Kultur adalah Koentji

Oleh: Banon Keke Irnowo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Any organisation that is attempting to undertake large-scale reform like we are, cannot be successful unless it changes its culture first. (Andrew Mills, Second Commisioner of Australian Tax Office)
Pernyataan tersebut dilontarkan salah satu pejabat tinggi otoritas pajak di Australia, Andrews Mills. Jika bercermin pada pernyataan beliau maka ada satu pesan penting: yaitu Kultur adalah nomor satu bagi reformasi pajak. Lalu, apa itu Kultur? Apabila menengok dalam Kamus Merriam Webster maka kultur diartikan sebagai himpunan sikap, nilai, tujuan, dan praktik bersama yang mencirikan suatu lembaga atau organisasi. Atau bisa juga kita diartikan sebagai nilai-nilai dasar budaya kerja bagi suatu organisasi. Berkaitan dengan hal itu, MenteriPendayagunaan Aparatur Negara dengan SK Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tanggal 25 April 2002 sejatinya telah menentapkan 17 pasang nilai-nilai dasar budaya kerja bagi aparatur negara. Setidaknya ada tiga kultur yang menurut pandangan penulis relevan sebagai kunci membangun kesuksesan reformasi DJP secara internal. Kultur itu adalah yaituKultur Adaptasi (Kepekaan), Kultur Literasi (Penguasaan Ilmu Pengetahuan), dan Kultur Integritas. Lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, Kultur Adaptasi. Mungkin peribahasa "Bagai Katak dalam Tempurung" ada benarnya. Orang cenderung yang tidak memiliki wawasan luas karena tidak mau sensitif terhadap perubahan. Di dalam tempurung saja , tidak mau berpindah. Bukti empiris menemukan adanya frog syndrome dimana katak tidak akan bergerak dari tempatnya walaupun lingkungan sekitarnya diberikan gangguan. Katak yang diletakkan dalam air di tungku yang dipanaskan dengan suhu yang dinaikan secara gradual, tidak akan beranjak dari dalam tungku hingga akhirnya mati terebus. Berkaca pada hal itu, mau tidak mau insitusi ini akan memasuki era disrupsi. Era dimana sumber daya manusia akan digantikan oleh sistem. Manusia tak lagi berkuasa atas dirinya, Sistem yang mengkudeta-nya. Maka tuntutannya adalah kepekaan terhadap perubahan. Kalau tidak peka perubahan, rela kah menggadaikan otak kita dengan mesin kecerdasan bernama artificial inteligence?
Kedua, Kultur Literasi. Sejatinya, Kultur Literasi adalah penggenap kultur sebelumnya, karena cara beradaptasi dari disrupsi adalah belajar: membaca dan menulis. Tak terasa masa literasi yang dilalui Indonesia sangat lah singkat. Kita baru mau melek literasi sudah keburu ditikung oleh melek digitalilasi. Semuanya bisa dilakukan melalui gawai. Dampaknya apa? Waktu kita mengenalkan budaya membaca kepada generasi milenial tidak lah cukup lama ketimbang gawai yang masuk tanpa permisi ke rumah kita. Padahal mereka lah ahli waris reformasi nantinya. Generasi ini lebih tertarik melahap lead dari artikel panjang, lebih nyaman me-mantengitweet yang tak lebih dari 280 karakter, lebih paham Infografis yang tak lebih dari satu halaman, ketimbang menguliti tebalnya buku bacaan. Sehingga informasi yang diterima tidak kafah. Konsumen instan. Alarm bahaya bagi instansi yang mengusung "Kekafahan"/Kesempurnaan sebagai Kultur Korporasinya. Kita bahkan belum bicara tentang kemampuan generasi ini menulis. Kemampuan menulis adalah bundlingan dari membaca apabila menafsir literasi lewat KBBI. Ketika kita bicara budaya menulis masih jauh sepertinya.
Ketiga, Kultur Integritas. Tak bisa dipungkiri bahwa persepsi masyarakat Indonesia terhadap integritas pelayan publik saat ini rendah. Maka upaya untuk mendobrak persepsi tersebut adalah kunci suksesnya reformasi. Melanjutkan kutipan pidato Andrew Mills di awal tulisan, proses reformasi pajak Australia sebenarnya berfokus mengubah kultur secara internal dahulu. Mereka yakin dengan kokohnya pihak internal memberikan pengaruh secara otomatis bagi pihak eksternal. Pihak internal dan eksternal saling memberikan pengaruh. Inilah yang disebut membangun trust. Membangun hubungan kepercayaan antara institusi perpajakan dan Wajib Pajak akan meningkatkan partisipasi wajib pajak dalam sistem perpajakan. Apabila masyarakat mem-branding pegawai DJP berintegritas, maka reformasi pasti didukung dan diterima banyak pihak. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, tentu tingkat kepercayaan publik terhadap DJP akan menguap. Apatisme publik terhadap perubahan DJP akan menjadi ganjalan bagi setiap program dan kebijakan yang diluncurkan DJP. Maka, menuntut setiap pegawai DJP untuk merawat integritasnya adalah kunci bagi kesuksesan reformasi ini.
Secara peluit reformasi sudah ditiupkan, sempatkah DJP membangun ketiga kultur tersebut? Berparalel dengan reformasi yang sedang berjalan, saat inilah momentum terbaik membangun kultur di dalam internal DJP. Saat inilah saat yang tepat sebelum reformasi pajak mencapai klimaksnya. Berdebat lama kita bagaimana strategi dan implementasi reformasi, namun tanpa juga membangun kultur, maka mungkin yang terjadi seperti kata Peter Drucker, "Culture eats strategy for breakfast." Kultur memakan strategi untuk sarapannya. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1178 kali dilihat