Meningkatkan Tax Ratio Melalui Pengendalian Shadow Economy

Oleh: Dito Laksmana Putra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemilihan Umum, pesta demokrasi terbesar di Indonesia, memang telah usai. Namun topik-topik yang dibahas dalam debat pemilihan orang nomor satu dan nomor dua di Indonesia ini masih terus diperbincangkan dalam percakapan sehari-hari. Salah satu topik yang hangat hangat sedap dibahas mulai dari warung kopi sampai bincang pagi di televisi adalah ihwal rasio pajak atau tax ratio. Tax ratio merupakan perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) di masa yang sama. Memang, dalam tiga tahun terakhir Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengukir prestasi dengan melampaui target penerimaan pajak yang diamanahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, dalam hal tax ratio, kita masih di bawah Vietnam, Filipina dan Kamboja.
Tentu hal ini menimbulkan tanya, “Apakah benar hal tersebut nyata adanya?”
“Apa penyebabnya?”
“Apa yang bisa kita perbaiki?”
Dan pertanyaan sebagainya.
Faktanya, berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), di tahun 2022 tax ratio Indonesia sebesar 10,4% terhadap PDB. Perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa tax ratio yang dimiliki Indonesia jauh lebih rendah dari rata-rata tax ratio negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yakni sebesar 33,5%. Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata tax ratio di Asia Pasifik (19%), Indonesia masih perlu meningkatkannya.
Secara umum ada dua faktor utama yang menyebabkan tax ratio Indonesia rendah. Pertama karena adanya policy gap dan kedua karena faktor compliance gap. Policy gap ini timbul karena adanya tax expenditure atau berkurangnya penerimaan pajak akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem perpajakan secara umum, seperti insentif. Contoh nyatanya, pemberian fasilitas perpajakan dengan pemberian tarif pajak yang lebih rendah untuk wajib pajak dari golongan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Sementara itu, compliance gap terjadi karena adanya keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak dan kapasitas pengawasan. Hal ini disebabkan karena faktor sistem administrasi yang berlaku di otoritas pajak. Lebih lanjut terkait sistem administrasi yang berlaku di otoritas pajak, sistem perpajakan di Indonesia menggunakan self assessment system. Dengan sistem ini, DJP memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun bagi wajib pajak, pajak merupakan beban yang akan mengurangi profit yang telah didapatkan. Hal inilah yang menyebabkan wajib pajak mencari cara untuk meminimalisasi beban pajak dan secara agresif menghindari kewajiban pajaknya.
OECD mendefinisikan perilaku meminimalisasi beban pajak dengan tidak melaporkan omzet usaha yang sesungguhnya dan menutupi penghasilan yang dapat dipajaki sebagai salah satu bagian dari shadow economy. Shadow economy adalah kegiatan ekonomi, baik itu legal maupun ilegal, yang diwajibkan oleh undang-undang untuk dilaporkan sepenuhnya kepada instansi perpajakan tetapi tidak dilaporkan. Oleh karena itu, ia menjadi kegiatan yang tidak dikenakan pajak sebagaimana mestinya. Estimasi proporsi shadow economy dibandingkan dengan PDB bervariasi dari kurang dari 1% dari PDB hingga lebih dari 20% di negara lain.
Sementara itu, di Indonesia, menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), shadow economy diperkirakan sebesar kisaran 8.3% hingga 10% dari PDB. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia di tahun 2022 sebesar Rp19.588 triliun. Mengacu pada data tersebut, shadow economy di Indonesia bisa mencapai Rp1.958 trilun atau AS$128 miliar di waktu bersamaan. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia terdistorsi dan tumbuh di bawah potensi sesungguhnya. Jika aktivitas perekonomian dapat terdata dan tertata lebih baik dan meminimalisasi shadow economy, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi dalam 20 tahun terakhir.
