Jasa Katering Orang Pribadi, Apakah Objek PPh Pasal 21 atau 23?

Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Suasana lebaran masih terasa di kantor. Ini adalah hari pertama bekerja setelah libur panjang lebaran. Beberapa teman masih asyik bersalam-salaman, berbincang-bincang dan ada juga yang asyik memakan kue lebaran. Saya sendiri berada di meja kerja di depan komputer, membaca pengumuman mutasi yang keluar beberapa hari menjelang lebaran dan mengerjakan beberapa aktivitas lainnya. Ketika asyik mengetikkan sesuatu di tombol keyboard komputer, seorang teman memanggil.
“Ada Wajib Pajak yang mencari Kak,” kata lelaki muda yang baru saja mendapatkan penempatan setelah lulus D1 itu.
Saya menoleh kepadanya. “Siapa?” tanya saya.
“Bendaharawan Kak,” jawabnya sambil menyerahkan sepucuk surat imbauan yang pernah kukirimkan kepada wajib pajak tersebut. Sepucuk surat itu merangkai memori atas kegiatan yang telah saya lakukan beberapa minggu lalu. Akhirnya datang juga wajib pajak yang merespon surat-surat tersebut.
Saya lalu mempersiapkan diri menemui bendaharawan tersebut di meja Help Desk. Letak meja help desk hanya beberapa langkah dari meja kerja saya. Di sana sudah menunggu seorang lelaki. Setelah menjabat tangannya, lelaki berumur sekitar dua puluh tahun tersebut menjelaskan maksud kedatangannya. Jabatan tangannya tidak terlalu kuat, menandakan dia tidak dalam posisi siap berkonfrontasi. Saya mencoba membaca raut wajahnya. Tidak ada kecemasan yang berarti. Sepertinya dia telah mempersiapkan jawaban surat imbauan tersebut dengan matang.
“Kami menerima surat imbauan pak. Kalau boleh tahu apa dasar perhitungannya Pak?” tanyanya.
Saya melirik surat imbauan tersebut. Beberapa deret angka yang terjejer di kepala saya. Perhitungannya masih perhitungan kotor karena sumber data yang terbatas. Mau tidak mau, saya harus menjelaskan sumber perhitungannya. “Jadi begini pak,….” Beberapa kalimat dari mulut saya keluar, beberapa kalimat persuasif bercampur sedikit aroma tekanan mengenai akibat bila surat imbauan tersebut diabaikan. Titik-titik di kalimat tersebut menandakan saya menjelaskannya cukup panjang lebar. Tentu saja diakhiri dengan kesimpulan, bahwa dia harus bertanggung jawab atas penggunaan dana tersebut dengan membayar pajaknya.
“Kami sebenarnya telah menyiapkan dana untuk pajak pak. Hanya belum kami setorkan,” ujar lelaki itu.
Syukurlah. Kataku dalam hati. Aku menatapnya lagi. Ada perasaan senang karena imbauan yang saya lakukan mendapatkan respon yang cukup bagus. Berarti ada sebuah langkah yang harus kulakukan selanjutnya. Membuat berita acara.
“Bapak tunggu di sini dulu ya. Saya akan membuat berita acara.”
Saya lalu masuk ke dalam ruangan Waskon yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang TPT. Di ruangan saya mencetak Berita Acara. Setelahnya saya kembali menemui wajib pajak tersebut. Wajib pajak tersebut saya minta untuk menuliskan jangka waktu dia akan menyetorkan pajak dimaksud. Dia menuliskan sebuah tanggal di bulan Juli 2017. Rencananya bila dia tidak menyetorkan pajak di tanggal tersebut, saya berencana akan menghubunginya lagi.
Seusai membuat berita acara, kami berbincang bincang tentang beberapa hal. Dalam perbincangan tersebut, wajib pajak menanyakan satu pertanyaan. Pertanyaan yang cukup sederhana memang, namun seringkali saya mendengarkan persepsi yang berbeda dari fiskus. Jasa katering adalah objek PPh pasal apa dan berapa tarifnya? Otak saya mulai bekerja untuk berpikir. Kan jasa katering masuk dalam jasa lain PPh Pasal 23, apakah otomatis semua pengusaha jasa tersebut yang mendapatkan penghasilan dikenakan PPh Pasal 23?
