Inteligensi Buatan dalam Layanan Perpajakan

Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dewasa ini pemanfaatan teknologi tak lagi terbatas pada kalangan tertentu saja. Hampir seluruh aspek dalam keseharian mulai bergantung dengan kemudahan yang diciptakan oleh inovasi tersebut. Contoh mudah, hampir mustahil kita menemukan seseorang yang tidak memiliki ponsel pintar sebagai alat komunikasi. Pergeseran kebutuhan akan teknologi dari semula sekunder pun saat ini berangsur menjadi kewajiban primer yang harus dipenuhi.
Pemerintah tentunya tak ketinggalan ambil bagian dalam mencicipi perkembangan teknologi yang semakin pesat. Inovasi baru dalam berbagai bidang diciptakan dalam rangka memotong tali birokrasi sehingga pemberian layanan publik semakin mudah dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, dapatkah perkembangan teknologi tersebut memenuhi harapan bagi seluruh pengguna layanan?
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan kemampuan sistem komputer untuk meniru fungsi kognitif manusia seperti pembelajaran dan pemecahan masalah. Penerapan AI dalam sektor layanan publik sudah mulai digaungkan di berbagai negara, termasuk dalam bidang perpajakan. India dan Brasil merupakan negara yang telah mengadopsi teknologi inteligensi buatan tersebut untuk membantu dalam pengawasan kepatuhan wajib pajak. India mulai Mei 2023 menggunakan AI untuk mengidentifikasi pemotongan pajak pendapatan yang dipalsukan dengan menggunakan algoritma khusus pendeteksi pendapatan mencurigakan. Sementara Brasil memanfaatkan AI untuk menganalisis tanggapan wajib pajak atas surat yang dikirimkan oleh otoritas perpajakan sebagai basis data untuk digunakan dalam merancang pendekatan dan audit bidang perpajakan di masa mendatang.
Secara umum, kecerdasan buatan mampu mendukung fungsi bidang perpajakan dalam mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Pengawasan kepatuhan Wajib Pajak yang lebih optimal
2. Pemberian informasi dan edukasi perpajakan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat
3. Meningkatkan efisiensi proses bisnis internal otoritas perpajakan
Hambatan Budaya
Indonesia memiliki beragam suku dan ras serta bahasa daerah yang berbeda. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 dari Badan Pusat Statistik, terdapat 1.331 kelompok suku di Indonesia. Sementara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Bahasa telah memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah yang berbeda dalam periode 1991 sampai dengan 2017. Di satu sisi, hal ini merupakan keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia, namun di sisi lain, dengan beragamnya bahasa daerah yang digunakan, menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pemerintah, khususnya DJP, dalam menyampaikan hak dan kewajiban perpajakan bagi masyarakat secara optimal.
Pada tahun 2022, tingkat kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak adalah sebesar 83,2%. Meskipun telah memenuhi target yang telah ditetapkan yakni sebesar 80%, nilai tersebut masih dapat ditingkatkan secara optimal dengan pemberian informasi perpajakan lebih merata ke berbagai penjuru negeri. Upaya edukasi tersebut telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan berbagai program, mulai dari program inklusi pendidikan, relawan pajak, hingga pemberian layanan contact center yang dapat diakses melalui telepon, livechat, email, maupun media sosial.
Di sinilah kecerdasan buatan dapat berperan secara optimal. Menurut Newman (2022), perkembangan teknologi dapat mengubah cara institusi publik beroperasi menjadi lebih efektif, sekaligus memperkuat tujuan utama dari birokrasi itu sendiri, yaitu efisiensi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat luas. Hambatan budaya maupun linguistik tersebut sejatinya bukan merupakan penghalang otoritas perpajakan untuk memberikan edukasi dan informasi dengan pemanfaatan AI. Pada bulan Mei, Microsoft meluncurkan chatbot "Jugalbandi” di India. Chatbot tersebut ditujukan kepada masyarakat pelosok India untuk tetap dapat menerima informasi terkait layanan publik meskipun terkendala dengan penggunaan bahasa. Hampir seluruh layanan publik di India menggunakan bahasa Inggris, sementara mayoritas penduduk India masih menggunakan bahasa Hindi dalam kesehariannya. Dengan tersedianya chatbot yang dapat diakses dengan mudah melalui aplikasi Whatsapp, diharapkan perbedaan bahasa tersebut bukan lagi menjadi halangan masyarakat untuk mengakses berbagai layanan publik yang disediakan.
Inovasi tersebut tentunya menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat diterapkan dalam pemberian informasi maupun layanan perpajakan di Indonesia. Dengan membangun AI menggunakan basis data beragam bahasa daerah, DJP dapat menjangkau pemberian edukasi perpajakan ke seluruh pelosok negeri. Penggunaan AI tak semata-mata untuk menilai kepatuhan maupun audit perpajakan (Shakil, 2022), namun AI dapat dioptimalkan untuk membangun sistem perpajakan modern yang membantu baik dalam penegakan hukum perpajakan maupun menyediakan kenyamanan bagi wajib pajak dalam pemenuhan kewajibannya, hingga mengurangi biaya dalam pelaksanaan administrasi perpajakan (Saragih, 2022).
Isu Penerapan AI
Berbagai riset penggunaan AI dalam pemerintahan, khususnya bidang perpajakan, menjadi angin segar baik bagi wajib pajak maupun pemangku kepentingan. Kemudahan yang ditawarkan menjadi daya tarik percepatan otomasi layanan publik melalui kecerdasan buatan tersebut. Namun pemerintah perlu memperhatikan bermacam isu yang berisiko timbul akibat pemanfaatan AI yang tidak bertanggung jawab. Untuk dapat menyelesaikan layanan atau program yang optimal, AI "belajar” dari database yang dimasukkan ke dalam program tersebut. Data-data pribadi yang bersifat rahasia, bisa jadi bertindak sebagai "modul pembelajaran” yang digunakan untuk meningkatkan kecerdasan buatan tersebut. Hal ini tentunya menjadi salah satu masalah keamanan data yang rawan untuk disalahgunakan oleh berbagai pihak.
Selain itu, pemanfaatan otomasi AI secara penuh memiliki risiko bias atau ketidaktepatan dalam penyelesaian layanan. Performa AI sangat bergantung pada data yang digunakan untuk pelatihan atau machine learning. Jika data yang digunakan tidak representatif atau terkontaminasi oleh bias, maka sistem AI dapat menghasilkan hasil yang tidak akurat. Dalam sisi keuangan, penggunaan AI masih dinilai menelan biaya yang cukup tinggi. Apabila tidak dibangun sistem secara optimal, tentunya berisiko terjadi pemborosan anggaran negara.
Sejatinya penggunaan sistem AI untuk mempermudah birokrasi dan layanan publik, khususnya dalam modernisasi sistem perpajakan, merupakan pandangan baru yang kaya manfaat. Peran pemerintah dalam hal ini menjadi regulator agar pemanfaatan kecerdasan buatan tersebut dapat berjalan optimal, dan tak kalah penting harus dapat dipertanggungjawabkan (responsible AI) dalam mengolah data-data kependudukan agar tidak disalahgunakan. Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh sistem AI, edukasi dan informasi perpajakan dapat diperoleh secara mudah oleh seluruh lapisan masyarakat, dan dalam jangka panjang diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berkontribusi terhadap penerimaan negara.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 312 kali dilihat