Mengenal Bachelor Tax, Pajak atas Kaum Jomlo

Oleh: Fikri Harris, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“And when the pastor asks the pews, for reasons he can't marry you, I'll keep my word and my seat, but you're gonna live forever in me, I guarantee, just wait and see ...”
Kutipan di atas merupakan penggalan lirik lagu You’re Gonna Live Forever in Me ciptaan John Mayer. Salah satu mahakarya dalam album The Search of Everything ini menceritakan kisah cinta yang segera berakhir dengan balutan metafora mengenai fenomena alam serta diksi dan melodi indah di dalamnya.
Lagu ini memberikan gambaran mengenai seseorang yang telah pergi dan bagaimana mereka akan tetap hidup dalam ingatan dan hati penyanyi. Kisah indah yang terlukis sebelumnya terpaksa harus berakhir karena wanita yang dia sayangi menikah dengan pria lain.
Walaupun hati teriris, penyanyi tetap bersyukur pernah merajut cerita cintanya karena wanita itu tetap memberikan pengaruh besar ibarat bulan tetap memengaruhi laut. Penyanyi menjamin wanita tersebut tetap akan selamanya tinggal dan ada di dalam dirinya, just wait and see.
Cerita pada lagu itu sangat relate dengan kehidupan generasi Z di Indonesia, di mana terdapat hubungan yang “terpaksa” harus berakhir secara sepihak. Kegagalan ini menyebabkan pihak yang terlanjur cinta dan setia sulit untuk move on.
Problematika gagal move on ini menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya pemuda Indonesia yang berstatus jomlo atau lajang.
Faktor Penyebab Jomlo
Populasi jomlo di kalangan anak muda Indonesia terus meroket. Dikutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), presentase pemuda yang jomlo untuk kalangan usia 16-30 tahun pada 2021 sebesar 61,09%. Presentase ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 59.82%.
Dikutip dari CNBC Indonesia, tren peningkatan jomlo sejalan disebabkan berbagai faktor kualitas hidup yang merupakan hasil dari pembangunan di berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, serta budaya. Dari semua faktor yang tersebut, dikutip dari CNBC Indonesia Research, alasan ekonomi menjadi pemicu utamanya.
Berdasarkan data BPS, dapat diketahui pemuda di Indonesia mayoritas mengalami kesulitan ekonomi. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pemuda mencapai 13.93% atau hampir tiga kali lipat dari level nasional sebesar 5,86%.
Kondisi ini menjadi sorotan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang mengatakan bahwa sekitar 14 dari 100 angkatan kerja pemuda tidak terserap dalam pasar kerja. Dengan beberapa data pendukung, dapat disimpulkan bahwa faktor utama penyebab generasi Z di Indonesia tetap melajang adalah permasalahan ekonomi.
Bencana Demografi
Tren untuk tetap menjombo sebenarnya sudah marak beberapa waktu belakangan dan terjadi di berbagai belahan dunia. Di China misalnya, terdapat pergeseran sikap dan pandangan terhadap pernikahan. Bahkan hasil survey BPS menunjukan individu yang tidak menikah mengaku lebih bahagia daripada individu yang telah berumah tangga.
Masalah penundaan pernikahan ini perlu menjadi perhatian serius karena jika terus-menerus terjadi, akan muncul bencana demografi di Indonesia --alih-alih bonus demografi. Harapan besar Indonesia yang akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan bisa jadi gagal. Sehingga, Visi Indonesia Emas 2045 yang terus digaungkan oleh pemerintah bisa terancam.
Bonus demografi ini diharapkan dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga membantu Indonesia untuk keluar dari middle income trap, atau jebakan negara kelas menengah menuju negara maju. “Kesempatan kita hanya ada pada 13 tahun, karena bonus demografi kita muncul di tahun 30-an. Dalam sejarah negara-negara, kesempatannya hanya sekali,” ucap Presiden Joko Widodo.
Pendekatan Pajak
Perpajakan adalah aspek kehidupan finansial yang kompleks dan telah meninggalkan dampak yang mendalam terhadap kehidupan manusia berdasarkan sumber, jumlah, atau tarif pajak. Kebijakan pajak dapat berdampak terhadap status pernikahan seseorang serta mempengaruhi pemikiran mereka untuk menikah atau tidak.
Jenis yang memiliki korelasi dengan status pernikahan ini sedang ramai menjadi perbincangan, pajak ini biasa disebut bachelor tax atau pajak bujangan. Kebijakan ini seakan-akan memberikan “hukuman” bagi pria yang belum menikah.
Sejarah pajak ini dimulai pada periode Yunani dan Romawi Kuno yang milau menerapkan bachelor tax dalam sistem fiskal mereka. Di banyak wilayah mulai dari Afrika Selatan hingga Argentina dan Eropa, para lajang juga pernah dikenai pajak jenis ini. Kuba misalnya yang pernah menetapkan pajak sebesar $10 untuk setiap pria yang melajang. Selain itu, Yunani juga pernah memungut bachelor tax dari para lajang yang berusia di atas 25 tahun.
