Negeri Darurat Inklusi Pajak

Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya)". Menurut sejarah bahasa Inggris, kata ini berasal dari bahasa Prancis "vandalisme" dan mengacu pada Vandal, salah satu suku di Jerman yang memorak-porandakan Roma kuno. Sebutan Vandal sendiri berasal dari bahasa Latin Vandalus yang berarti "Pengembara".

Pada tahun 1794, istilah vandalisme tercatat dalam laporan Uskup Blois, Henri Gregoire, untuk menggambarkan penghancuran karya-karya seni yang terjadi selama kekacauan di era Revolusi Perancis. Sejak saat itu, perilaku bar-bar ini digunakan untuk menggambarkan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang menghancurkan properti milik pribadi maupun umum tanpa adanya konsesi (kerelaan atau persetujuan) dari pemilik properti.

Rusaknya Moral dan Material

Aksi vandalisme, selain menyebabkan kerugian material bagi pemilik properti juga berpotensi merusak moral pelaku. Yang menyedihkan, terindikasi bahwa vandalisme telah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Perilaku vandalisme dari suku barbar ini bertransformasi dan menjadi hegemoni dalam bentuk-bentuk perusakan fasilitas umum, tempat wisata, serta barang-barang kepemilikan individu.

Masih lekat dalam ingatan kita, bangsa ini pernah dikecam lantaran salah satu oknum pendaki dari Indonesia membuat grafiti di bebatuan Gunung Fuji. Bagi bangsa Jepang, gunung ini sangat sakral sehingga menimbulkan kemarahan rakyatnya.

Selain aksi grafiti dan perusakan tempat wisata di luar negeri, vandalisme lain yang cukup fenomenal adalah hilangnya mur dan baut pengaman, lampu penerangan, dan penunjuk jalan di jembatan Suramadu. Aksi pencurian pada fasilitas umum termasuk dalam kategori vandalisme predatoris yang tak hanya bersifat destruktif, namun juga mengambil keuntungan bagi si pelaku.

Pelaku vandalisme predatoris, secara individu maupun berkelompok, tentu tak pernah memikirkan efek negatifnya terhadap kerugian material negara. Penyebabnya tak melulu akibat faktor ekonomi sebab bisa jadi perbuatannya itu memang profesi. Ini tentang moralitas yang telah hilang dalam kultur budaya bangsa.

Kembali Maraknya Vandalisme

Aksi vandalisme pada fasilitas umum kembali mencuat akhir-akhir ini. Beberapa kasus menjadi sorotan publik, seperti:

1. Aksi vandalisme pada peringatan Hari Buruh Internasional 2018 di Bandung. Selama perjalanan dari Gedung Sate hingga Monumen Perjuangan, sekelompok massa mencorat-coret tembok Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan kata-kata kotor kemudian menendangi rambu lalu-lintas pembatas jalan di depan lapangan Gasibu. Tak cukup sampai di situ, massa lalu mencorat-coret sejumlah gedung perkantoran di sekitar Dipatiukur dan jalan raya Diponegoro. Tak hanya di Bandung, aksi corat-coret juga menodai sejumlah pembatas jalur bus Transjakarta di kawasan Sarinah pada peringatan yang sama di Jakarta.

2. Aksi sekelompok pemuda pada acara Sahur On The Road di awal Juni 2018 yang mencorat-coret jalan lintas bawah Mampang dan Matraman. Selain aksi tersebut, juga terjadi pencurian penutup lubang saluran air di jalan lintas bawah itu sehingga harus dilakukan pengadaan ulang dan pengelasan nonpermanen.

3. Aksi corat-coret di tembok Stasiun Kereta Api Bandara BNI City Tanah Abang dan gerbong kereta listrik yang sedang terparkir di Stasiun Manggarai oleh beberapa pengunjung.

Menilik fakta di atas, pelaku vandalisme ternyata bukan hanya dari kalangan remaja, tetapi juga orang dewasa yang seharusnya mampu memberikan contoh nyata dalam menjaga fasilitas umum. Apalagi, dana yang digelontorkan untuk membangun dan memelihara sarana publik tersebut tentu tak sedikit. Biaya tambahan untuk memperbaiki kerusakan dan meningkatkan sistem penjagaan fasilitas tersebut dapat menyebabkan pemborosan anggaran.

