Mengulik Aspek Perpajakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
Oleh: Ngatimin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dinyatakan bahwa ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa “Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan/atau menduduki jabatan pemerintahan”.
Sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja untuk Guru, Dosen, Tenaga Kesehatan dan Penyuluh Pertanian (selanjutnya disebut Permen-PANRB 72/2020), disebutkan bahwa terdapat beberapa golongan PPPK berdasarkan jenjang pendidikannya. Mulai dari SD hingga Pascasarjana S3 atau doktor, dan saat ini terdapat 17 golongan. Sejauh ini belum ada ketentuan tentang kenaikan golongan PPPK.
Jangka waktu perjanjian kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Jangka waktu perjanjian kerja paling singkat satu tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan perjanjian kerja dapat terus dilakukan sampai PPPK tersebut memasuki usia pensiun.
Rekrutmen PPPK dapat berasal dari tenaga honorer yang telah memenuhi persyaratan tertentu, ataupun bisa juga dari pelamar umum, tentunya melalui tahapan seleksi. MenPANRB Syafruddin saat itu, sebagaimana dikutip dari www.kominfo.go.id, (24/01/2019) menyatakan bahwa rekrutmen PPPK bertujuan untuk akselerasi kapasitas organisasi serta mencapai tujuan strategis nasional. Dengan rekrutmen ini, pemerintah akan mendapat pegawai yang memiliki kompetensi teknis tertentu dan bersertifikasi professional.
PPPK yang lolos seleksi akan dialokasikan ke instansi, kementerian/lembaga serta pemerintah daerah pengusul formasi. PPPK yang bekerja di instansi pusat, kementerian/lembaga akan mendapatkan penghasilan dari APBN, dan yang bekerja di pemerintah daerah akan mendapatkan penghasilan dari APBD.
Terdapat perberbedaan perlakuan perpajakan atas penghasilan antara PPPK dengan PNS, salah satunya adalah fasilitas Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) tidak berlaku bagi PPPK. PPh Pasal 21 atas penghasilan rutin yang diterima PNS ditanggung pemerintah. Di sisi lain, jika PNS mengalami kondisi Surat Pemberitahuan (SPT) lebih bayar, maka tidak dianggap. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan (selanjutnya ditulis Perdirjen Nomor 02/PJ/2019) yang menyebutkan bahwa “SPT Lebih Bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak, dalam hal SPT Lebih Bayar tersebut disampaikan oleh aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, dan pejabat negara yang memenuhi ketentuan sebagai berikut (1) menerima penghasilan hanya dari bendahara gaji instansi yang bersangkutan; dan (2) kelebihan pembayaran pajak tersebut berasal dari perhitungan Pajak Penghasilan terutang menurut Wajib Pajak lebih kecil daripada Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang berdasarkan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (1721 A2).” Untuk pembayaran honorarium dari dana APBN/D kepada PNS akan dikenakan PPh Pasal 21 Final, dan bagi Golongan I dan Golongan II dikenakan PPh Pasal 21 Final dengan tarif nol persen.
Sedangkan perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima PPPK dari pemberi kerja dikenakan pemotongan PPh atau tidak mendapat fasilitas PPh ditanggung pemerintah, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pembayaran Gaji dan Tunjangan PPPK yang Dibebankan pada APBN yang menyatakan “Pembayaran Gaji dan tunjangan PPPK dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak ditanggung oleh pemerintah”.
Jenis formulir bukti potong yang digunakan untuk PNS sudah jelas menggunakan formulir 1721-A2, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26, (selanjutnya ditulis Perdirjen Nomor 14/PJ/2013) yang menyatakan bahwa, “Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2)”.
Sedangkan untuk PPPK, masih terjadi perbedaan pendapat antara formulir 1721-A2 ataukah 1721-A1. Ada yang berpendapat bahwa PPPK menggunakan formulir 1721-A2 karena PPPK termasuk dalam lingkup pengertian PNS yang sama-sama diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian. Sedangkan pendapat lainnya menggunakan formulir 1721-A1 dan menganggap PPPK bukan dalam lingkup pengertian PNS melainkan sebagai ASN yang dikenakan PPh seperti pegawai tetap swasta.
Penggunaan bukti potong formulir 1721-A2 bagi PPPK pada saat terjadi SPT lebih bayar akan menjadi tidak dianggap sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (1) huruf b Perdirjen Nomor 02/PJ/2019 di atas. PPh lebih bayar tersebut kemunginan tidak akan diproses walaupun PPh Pasal 21 tersebut telah dipotong pemberi kerja (tidak ditanggung pemerintah). Mempersamakan PPPK dengan PNS juga dapat membingungkan pemberi kerja pada saat membayarkan honorarium yang bersumber dari APBN/D kepada PPPK. Pemberi kerja akan kesulitan memotong PPh Pasal 21 Final, karena golongan PPPK berbeda dengan golongan PNS. Bisa saja dengan asumsi penyetaraan atau konversi, misal PPPK Golongan I disetarakan dengan PNS golongan I/a dan seterusnya, namun tentu harus dicari acuan dasar hukumnya.
Dari uraian di atas, sejauh ini penulis secara pribadi cenderung setuju dengan pendapat kedua, bahwa PPPK bukan dalam lingkup pengertian PNS sehingga menggunakan bukti potong dengan formulir 1721-A1. Honorarium dari dana APBN/D yang diterima PPPK akan dikenakan PPh Pasal 21 (tidak final). Namun demikian, barangkali para Pembaca memiliki pendapat berbeda atau telah mendapatkan ketentuan mengenai hal ini, penulis akan dengan senang hati menerimanya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 3652 kali dilihat