Kepatuhan Pajak Dihantam Perilaku Koruptif yang Permisif
Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tanggal 28 Februari 2018, berita dari media masa menyebutkan bahwa, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto mengatakan penyelidikan kasus korupsi pejabat daerah akan dihentikan apabila sang koruptor telah mengembalikan uang kerugian negara tersebut ke kas negara. Aturan tersebut disepakati dalam Perjanjian Kerja Sama Koordinasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait Indikasi Korupsi di Jakarta. Kabar ini tentu sangat kontraproduktif dengan semangat KPK dalam mencegah dan melawan korupsi. Kebijakan ini secara sederhana dapat ditafsirkan, silakan saja mencoba melakukan korupsi jika kurang beruntung anda cukup mengembalikan dan proses penyidikan dihentikan. Namun jika beruntung anda boleh mencoba lagi dengan nominal yang lebih besar. Sungguh sebuah sarkasme dan ironi yang menyakitkan hati rakyat Indonesia utamanya para wajib pajak.
Perilaku koruptif makin masif di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita drama penangkapan pimpinan lembaga tinggi negara ini oleh KPK, tak tanggung tangung Ketua DPR yang terhormat terlibat dalam megakorupsi eKTP. Fungsi sebenarnya DPR adalah sebagai penyambung aspirasi dan wakil rakyat, namun justru sebaliknya berkhianat kepada rakyat. Masih banyak lagi deretan penyelenggara negara yang terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Timbul pertanyaan dan hipotesa apakah paradigma perilaku koruptif terkait ongkos politik yang mahal? Tapi maaf, dalam pembahasan artikel kali ini, akan lebih menitikberatkan korelasi perilaku koruptif penyelenggara negara terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak. Karena seperti kita maklumi bersama bahwa operasional roda pemerintahan 78% ditopang dari uang wajib pajak.
Dalam kurun dua tahun terakhir ada beberapa nama yang digelandang KPK karena perbuatan yang tidak terpuji. Seperti yang kita tahu dari berbagai media masa, banyak nama pemimpin daerah yang dipaksa memakai rompi oranye milik KPK. Taufiqurrahman, Bupati Nganjuk ini dijerat KPK atas korupsi lima proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2009. Selain itu, ia juga disangka menerima gratifikasi sejak tahun 2008. Ridwan Mukti, Gubernur Bengkulu ini dicokok oleh petugas KPK setelah mengamankan isterinya yakni, Lily Martiani Maddari, pada 20 Juni 2017. Ridwan diduga ikut terlibat praktik penyuapan proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu tahun anggaran 2017. Achmad Syafii, Bupati Pamekasan. Dia ditangkap petugas KPK atas kasus suap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, berkaitan pemulusan perkara penyelewengan pengelolaan dana Desa. Siti Masitha Soeparno, Wali Kota Tegal. Ia ditangkap KPK pada 29 Agustus 2017 di Tegal. Selain Siti Masitha, KPK mencokok pengusaha Amir Mirza Hutagalung dan Wakil Direktur RSUD Kardinah Tegal Cahyo Supriadi. Mereka ditangkap berkaitan dengan korupsi pengelolaan jasa keuangan di RSUD Kardinah. OK Arya Zulkarnain, Bupati Batubara, ini diringkus KPK dan dijeart sebagai tersangka pada 14 September 2017. Ia dijerat kasus suap pengerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara tahun 2017. Eddy Rumpoko, Wali Kota Batu Malang ini ditangkap petugas KPK. Ia dicokok pada Minggu 18 September 2017, terkait kasus suap proyek belanda modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu. Terbaru bulan Februari 2018 Nyono Suharli W, Bupati Jombang tertangkap dalam operasi OTT oleh KPK. Mungkin jika ditulis semua nama nama masa lalu seperti abdulah Puteh dan Ratu Atut Choisiyah pembaca akan kehilangan gairah untuk membaca artikel ini.
Ada wacana memiskinkan koruptor, atau mengadopsi hukuman mati di china. Semua wacana itu bertujuan memberikan efek jera, agar di kemudian hari tidak diulangi lagi dan orang lain harus berfikir seribu kali untuk mencontoh perilaku tersebut. Sebenarnya KPK telah memiliki bagian/divisi pencegahan namun perilaku koruptif yang telah membudaya dan masif membuat kasus korupsi seperti biasa saja, bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Lihatlah para koruptor yang mengumbar senyum ketika mengenakan rompi KPK. Tak ada raut penyesalan karena temannya tak sedikit dalam kasus yang sama, hanya kejahatan biasa. Proses politik dalam pilkada dapat dikaji ulang agar pemilihan pemimpin daerah atau penyelengara negara lebih elegan dan murah bebas dari ekonomi biaya tinggi.
Perilaku pejabat yang korup menjadi konsumsi berita sehari hari namun di sisi lain rakyat dipaksa patuh pajak karena menurut undang undang pajak dapat dipaksakan. Belum ada teori regresi yang menyatakan korelasi linier antara korupsi dan kepatuhan pajak. Perilaku koruptif dan kepatuhan pajak ibarat minyak dan air yang mustahil bersatu. Perumpamaan lain seperti dua sisi mata uang logam yang saling bertolak belakang. Perilaku koruptif memberi dampak instan dan langsung terhadap tingkat kepuasan wajib pajak. Sebagai petugas pajak dibagian konsultasi, kerap kita jumpai pernyataan ketidakpuasan wajib pajak yang diungkapkan dalam keluh kesah. Sebagai petugas pajak yang bertugas di garis depan, pada akhirnya hanya sebatas mensugesti bahwa pajak adalah amal shodaqoh biarlah Tuhan yang mencatat amal kita kepada negara. Tanpa ada kebanggaan sebagai petugas pajak yang kredibel jika penggunaan uang pajak dibenturkan di ranah korupsi.
Regulasi yang pro koruptor akan melegitimasi pelaku korupsi merasa nyaman menjalankan aksinya. Seperti memberi remisi narapidana korupsi atau memudahkan proses pengadilan kasus korupsi. Masyarakat awam bisa memaknai rezim yang berkuasa seolah olah merestuai perbuatan kotor itu. Padahal tentu saja itu bukan maksud dan tujuan pemerintah untuk memudahkan proses peradilan koruptor dalam rangka mengurangi beban kerja penyidik. Penanganan kasus korupsi sedemikian rupa harus lebih pruden dan memikirkan dampak sekunder terhadap kepercayaan wajib pajak kepada kegara.
Bulan Maret hingga April, di mana wajib pajak diminta melaporkan kewajiban perpajakannya meliputi menghitung, menyetor, dan melaporkan SPT Tahunan akan timbul sebuah keraguan dan ketidakikhlasan. Kenapa saya harus menyetor dan melaporkan pajak? sedangkan para aparat negara saja seenaknya menggunakan uang pajak untuk dikorupsi secara masif. Mungkin para koruptor telah putus urat malunya, sehingga mereka menjadi raja tega. Apakah mereka tidak tahu bahwa uang negara yang mereka korupsi adalah berasal dari semua lapisan masyarakat. Uang pajak berasal dari PPh tukang linting rokok, uang pajak berasal dari PPh 1% pedagang kelontong sembako, uang pajak juga berasal dari buruh pabrik, dll.
Sebagus dan sehebat apapun iklan pajak yang telah dibuat pemerintah, tak akan cukup membuat perilaku wajib pajak menjadi patuh, jika akar permasalahan perilaku koruptif yang permisif nan masif masih tumbuh subur di negeri tercinta.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 917 kali dilihat