Pentingnya Program Inklusi

Selama ini, penanganan preventif aksi vandalisme sendiri sebatas memasang CCTV dan menugaskan personel keamanan di sekitar fasilitas umum. Strategi ini memang terlihat efektif tetapi tidak menyelesaikan permasalahan hingga ke akarnya. Ibarat sebuah pohon, perilaku negatif ini sudah terlanjur menggerogoti batang dan menyebabkan sebagian cabang dan buahnya busuk.

Untuk menghilangkan virus destruktif ini, "pemilik pohon" harus berani menebang cabang dan dahan yang membusuk, yaitu memberikan efek jera bagi pelaku yang tertangkap. Pemberian sanksi sesuai aturan akan mencegah bermunculannya perilaku sejenis.

Selain tindakan kuratif di atas, "pemilik pohon" juga harus merawat akar dan batang yang masih sehat dan belum terkontaminasi bibit vandalisme dengan menyuntikkan formula antivirus yang tepat.

Salah satu program yang mampu menanggulangi dan menangkal berkembangnya budaya vandalisme adalah Inklusi Pajak dalam pendidikan. Program yang merupakan salah satu agenda reformasi perpajakan ini bertujuan untuk memasukkan nilai-nilai kesadaran pajak baik di tingkat pendidikan dasar hingga ke pendidikan tinggi.

Di jenjang pendidikan dasar, materi kesadaran pajak akan dibawakan menyatu dalam kurikulum dan memberikan pondasi yang kokoh tentang manfaat pajak terkait keberadaan fasilitas umum. Materi ini akan diberikan dengan metode yang sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik. Pemberian materi sejak dini akan membekas dalam memori pelajar dan mampu membentuk rasa kepemilikan terhadap sarana umum dalam arti positif, yaitu turut menjaga dan merawat fasilitas tersebut.

Di tingkat pendidikan tinggi, muatan kesadaran pajak disampaikan menyatu dalam mata pelajaran Mata Kuliah Wajib Umum yaitu: Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Agama. Pemilihan integrasi kesadaran pajak dalam mata kuliah ini dianggap tepat sebab dikemas dalam berbagai model pembelajaran yang bersifat mengaktifkan mahasiswa melalui transformasi pengalaman sehingga terbangun kesadaranan peran pajak dalam pembangunan. Dengan bekal kesadaran itulah aksi vandalisme akan dapat dicegah dan bukan tak mungkin punah selama-lamanya dari bumi pertiwi.

Revolusi Karakter Bangsa

Dengan cakupan target program yang luas, diharapkan akan terwujud Nawa Cita di bidang pendidikan yaitu melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Selaras dengan hal tersebut, para fasilitator yang tersebar di seluruh Indonesia sedang dan akan terus melaksanakan program Inklusi Pajak dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait di bidang pendidikan.

Sejak diluncurkannya program di akhir tahun 2017 lalu, tak kurang 31 kantor wilayah Ditjen Pajak dari Sabang hingga Merauke telah melakukan sharing session bekerja sama dengan Kopertis serta pihak-pihak lain yang mendukung keberlangsungan program ini. Sebelum tahun ini berakhir, ditargetkan seluruh kantor wilayah telah melaksanakan sesi ini dan melahirkan duta-duta inklusi baru yang berasal dari para pendidik.

Ditjen Pajak juga telah menyiapkan kanal khusus untuk memenuhi kebutuhan referensi dan sumber materi yang akan digunakan dalam implementasi program inklusi melalui situs http:/edukasi.pajak.go.id. Situs ini terus-menerus dikembangkan dan diperkaya dengan beragam konten yang menunjang metode pembelajaran di semua jenjang pendidikan.

Namun, sebagus apapun sebuah program dirancang dan diluncurkan, takkan berarti tanpa dukungan dari semua pihak. Kesadaran bahwa negeri ini dalam kondisi darurat terjangkit budaya vandalisme yang akut, seharusnya mampu membangkitkan semangat seluruh pihak terkait untuk bersama-sama menyukseskan program ini.

Aksi vandalisme pada fasilitas publik merupakan bentuk nyata perusakan properti milik negara yang dibiayai dari APBN, tak jauh berbeda dengan perilaku korupsi yang menggerogoti uang rakyat. Apakah kita rela generasi penerus bangsa tumbuh dengan tabiat itu?

Mari kita renungkan pesan bijak dari Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata yang terkuat untuk mengubah dunia." Mari bersama-sama menjadikan senjata itu untuk membenahi karakter bangsa melalui program Inklusi Pajak! (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.