berbahan plastik atau logam dengan permukaan yang telah dihaluskan dan dilapisi dengan cat. Untuk penggunaan sumpit tersebut dapat dipakai berkali-kali dengan cara mencucinya.

Namun penggunaan sumpit berbahan plastik atau logam sepertinya sudah mulai berkurang semenjak munculnya sumpit sekali pakai yang biasanya dilengkapi dengan tusuk gigi sekaligus. Sumpit sekali pakai ini terbuat dari kayu dan kebanyakan terdapat di restoran-restoran. Namun, beberapa warung makan sekarang juga sudah menerapkan penggunaan sumpit sekali pakai tersebut karena dinilai lebih praktis dan terjangkau baik dari segi harga maupun berat.

Kelebihan tersebut membuat permintaan sumpit sekali pakai selalu meningkat. Apalagi bagi negara-negara yang menggunakan sumpit sebagai alat makan utama, tentunya produksi sumpit sekali pakai ini akan sangat besar dan mengandung keuntungan besar pula bagi perusahaan produksi sumpit sekali pakai. Akan tetapi, apakah hal ini merupakan hal yang baik-baik saja? Apakah tidak ada dampak negatif dengan permintaan yang besar terkait pengadaan sumpit sekali pakai ini?

 

Pengenaan Pajak Sumpit Sekali Pakai di Negara China

Sebagai negara asal terciptanya sumpit, China telah menganggap penggunaan sumpit lebih umum daripada sendok dan garpu untuk alat makan. Meskipun sumpit dapat dibuat dari bahan plastik, logam, maupun gading, sumpit-sumpit yang banyak digunakan di China adalah sumpit sekali pakai yang terbuat dari kayu. Menurut ketua Jilin Forestry Industry Group, Bai Guangxin, China menghasilkan sebanyak 80 miliar pasang sumpit sekali pakai setiap tahunnya. Sekitar 20 juta pohon ditebang setiap tahun untuk keperluan produksi sumpit sekali pakai ini. Pohon yang ditebang tersebut merupakan pohon yang berusia 20 tahun. Pernyataan yang dilontarkan oleh Bai Guangxin ini terjadi pada tahun 2013.

Jauh sebelum itu, pada tahun 2011 terdapat pernyataan seragam mengenai produksi sumpit sekali pakai di China menurut laporan New York Times. Bahwa berdasarkan hasil statistik pada tahun 2004-2009, badan kehutanan nasional China memperkirakan total produksi sumpit sebanyak 57 miliar per tahun dengan jumlah penebangan pohon sekitar 3,8 juta per tahun. Angka tersebut sangat berbeda jauh dengan angka yang dikatakan Bai Guangxin di tahun 2013. Hal tersebut membuktikan bahwa permintaan sumpit sekali pakai melonjak parah di Negara China.

Pastinya terlihat jelas dampak apa yang timbul dari meningkatnya produksi sumpit sekali pakai ini, yaitu terancamnya kelestarian hutan di China karena banyak penggundulan hutan besar-besaran. Berbagai langkah telah diterapkan oleh pemerintah China, salah satunya pengenaan Pajak Sumpit Sekali Pakai sebesar 5% pada tahun 2006.

Penerapan pajak sumpit sekali pakai ini dinilai efektif bagi pihak pemerintah China karena sebelumnya pemerintah China sudah berupaya untuk memerangi penggunaan sumpit sekali pakai dengan meminta restoran-restoran di sana untuk menjauhi pemakaian sumpit sekali pakai. Namun, hal tersebut masih menimbulkan kendala karena ternyata produksi sumpit sekali pakai ini membuka kontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Selain itu, harga yang murah menjadi kendala juga untuk menjawab persoalan tersebut karena masih banyak restoran-restoran kecil. Restoran tersebut tentunya akan sulit untuk menjauhi pemakaian sumpit sekali pakai ini karena dikhawatirkan dapat berakibat bagi lapangan pekerjaan. Maka dari itu, langkah yang diambil dalam menekan persoalan terkait besarnya permintaan sumpit sekali pakai di China yaitu adanya Pajak Sumpit Sekali Pakai sebesar 5% untuk setiap penggunaan. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi dan juga melestarikan hutan di sana.

 

Implementasi Pajak Sumpit Sekali Pakai di Indonesia

Sumpit sekali pakai yang ada di Indonesia untuk saat ini memang belum memiliki pajak khusus yang mengaturnya. Namun sumpit sekali pakai ini merupakan barang yang tergolong barang kena pajak dan dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% sesuai pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengubah tarif PPN dari 10% menjadi 11% mulai tanggal 1 April 2022.

Di samping itu, dalam kaitannya dengan impor, sumpit sekali pakai juga dikenai tarif impor berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 41/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Sumpit sekali pakai termasuk ke dalam daftar impor barang tertentu lainnya yang dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dengan kategori perangkat makan dari kayu.

Selanjutnya muncul pertanyaan apakah sumpit sekali pakai perlu dilakukan pemajakan dengan tarif khusus di Indonesia? Tujuannya yaitu untuk melindungi kelestarian hutan produksi dan mengurangi sampah dari penggunaan sumpit sekali pakai ini.

Dapat dikatakan produksi sumpit sekali pakai di Indonesia juga meningkat. Terlihat dari restoran dan warung makan yang ada di Indonesia kebanyakan memakai sumpit berbahan kayu dengan dilengkapi tusuk gigi yang dibungkus plastik. Terlebih di bulan puasa ini pastinya semakin banyak orang yang mengunjungi restoran atau warung makan yang menjual makanan bersumpit daripada biasanya. Tentu hal tersebut menjadi persoalan besar apabila sampah dari sumpit sekali pakai kian menumpuk dan hutan produksi semakin terkikis.

Persoalan terkait hal tersebut pada kenyataannya masih bisa dicegah dengan aksi-aksi nyata yang dilakukan oleh beberapa pihak. Salah satu contohnya, perusahaan makanan terkenal yaitu Hokben yang berkolaborasi dengan Boolet untuk mengolah kembali sampah sumpit sekali pakai Hokben menjadi barang rumah tangga yang sedang tren dan ramah lingkungan. Mereka berupaya untuk menjadi bagian dari solusi sampah di Indonesia.

Sementara itu terkait persoalan hutan, kondisi hutan di Indonesia saat ini memang semakin berkurang luasnya daripada tahun-tahun sebelumnya. Namun kondisi ini masih terbilang cukup normal dan bisa dianulir dalam kaitannya dengan produksi sumpit sekali pakai. Produksi tersebut memang tiap tahunnya meningkat di Indonesia namun tidak segalak yang ada di China karena masyarakat Indonesia masih menganggap sendok dan garpu sebagai alat makan utama serta mudah digunakan.

Masih banyak orang Indonesia yang kadang ditemui saat ingin makan makanan yang telah disediakan sumpit namun tidak bisa menggunakannya karena belum terbiasa. Oleh karena itu, pajak atas penggunaan sumpit sekali pakai di Indonesia belum disentuh oleh pihak pemerintah untuk dibahas lebih lanjut terkait tarif pajak khususnya. Tidak menutup kemungkinan juga bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan terkait hal ini dengan menimbang pro dan kontra yang terjadi. Hanya saja untuk saat ini latar belakang yang mendasari pemajakan sumpit sekali pakai di Indonesia masih belum cukup kuat.

 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.