Persoalan terkait shadow economy ini sangat kompleks dan tidak hanya mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak, tetapi juga berdampak luas pada tatanan sosial, ekonomi, dan hukum suatu negara. Urgensi ini semakin nyata di tahun 2021. Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan untuk menjaga integritas dan stabilitas sistem perekonomian, khususnya mengentaskan masalah terkait shadow economy. Arahan Presiden tersebut ditindaklanjuti antara lain dalam bentuk kerjasama antara PPATK dan DJP untuk mencegah kerugian pada negara.
Kerja sama PPATK dan DJP berhasil mengungkap salah satu sektor dalam shadow economy yakni sektor e-commerce, termasuk mendeteksi adanya praktik pencucian uang berbasis perdagangan (trade-based money laundering). Kerja sama PPATK dengan DJP juga secara nyata berhasil meningkatkan penerimaan negara sebesar 76 miliar rupiah selama periode Januari hingga Juni 2021.
Namun, hal ini masih jauh panggang dari api untuk mengatasi problematika shadow economy ini. Salah satu negara yang berhasil meminimalisasi dampak shadow economy adalah Australia. Usaha nyata pemerintah untuk memerangi shadow economy di Australia telah dimulai di tahun 2016, dengan mendirikan suatu gugus tugas yang bernama Black Economy Standing Taskforce (BEST). Diperkirakan dampak ekonomi dari shadow economy di Australia mencapai 3% dari PDB, atau sekitar 50 miliar dolar Australia.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah Australia mengumumkan paket kebijakan untuk menangani shadow economy menggunakan rekomendasi dari laporan akhir BEST. Australia Tax Office (ATO), atau DJP-nya Negara Kanguru, berperan penting dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan hasil rekomendasi dari BEST. Setelah tiga tahun program berjalan hingga akhir Juni 2021, ATO berhasil mengumpulkan tambahan dana sebesar 2,6 miliar dolar Australia dari strategi penegakan hukum baru dan implementasi paket kebijakan tersebut.
Berkaca pada keberhasilan di Australia, penulis melihat bahwa upaya pemberantasan shadow economy di Indonesia perlu dilakukan dengan lebih masif lagi. Upaya yang telah dilakukan terkait sektor e-commerce perlu diperluas ke sektor-sektor lainnya. Mengingat masifnya perdagangan antarnegara dengan meluasnya globalisasi, pengawasan terhadap transaksi afiliasi dan lintas batas wilayah sangat mungkin menjadi bagian baru dari shadow economy di Indonesia. Pengawasan yang tepat terhadap transaksi-transaksi tersebut niscaya akan meningkatkan basis pajak di Indonesia.
Jika kita bisa meningkatkan basis pajak dengan menyiapkan paket kebijakan dan aturan yang dapat menekan jumlah praktik shadow economy, penulis yakin dampaknya akan signifikan untuk APBN kita. Dengan demikian, aspek keadilan pun akan meningkat, karena pihak-pihak yang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun selama ini belum berkontribusi melalui pembayaran pajak akan ikut menanggung beban pajak. Sehingga, mereka menjadi bagian dari golongan yang ikut membiayai pembangunan dan kesejahteraan umum.
Mengingat rendahnya tax ratio dan masih masifnya praktik shadow economy di Indonesia, diperlukan upaya konkret dan komprehensif dari pemerintah, DJP, dan seluruh pemangku kepentingan terkait. Meskipun langkah-langkah seperti kerjasama antarlembaga dan adaptasi kebijakan dari pengalaman negara lain telah dilakukan, masih terdapat ruang perbaikan yang besar. Perlu diperluas cakupan pengawasan ke sektor-sektor lain yang rentan terhadap praktik shadow economy serta penyusunan kebijakan yang lebih berorientasi pada penutupan kebocoran pajak. Selain itu, perlu ditingkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Hal ini juga perlu dibarengi peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan dapat tercapai peningkatan tax ratio yang signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif serta berkelanjutan bagi Indonesia.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 1544 kali dilihat