Jual Takjil Dadakan Jangan Takut Pajaknya

Oleh: Salman Faruqi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Bulan Ramadan adalah bulan yang spesial bagi umat Islam, tidak terkecuali muslim di Indonesia. Pada Bulan Suci Ramadan, kesempatan untuk meraup kemenangan terbuka lebar, karena ketika berbuat kebaikan, akan dilipatgandakan pahala kita dan sangat mudah mendapat ampunan dosa. Bulan Ramadan juga menjadi ajang mencari lahan rezeki dan bisa didapat dengan cara berikhtiar. Salah satunya adalah memanfaatkan momentum untuk menjadi penjual makananan atau minuman untuk berbuka puasa yang biasa disebut takjil.
Penjual takjil terlihat lebih banyak daripada bulan lainnya karena beberapa penjual memang bukan pekerjaan utamanya sebagai pedagang, kegiatan ini merupakan upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Hal yang membuat orang mudah membuat usaha takjil adalah modal yang tidak terlalu banyak dan hal yang membuat tidak semua orang melakukannya adalah memiliki keterampilan membuat takjil atau memiliki relasi produsen pembuat jajanan. Takjil yang biasa dijual antara lain es buah, nasi kuning, gorengan, dan lain sebagainya.
Penjual takjil biasanya sudah bersiap selepas salat asar sekitar jam 15.00 sore. Mereka bersiap untuk menata lapak jualan dan menyusunnya agar menarik perhatian pembeli. Pembeli paling banyak datang sekitar satu jam setelah salat asar di mana matahari tidak terlalu terik dan waktu berbuka tidak terlalu lama tetapi ada juga yang datang saat jam 15.00 sore. Penjual akan tutup antara setelah azan magrib hingga menjelang azan Isya karena pedagang akan bersiap untuk melaksanakan salat isya dan tarawih. Beberapa pedagang ada yang membuka kembali lapaknya pada pukul 21.00 malam.
Banyak masyarakat yang tidak berpuasa juga ikut meramaikan perburuan takjil ini, inilah yang menyebabkan persaingan tidak hanya berada di sesama penjual tetapi juga dengan sesama pembeli. Fenomena ini juga menjadi makin banyak karena pengaruh media sosial yang masif. Warganet biasanya menyebutnya Takjil War. Tentu ini adalah hal yang positif di bidang ekonomi karena menjadi penggerak perputaran uang di masyarakat dan pemenangnya tetap penjual takjil dan juga bukti kerukunan walaupun terdapat perbedaan keyakinan. Kerukunan ini adalah bukti bahwa kita telah menjadi warganegara yang harmonis dan menghormati satu sama lain. Inilah contoh bermasyarakat yang baik.
Selain itu, untuk menjadi warga negara yang baik adalah patuh pada peraturan perundang-undangan termasuk taat terhadap peraturan perpajakan. Setiap penjual yang memiliki penghasilan di Indonesia pastinya harus membayar pajak asal sudah memenuhi syarat sebagai subjek atau objek pajak. Usaha dagang baru membayar pajak apabila omzet yang dihasilkan melebihi Rp500 juta dalam setahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). Apabila sudah lebih dari Rp500 juta, akan dikenakan tarif 0,5% dikali dengan omzet. Apabila di atas Rp 4,8 miliar akan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker). Beleid ini mengatur bahwa tarif terkecilnya adalah 5% dan paling tinggi 30% dikali dengan penghasilan yang telah dipotong Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Ramadan tahun ini bertepatan dengan bulan Maret. Bulan di mana terdapat batas pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) Tahunan Orang Pribadi yang berakhir pada tanggal 31 Maret. Bagi penjual takjil yang menjadikan kegiatan ini pekerjaan sampingan, dapat memasukan penghasilan dan pajak yang dibayar atas penjualan takjil di kolom Penghasilan Lainnya di Lampiran I Formulir SPT Tahunan 1770 S sedangkan untuk yang berprofesi sebagai pedagang memakai formulir SPT Tahunan 1770. Apabila penghasilan dari menjadi karyawan ditambah berjualan takjil tidak sampai Rp60 juta per tahun, memakai formulir SPT Tahunan 1770 SS. Apabila membutuhkan asistensi pengisian SPT Tahunan dapat berkonsultasi ke kantor pajak terdekat atau menelpon Kring Pajak di 1500200.
Dalam hal ini, justru dengan usaha jual takjil yang sudah bisa membayar pajak adalah indikator keberhasilan dagangan serta menambah ladang amal. Maka dari itu, penjual takjil tidak perlu takut akan dikenakan pajak, sekalipun dikenakan pajak, tidak terlalu besar dibanding dari pendapatan yang didapat. Penjual hanya perlu fokus untuk meningkatkan penjualan dan mengembangkan usahanya tanpa perlu cemas akan dikenakan pajak yang tinggi. Jika penjual belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tetapi belum memiliki omzet yang besar, tidak diwajibkan untuk membuat NPWP walupun dipersilahkan untuk mempunyai NPWP dengan harapan apabila sudah memiliki omzet yang sudah dapat dikenakan pajak, bisa langsung mengurus pajaknya secara tertib.
Pemerintah melalui lembaga negaranya selalu mencoba untuk mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar terus maju dan berkembang. Termasuk juga Direktorat Jenderal Pajak yang selalu mencoba untuk memberi keringanan kepada masyarakat yang masih butuh mengembangkan usahanya dari kecil menjadi menengah, dari menengah menjadi besar. Akhir kata selamat menunaikan ibadah puasa, selamat berburu takjil untuk berbuka puasa.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 111 kali dilihat