***
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 Pasal 1 ayat 6(aj) disebutkan bahwa jasa katering atau tata boga termasuk dari jenis jasa lain yang masuk dalam objek PPh Pasal 23. Tarif yang dikenakan adalah 2 % dari jumlah bruto bila wajib pajak yang dipotong memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan lebih tinggi 100% bila wajib pajak tersebut tidak memiliki NPWP.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Boga atau Katering yang Termasuk Dalam Jenis Jasa yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, Jasa boga atau katering sendiri mempunyai beberapa kriteria.
Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1. sebagai jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan;
2. penyajian makanan dan/atau minuman di lokasi yang diinginkan oleh pemesan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya;
3. tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering yaitu penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan.
Walaupun penghasilan dari jasa katering atau tata boga termasuk dalam jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23, namun tidak otomatis semua pengusaha jasa katering atau tata boga dikenakan PPh Pasal 23. Dalam Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan atas penghasilan yang berasal dari imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
Sedangkan dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa yang dikenakan PPh Pasal 21 adalah penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dari dasar-dasar aturan tersebut akhirnya saya memperjelas lagi kepada wajib pajak pertanyaan dimaksud. Pertanyaan wajib pajak sebelumnya adalah, “Jasa katering adalah objek PPh pasal apa dan berapa tarifnya?”
Saya menatap wajib pajak, dan mulai menyusun logika yang masih tersisa. Maklum, saya masih AR amatiran. “Apakah penerima penghasilan jasa kateringnya orang pribadi pak?” saya bertanya.
“Iya pak.” jawabnya.
“Kalau orang pribadi berarti dia dikenakan PPh Pasal 21 (dengan tarif PPh Pasal 17 Undang-Undang PPh dikalikan 50% dikalikan penghasilan brutonya). Jadi dikenakan (untuk penghasilan 0-50 juta tarifnya 5% dikalikan 50% yakni) 2,5% pak. Selain itu dikenakan PPh Pasal 23,” jawab saya.
Dasar aturan yang saya gunakan adalah pasal 3(c) ayat 6 Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi yang menyebutkan bahwa Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang salah satunya adalah Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa yang meliputi (salah satunya) pemberi jasa dalam segala bidang.
Epilog
Beberapa aturan memang mendapatkan penafsiran yang berbeda-beda baik dari fiskus sendiri maupun dari pihak yang di luar fiskus. Ketika memberikan penjelasan kepada wajib pajak tersebut, dia terlihat cukup kaget karena selama ini dia mengira semua penghasilan atas jasa katering dikenakan PPh Pasal 23.
Berdasarkan pendapat penulis, pertanyaan wajib pajak mengenai pajak yang dikenakan atas Penghasilan Jasa Katering atau Jasa Boga sendiri memang perlu diperhatikan beberapa hal. Hal-hal tersebut adalah :
1. Bila Subjek Pajaknya adalah Orang Pribadi, maka penulis berpendapat dikenakan PPh Pasal 21;
2. Bila Subjek Pajaknya Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka penulis berpendapat dikenakan PPh Pasal 23;
3. Kita harus kembali lagi ke definisi jasa katering atau jasa boga sesuai Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.010/2015. Perlu diperhatikan bahwa tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering yaitu penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan. Untuk penjualan tersebut yang tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering, penulis berpendapat dikenakan PPh Pasal 22 bila penerima penghasilan bertransaksi dengan pemungut PPh Pasal 22.
Ini adalah pendapat yang mungkin masih memerlukan sanggahan atau dasar hukum yang lebih kuat. Jadi seandainya ada rekan fiskus yang berpendapat berbeda, sudilah kiranya berbagi dasar aturannya. Karena itu akan menimbulkan keseragaman penafsiran aturan hingga kita bisa satu kata dan bahasa kepada wajib pajak.
Salam! (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
- 38349 kali dilihat