Suatu saat Di Hutan Wasile

Oleh: Devid Marthin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Keputusan Kepala Kantor Pajak Pratama Tobelo nomor: KEP-16/WPJ.16/KP.11/2016 tanggal 27 Juni 2016, menghantarku menelusuri panjangnya jalanan Tobelo ke Dodinga dan pertigaan Dodinga berjibaku dengan jalanan berlubang dan batuan serta tajamnya jurang, menghantarkan aku ke Subaim.

Sampai di Subaim, Armin yang adalah pengemudi tetap pada KP2KP Maba hanya tersenyum saat saya bertanya, "Belum sampai juga?” Sudah hampir 6 jam berkendara dengan mobil dinas KP2KP Maba, dan ternyata belum sampai. "Baru di ujung ini," kata Armin.

Perjalanan kami mulai lagi melewati terjalnya jalanan Gunung Uni-Uni. "Ngeri-Ngeri Sedap, masa' jalan di bawahnya jurang dalam, rusak parah, eh kalau tidak bertemu jurang pasti tebing dengan batu-batu besar, ah kenapa juga dibangun jalan di tempat ini,” tanyaku, si Armin cuman tertawa saja terus. "Cuman ini pilihan jalannya pak," ucap Amin. "Masa' sih, hidup saja ada pilihan, masak membangun jalan tak ada pilihan?" gumanku.

Ada pemandangan menarik ketika menyusuri jalan menurun dari Uni-Uni. Di pinggiran jalan berdiri gubuk-gubuk kecil dari papan. Dan ada lelaki dan perempuan berambut panjang, tidak terurus dengan parang dan tombak di sampingnya.

Armin mengatakan, "Pak nanti lempar uang seribu atau lima ribu deng rokok, jangan yang 50 ribu, nanti dipikir doi palsu, bisa ditombak kita."

Ternyata jalan yang kami lalui itu adalah Hutan Wasile. Di hutan inilah hidup suku pedalaman yang disebut "Suku Togutil". Suku Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. 

Togutil sendiri memiliki arti "suku yang hidup di hutan" atau dalam bahasa Halmahera pongana mo nyawa. Mereka hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Dari sisi pekerjaan, suku ini tak bercocok tanam dan hanya mengandalkan hasil hutan. Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur.

Setelah tiga jam melewati Pucak Uni-Uni dan Suku Togutil akhirnya kami tiba di Buli. "Ah akhirnya sampai juga di tempat tugas yang baru," kataku.

Tetapi, Armin mengatakan, "Belum pak, masih sejam lagi, masih naik-naik puncak lagi"

"Apa?! Sudah 9 Jam perjalanan dan masih belum sampai?! Hidup tak sebecanda itu kawan," batinku mengatakannya.

Ah jauh sekali Maba, Maba ibukota Kabupaten Halmahera Timur, di kota itu berdiri Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) Maba, yah keputusan pimpinan menempatkan saya di kota itu.

Setelah jalanan terjal dan bebatuan dari Buli menuju Maba selama sejam lebih 30 menit, tiba juga di Maba. Armin membangunkanku dan berkata, "Sudah sampai di kota pak."

Aku terkaget bangun, "Ah Armin, ini bukan kota ini masih di desa, sepi begini." 

Dia cuma tertawa dan mengatakan, "Tuh kantor kita Pak."

Masih tak percaya, begitu sunyinya kota ini. Waktu baru menunjukkan pukul 17.38 WIT, seperti kota mati yang tak berpenghuni. Saya bertemu dengan Kepala KP2KP Maba saat itu Nur Fahman, pria asal Jakarta.

"Sudah hampir lima tahun aku di sini Dave," kata pria berperawakan kecil ini.

"Bapak yang pimpinan saja sudah 5 tahun, bagaimana saya pak?" balasku.

Tiba-tiba gelap gulita, Nur Fahman cuma berpesan, "Nanti diadakan genset yah! kan da tuh di DIPA, tetapi nyalakan saat pelayanan aja yah soalnya ga ada SPBU, bensin di sini susah trus harganya 20 ribu sebotol, ga sampe se-liter juga."

Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIT, "Man, kok signal HP ga ada?" tanyaku kepada Ilman Abdul Ghani, rekan kerja yang juga ditempatkan di KP2KP Maba. 

"Signal di sini kadang hilang bisa sampe 3 hari bang," katanya.

"Bisa berbahaya ini untuk kita yang LDR," batinku.

"Di sini warung cuma ada 5 bang, penginapan 2, sore jam 3 itu pasti sudah sepi bang, belum harga rokok 30 ribu bang, harga nasi ikan 45 ribu bang. Nikmati aja bang di sini, sesekali rasain sepi, jauh dari keramaian. Toko yang lumayan cuma 1 aja bang yang lain kios semua," jelas pria asal Sleman yang merupakan lulusan STAN BDK Manado.

Untung saya tidak harus menjalani penempatan lebih dari 5 tahun di sini. Karena Kepala Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo dan Maluku Utara memutuskan untuk memindahkan saya ke Kanwil DJP Suluttenggomalut di Manado sesuai KEP-234/WPJ.16/2017 tanggal 14 Juli 2017, tepat 1 tahun 18 Hari di Maba.

Yang paling berkesan selama waktu yang singkat di Maba adalah bagaimana kita belajar militansi. Militansi untuk memenuhi target pekerjaan dan penerimaan pajak di Halmahera Timur dengan situasi Biaya Mahal, Jalanan yang Rusak Parah, jembatan putus, longsor, listrik padam, dan jaringan telekomunukasi yang parah.

Kadangkala kami harus ke tengah hutan atau ke tengah laut hanya untuk mencari signal tilpun untuk mengirimkan data yang diminta oleh KPP ataupun Kanwil. Bermalam di tengah hutan bukan sekadar cerita sesekali hampir berulangkali terjadi. Belum terombang ambing di lautan, berpacu dengan longsor dan jalan bebatuan serta berlubang seolah menjadi sinetron panjang yang mengalahkan panjangnya sinetron "Cinta Fitri" untuk Pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditempatkan di KP2KP Maba.

Siapa pun PNS DJP yang ditempatkan di KP2KP Maba, pasti akan menjadi militan dalam melaksanakan tugas menghimpun penerimaan dan memberikan pelayanan kepada wajib pajak dan stake holder di Halmahera Timur.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.

File Artikel Terkait