Merdeka dari Getassrabi

Oleh: Dewi Susanti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Mbak, aku meh mbayar pajek," ujar seorang bapak berusia sekitar 50 tahunan. Udara yang cukup panas siang hari itu, semakin menyatakan buliran peluh yang menyusup keluar dari kulit wajah keriputnya.
"Oya, silakan duduk dulu Pak." Saya menawarkan tempat sembari tersenyum melihat semangatnya yang sangat.
Siang sudah matang, beberapa orang semakin banyak yang datang hingga membentuk antrean. Beberapa di antara mereka terlihat saling menyapa, berbincang satu sama lain, kemudian tertawa. Sebagian yang lain terlihat merubung membicarakan sesuatu. Mungkin mereka tetangga desa.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus memang memiliki program Mobile Tax Unit (MTU) sebagai sarana kemudahan bagi para wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Semacam "pajak masuk desa" yang menyediakan pelayanan mulai dari konsultasi, pelaporan SPT hingga pembuatan kode billing untuk pembayaran. Dan kali ini, kami mendapat kesempatan untuk memberikan layanan itu di Balai Desa Getassrabi, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Sebuah desa yang berpenduduk sekitar 12.000 jiwa dengan mata pencaharian sebagian besar bertani dan menjadi buruh pabrik.
Meskipun tingkat pendidikan masyarakat Desa Getassrabi cukup tinggi, namun pemahaman mereka terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan masih rendah. Untuk itu, KPP Pratama Kudus merasa perlu untuk melakukan pendekatan secara persuasif ke masyarakat desa. Mengapa harus jemput bola? Sebab kami menginsyafi bahwa tidak semua wajib pajak di pelosok desa bisa dengan sukarela dan berpayah datang ke Kantor Pelayanan Pajak guna melaksanakan kewajibannya. Banyak faktor penyebab. Bisa jadi karena kendala transportasi, kesehatan fisik yang tidak memungkinkan, pekerjaan yang tidak bisa ditinggal terlalu lama, atau kerumitan lain yang membayang. Padahal mungkin, mereka sudah memiliki niat untuk itu.
Presiden Internasional Tax dan Investment Center (ITIC) Daniel Witt mengatakan, pemerintah dinilai perlu menggunakan pendekatan tekanan sosial guna membuat masyarakat patuh membayar pajak. Namun, langkah ini akan efektif jika mereka sedari awal punya kesadaran moral untuk membayar pajak. Pembentukan kesadaran moral ini tidak bisa terbangun dalam waktu singkat. Perlu usaha konsisten dalam jangka panjang. Pendekatan personal dan memudahkan urusan perpajakan masyarakat di Desa Getassrabi merupakan salah satu upayanya.
"Nah, begini dong ... petugasnya yang datang ke desa. Jadi dekat, kami juga nggak repot- repot," kata seorang yang lain.
"Iya, Pak. Datang ke kantor males juga ya?" jawab teman kami. Membuat para wajib pajak terbahak serentak. Mengamini.
Sungguh, saya melihat banyak wajah ketulusan di sini. Saat mereka berebut maju untuk melakukan pembayaran. Bahkan beberapa di antaranya ada yang ditertawakan dan diledek habis-habisan sebab jumlah pajak yang disetorkan "terdengar kecil" bagi telinga mereka.
"Pajakmu kenapa sedikit sekali? Koq malah lebih banyak aku? Padahal kemarin kamu habis beli mobil baru, kan?” seloroh salah satu wajib pajak kepada teman di sebelahnya. Yang disenggol-senggol hanya bisa tertawa kecil.
"He eh, anakmu ya empat, kan? Kalau makannya banyak, bayar pajaknya harus lebih banyak juga.” Yang lain tidak mau ketinggalan menimpali. Sedang yang bersangkutan semakin terlihat tersipu. Sampai di sini, saya tak bisa menahan gelak.
Mereka, yang tinggal di pelosok desa itu, yang datang dengan peluh dan kaos lusuh itu, yang menurut pengakuannya tidak "tahu" komputer dan teknologi itu, mungkin tidak sampai memikirkan bahwa uang pajak yang mereka bayarkan telah menopang lebih dari 65,37% kebutuhan APBN kita.
Bahwa, yang telah mereka lakukan adalah sebuah bentuk pertanggung jawaban terhadap arti kemerdekaan. Bahwa, dengan kemandirian ekonomi maka kita bisa menentukan langkah sendiri. Bisa membangun Indonesia yang adil dan makmur dengan bersama-sama. Bahwa, dengan uang pajak yang mereka bayar, diharapkan dapat membuat pembangunan terus berjalan. Mulai dari kesejahteraan yang membaik, penurunan tingkat kemiskinan, sarana pendidikan dan layanan kesehatan yang merata, hingga konektivitas atau akses yang lebih baik.
Selayak kata mereka, "Aku sebenarnya kalau disuruh bayar pajak ya mau. Nggak keberatan. Cuma nggak ngerti caranya aja.”
"Hiyo, aku yo pengen juga bayar pajak. Meskipun sedikit, tapi bisa membantu negara,” timpal yang lain.
Mereka, mungkin benar adanya, hanya orang-orang sederhana. Namun ketulusan yang terpancar, tampak sekali menyata bahwa merekalah pahlawan yang sebenarnya. Dan sungguh, apatisnya saya soal kepatuhan membayar para wajib pajak seakan terpatahkan di sini. Di pelosok desa ini. Hingga kembali, memunculkan lagi semangat kemerdekaan yang sempat lekang. Serta sadar akan sebuah keniscayaan, ada cita-cita besar dan mulia yang bisa kita bawa: "Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 228 kali dilihat