Oleh: Muhammad Fikri Ali, pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Pada triwulan dua tahun 2019 lalu Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat terbesar untuk memulai babak baru di pemerintahannya. Ketika itu ada “tokoh masyarakat” yang khas dengan jargon-jargonnya muncul (atau lebih tepatnya dimunculkan). Kehadiran mereka telah mengukir senyum masyarakat yang jenuh akibat adanya polarisasi yang ditimbulkan oleh pesta rakyat. Sebut saja nama mereka dengan Nurhadi-Aldo.

Nurhadi-Aldo bukanlah pasangan ningrat yang dipuja-puja oleh sekelompok orang karena kekayaannya. Mereka bukan juga pasangan dari kelompok ekonomi tingkat menengah yang bergerak melalui jalur independen. Mereka adalah pasangan calon pemilihan presiden fiktif dengan nomor urutan 10 yang dibuat oleh sekelompok anak muda yang tersebar di berbagai daerah. Mereka “diciptakan” karena sekelompok anak muda tersebut merasa gerah dengan kampanye hitam (black campaign) yang sedang marak terjadi kala itu.

Pasangan calon pemilihan presiden fiktif itu masyhur, dengan gayanya sendiri. Mereka terkenal dengan kutipan-kutipan yang dapat dibilang khas Red Light District milik Negeri Bunga Tulip. Namun, mereka juga tetap memiliki kutipan-kutipan khas masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dalam artikel ini tentu Penulis tidak akan membahas kutipan-kutipan yang berbau sensual. Di sini Penulis akan mencoba membahas kutipan yang berhubungan dengan ekonomi, lalu keterkaitannya dengan pajak.

Free Rider

Adapun beberapa kutipan mereka yang erat kaitannya dengan bernegara, yakni, “Pekerjaan akan lebih ringan jika tidak dikerjakan” dan “Kalau orang lain bisa, mengapa harus kita?” Kedua kutipan tersebut mengindikasikan adanya gelagat seorang anggota masyarakat yang ingin menjadi seorang free rider (penumpang gelap). Free rider sendiri didefinisikan sebagai “… A group of students who have been assigned to do a report where only one student cares, does allthe work and the others go along for a free ride” (Johnson dan Johnson, 1882).

Free rider dapat hadir di setiap sendi kehidupan (horizontal) maupun di segala tingkat kalangan masyarakat (vertikal). Ia dapat hadir di Sekolah Dasar (SD) hingga kuliah, di tongkrongan ronda malam, hingga di sebuah negara.

Saat seseorang menjadi warga negara, maka orang tersebut memiliki hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Tidak ada pemerintahan negara manapun yang ingin warga negaranya menjadi free rider. Sekali lagi, tidak ada. Hal yang sama juga berlaku di Indonesia. Hak dan kewajiban warga negara Indonesia telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 45).

Fungsi Pajak

Sebaliknya, negara juga memiliki kewajiban untuk warga negaranya. Untuk memenuhi hal tersebut salah satunya menggunakan instrumen keuangan bernama pajak. Mengutip pranala resmi milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pajak memiliki empat fungsi. Salah satu dari empat fungsi pajak tersebut adalah fungsi anggaran (budgetair). Melalui fungsi tersebut pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Dalam perpajakan di Indonesia, DJP mengacu —salah satunya— kepada asas kepastian hukum (certainty) milik Adam Smith. Asas kepastian hukum merupakan satu dari empat asas (four maxims) milik Adam Smith yang terkenal. Asas tersebut mengindikasikan keharusan adanya dasar hukum dalam dunia perpajakan. Dasar hukum ini dimanifestasikan dalam beragam bentuk sebagaimana yang diketahui bersama, antara lain: Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan, hingga Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Benang Merah

Satu benang merah yang dapat ditarik antara free rider dengan pajak adalah keduanya berada di kutub yang berlawanan. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan, sedangkan free rider adalah oknum yang menggunakan hasil dari pembangunan tanpa ikut membiayai pembangunan. Padahal ada aksioma umum yang berbunyi, “Seseorang tidak bisa meminta haknya apabila ia belum melaksanakan kewajibannya.” Artinya, seharusnya free rider tidak bisa meminta haknya (menikmati fasilitas pembangunan) apabila ia belum melaksanakan kewajibannya (membayar pajak).

Kenyataan dari penerapan kebijakan publik seringkali berbanding terbalik dengan teori yang telah dibuat sebagai dasar (baseline). Namun, justru di situlah kesempatan warga negara Indonesia untuk saling berikhtiar mengingatkan masyarakat di lingkungan sekitar yang sekiranya masih menjadi free rider dalam bentuk apapun, baik dalam komunitas masyakat yang terkecil hingga yang terbesar berupa negara.

Fakta keberadaan free rider yang memengaruhi perpajakan dapat dibuktikan oleh laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang bertajuk Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2021, Tax Compliance atau kepatuhan pajak di Indonesia pada tahun 2019 masih berada di angka 11,6%. Kepatuhan pajak sendiri dapat didefinisikan sebagai kemauan Wajib Pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan di suatu negara (Andreoni, et.al., 1998).

Secara umum kepatuhan pajak mengacu kepada kemampuan dan kemauan wajib pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan. Implementasinya yang diharapkan berupa melaporkan penghasilan dengan benar dan membayar pajak secara benar dan tepat waktu. Semakin tinggi kepatuhan pajaknya, maka kesadaran wajib pajak —kemungkinan besar—semakin baik. Dengan semakin sadar wajib pajak, maka semakin kecil juga kemungkinan adanya free rider di masyarakat.

Perlu diketahui bersama juga bahwa seseorang tidak akan dikenai pajak apabila tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Premis ini sekaligus juga menjadi pegangan bersama untuk hidup di masyarakat. Bahwa, kita tidak perlu takut akan dikenai pajak jika memang belum memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Kebalikannya, jika seseorang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dan tidak memenuhi kewajibannya, maka wajar untuk menjadi takut.

Peristiwa itu dapat dianalogikan ketika berada dalam sebuah kelas. Teman kita yang tidak ikut membayar iuran kas cenderung mangkir dengan berbagai alasan. Bahkan, untuk beberapa kasus teman kita akan takut berada di lingkungan kelasnya sendiri. Lain cerita bila teman kita itu telah membayar kas, maka ia akan nyaman ketika berada di lingkungan kelasnya sendiri.

Hal yang sama juga terjadi dalam sebuah negara. Wajib pajak yang menjadi free rider biasanya memiliki gelagat yang mencurigakan. Tentu kita sebagai pembayar pajak tidak ingin hal itu terjadi di lingkungan kita, bukan? Oleh karena itu, alangkah baiknya kita sebagai sesama warga negara di negara Indonesia ini saling mengingatkan.

Setiap agama mengajarkan untuk saling mengingatkan kepada sesama. Bukankah dalam Pancasila sila yang pertama mengajarkan tentang nilai agama? Tentu, nilai agama tersebut harus dijunjung oleh setiap warga negara Indonesia di setiap aspek kehidupannya. Salah satunya, mengingatkan free rider untuk tidak menjadi free rider, bukan?

Terlepas dari segala polemik yang ada, Nurhadi-Aldo telah membantu menyunggingkan senyum di setiap pembaca kutipan-kutipannya. Pro-kontra yang muncul tentang mereka sudah terlewati oleh waktu. Saat ini, pemilu 2019 telah usai. Sekarang saatnya untuk membuktikan diri bahwa kita bukanlah seorang free rider bagi negara yang kita cintai bersama ini. Tabik.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.