Kemudian Uni Soviet memperkenalakan bachelor tax pada tahun 1941, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran dan kemudian digunakan untuk membiayai peluang yang ditawarkan negara kepada ibu dan anak-anak mereka
Negara bagian Amerika Serikat, Missouri juga pernah mengutip bachelor tax terhadap pria lajang untuk membayar $1 per tahun. Kendati demikan, penerapan pajak ini tidak sepenuhnya diterima. Tidak mengherankan jika pajak tersebut berumur hanya satu tahun. Namun setelah itu pajak jenis ini kerap kali diusulkan oleh beberapa otoritas pajak.
Latar Belakang
Dengan berbagai perdebatan akan penerapan pajak ini, terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan di balik pengenaan pajak ini. Pertama, pajak yang dipungut dari para lajang dianggap akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kas negara. Kedua, peperangan yang intens di masa lalu menyebabkan penurunan populasi pria, sehingga bachelor tax diberlakukan untuk meningkatkan populasi masyarakat khususnya kamu pria yang diharapkan dapat menjadi prajurit yang tangguh di medan perang. Ketiga, prajurit yang tewas dalam peperangan meninggalkan para janda. Pernikahan kembali para janda ini sangat penting dalam kaitannya dengan keuangan publik. Karena jika pada janda ini tidak menikah, negara harus memberikan bantuan sosial kepada mereka, sehingga terjadi peningkatan pengeluaran publik. Keempat, alasan dianjurkannya pernikahan adalah karena individu yang telah menikah dan mempunyai anak cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi keluarganya dan masyarakat. Kelima, pria lajang dianggap memiliki solvabilitas yang lebih tinggi daripada pria yang telah menikah sehingga mereka harus dikenakan pajak. Keenam, penerapan bachelor tax ini sebagai “hukuman” bagi para lajang, sehingga minat masyarakat untuk melaksanakan pernikahan dapat semakin tinggi. Dengan demikian, status jomblo dapat diturunkan ke tingkat yang lebih rendah serta dapat mengatasi penyusutan populasi.
Penentangan Aktivis Hak Pria
Jika ada hal yang lebih dibenci oleh dunia manosphere selain feminisme, maka hal tersebut adalah gagasan pengenaan pajak terhadap pria lajang dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan pria yang sudah menikah.
Dikutip dari Forbes, seorang bujangan setempat mengatakan kepada Missouri Intelligecer bahwa memaksakan sebagian penduduk untuk menikah adalah inkosistusional, tidak politis, memihak dan merupakan suatu penindasan.
Gerakan yang memperjuangkan hak para pria berpendapat bahwa bachelor tax merupakan kebijakan antipria. Pria muda cenderung lebih dirugikan karena wanita mayoritas berpasangan dengan pria yang lebih tua. Sementara perempuan akan baik-baik saja, karena mereka dapat dengan mudah menikah dan hamil, sedangkan jika bercerai dapat mengandalkan keringanan pajak.
Tidak ada seorang pun yang membantah fakta bahwa pria yang tidak memiliki anak atau lajang juga membutuhkan dukungan finansial. Sehingga menurut mereka penerapan bachelor tax secara nyata merugikan kaum pria.
Penerapan Saat Ini
Pada zaman sekarang, konsep bachelor tax tampaknya lebih merupakan mitos daripada kenyataan. Meskipun peraturan perpajakan mungkin memberikan manfaat khusus bagi pasangan menikah, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan sanksi kepada individu yang lajang. Sebaliknya, tujuan mereka adalah untuk mengatasi keadaan keuangan unik yang sering terjadi dalam pernikahan.
Salah satu hal yang sering dikutip dalam diskusi tentang bachelor tax adalah tidak adanya kredit atau potongan tertentu yang hanya berlaku untuk pasangan menikah. Kebijakan jenis ini juga diterpkan di Indonesia dengan menggunakan menkainsme Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal ini bertujuan untuk memberikan keringanan bagi masyarakat menengah ke bawah serta individu yang sudah memiliki keluarga.
Kebijakan perpajakan sering kali mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk tingkat pendapatan, ukuran keluarga, dan tanggung jawab keuangan. Daripada hanya memilih individu tertentu untuk mendapatkan pajak yang lebih tinggi, sistem perpajakan bertujuan untuk mendistribusikan beban secara adil ke berbagai keadaan.
Berdasarkan diskusi dan serta riset yang ada dapat diketahui bahwa pengenaan bachelor tax kepada individu lajang tidak terdapat dasar yang jelas dan sudah tidak relevan sekarang. Akan tetapi penerapan “diskon” pajak terhadap individu yang berkeluarga menggunakan menkanisme kredit pajak.
Disimpulkan untuk permasalahan jomlo ini tidak relevan di atasi secara langsung dengan mekanisme pemungutan pajak. Akan tetapi ada kalimat dibawah ini mungkin dapat selalu menjadi suatu “pegangan” khususnya untuk jomlo yang gagal move on.
“Ada saatnya ketika setelah pencarian panjangmu, seseorang yang tepat akan datang dan bertahan, sampai kamu tidak tertarik lagi kepada siapa pun, kecuali dia.”
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 259 kali dilihat