Menilik Ancaman Penghindaran Artifisial BUT Digital

Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemerintah pada awal April 2019 menerbitkan PMK Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang memberikan penegasan terhadap definisi BUT di Indonesia. Penghindaran Status BUT oleh Multinational Enterprises (MNEs) telah menjadi perhatian khusus di berbagai negara termasuk Indonesia. OECD juga merilis laporan BEPS Action Plan terkait hal ini melalui BEPS Action 7 “Preventing the Artificial Avoidance of Permanent Establishment Status”. Namun, di era digitalisasi perekonomian yang tumbuh makin pesat, apakah PMK-35 cukup untuk melawan upaya penghindaran artifisial dari BUT Sektor Digital di Indonesia?
Penelitian Google dan Temasek pada 2018 tentang “e-Conomy SEA 2018 : Southeast Asia's internet economy hits an inflection point” menyatakan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan internet economy terbesar dan tercepat di regional Asia Tenggara. Pertumbuhan Indonesia mencapai 49% compounded annual growth rate (CAGR) antara tahun 2015-2018 dengan nilai bisnis digital sebesar $27 miliar di tahun 2018. Selain itu, demographic dividend yang dimiliki Indonesia serta pertumbuhan kelas menengah yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai pasar ekonomi digital yang sangat menjanjikan bagi MNEs.
Risiko terjadinya penghindaran taxable presence dengan memanfaatkan tax treaty serta kelemahan dalam regulasi pajak domestik tidak dapat lagi dihindari terlebih dengan model bisnis baru dari MNEs Digital yang semakin variatif dengan penggunaan teknologi modern. Perlu perbaikan dari konsep BUT saat ini yang terlihat cukup usang akibat dinamika digitalisasi ekonomi yang makin pesat. Inisiatif pemerintah dalam kebijakan pajak bagi MNEs digital diperlukan untuk memberikan keadilan bagi startup lokal dalam berkompetisi dengan perusahaan digital berskala internasional.
Penghindaran Status BUT Digital
Strategi penghindaran taxable presence oleh MNEs yang relevan dengan ekonomi digital menurut BEPS Action 7 dilakukan melalui pemanfaatan pengecualian definisi BUT yang diatur dalam Pasal 5 (4) OECD ataupun UN Model 2017. Penghindaran artifisial ini biasanya dilakukan melalui fragmentasi kegiatan usaha sehingga dapat memenuhi karakter preparatory atau auxiliary. Selain itu, penghindaran status BUT melalui penyalahgunaan status agen independen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (5) Indonesia Model juga memungkinkan dilakukan dengan model bisnis perusahaan digital yang tidak terlalu memerlukan tempat usaha tetap dan berbasiskan teknologi. Meskipun begitu, strategi penghindaran tersebut hanya berlaku bagi yurisdiksi yang memiliki tax treaty dengan Indonesia.
PMK-35 cukup memberikan penegasan bagi penentuan BUT di Indonesia baik itu dari definisi BUT maupun ketentuan lain seperti dalam Pasal 6 tentang kriteria kegiatan yang bersifat preparatory atau auxiliary. Namun, konsep BUT yang dipakai dalam PMK-35 terlihat belum menyentuh model bisnis BUT Digital yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap intangibles dan data. Penentuan Status BUT akan sulit dilakukan bagi MNEs Digital yang mampu menyamarkan dimana value creation terjadi. Ditambah lagi penegasan dalam PMK-35 hanya dapat menjangkau yurisdiksi non-tax treaty dengan Indonesia. Setidaknya pemerintah masih harus menunggu hingga selesainya Multilateral Instrument (MLI) yang digagas OECD untuk menangkal upaya penghindaran Status BUT melalui pemanfaatan tax treaty.
Status BUT memegang peranan penting dalam memajaki pendapatan suatu MNEs sehingga laba usaha dapat diatribusi oleh negara sumber. Upaya penghindaran status BUT tidak hanya pada pemanfaatan tax treaty namun juga melalui celah regulasi pajak domestik. MNEs Digital yang berasal dari yurisdiksi non-tax treaty akan berusaha menggerus basis pajak melalui pemanfaatan regulasi pajak domestik yang belum dapat mendeteksi kompleksitas bisnis MNEs Digital. Kapabilitas MNEs Digital dalam memanfaatkan celah ini bahkan dapat menciptakan double non-taxation dikedua yurisdiksi mengingat status BUT yang krusial dalam penentuan hak pemajakan suatu negara.
Pembaruan Konsep Nexus
Karakter model bisnis MNEs Digital yang semakin kompleks mendorong evaluasi terhadap konsep penentuan nexus untuk tujuan perpajakan. OECD dalam laporan BEPS Action 1 tentang “Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy” menyatakan bahwa ada tiga kategori yang menjadi tantangan utama kebijakan pajak terkait ekonomi digital dimana salah satunya terkait nexus. Konsep nexus yang masih menjadikan kehadiran fisik sebagai syarat dalam menentukan suatu entitas melakukan kegiatan atau usaha terlihat tidak cukup relevan ditengah disrupsi teknologi digital yang terlampau pesat.
Konsep nexus saat ini sangat memihak MNEs Digital yang mampu mendapatkan keuntungan substansial atas transaksi dari suatu yurisdiksi tanpa memiliki kehadiran fisik ataupun agen dependen yang menjadi syarat penentuan status BUT. Definis BUT dalam PMK 35 yang masih menjadikan kehadiran fisik sebagai syarat penentuan BUT dapat memberikan kesulitan bagi otoritas pajak dalam menentukan status BUT Digital. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan untuk memperluas konsep BUT berdasarkan significant economic presence khususnya terkait bisnis produk dan jasa digital. OECD dalam BEPS Action 1 juga menyatakan bahwa nexus baru berdasarkan significant economic presence dapat menciptakan taxable presence di suatu negara atas dasar faktor-faktor yang menunjukkan interaksi berkelanjutan terhadap ekonomi suatu negara via teknologi.
Perluasan konsep nexus dalam regulasi pajak domestik dapat menambah opsi otoritas pajak dalam mencegah penghindaran artifisial BUT dari industri digital. Adanya celah baik dari aturan tax treaty mapun regulasi domestik dapat dipersempit melalui ekskalasi kebijakan pajak yang lebih agresif bagi MNEs Digital. Hal ini juga memungkinkan mengurangi upaya penghindaran taxable presence dari yurisdiksi non-tax treaty. Inisiatif pemerintah dalam kebijakan pajak domestik akan menentukan seberapa besar basis pajak yang tergerus oleh bisnis MNEs Digital di Indonesia. Pemerintah dapat melihat upaya negara lain seperti Inggris atau India yang memperkenalkan diverted profit tax dan equalization levy dalam memajaki transaksi MNEs Digital yang tergolong non-resident atau yang tidak memiliki BUT.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1955 kali dilihat