Gaya Personal Pelayan Publik

Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam dunia pemasaran jasa etika berbusana merupakan hal yang diunggulkan. Gaya berpakaian profesional diiringi keramah-tamahan petugas layanan merupakan hal yang umum dijual. Perusahaan berlomba-lomba menampilkan kesan pertama terbaik kepada calon konsumen mereka. Batasan dan panduan pegawai dalam bergaya kesehariannya dipercaya mampu meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap jenama yang diusung oleh perusahaan.
Sangat disayangkan, “perusahaan” pemilik layanan umum terbesar yang semestinya menjadi tolak ukur pelayanan yang berkualitas, seringkali memiliki citra negatif bagi pengguna layanan. Kantor pemerintahan penyedia layanan publik, semestinya berkaca pada rekan swasta sejawatnya. Kurangnya dana yang dialokasikan pada pematutan diri pegawai, digunakan sebagai alasan utama ketidakpedulian terhadap gaya berpakaian. Sekadar mengenakan busana yang bersih, rapi, serta sesuai dengan ketentuan, semestinya tidak serta merta mengurangi jumlah penghasilan yang dibawa pulang.
Kajian Ilmiah
Sudah banyak kajian ilmiah digelar untuk mengetahui hubungan antara kesan pertama atau penampilan terhadap pandangan seseorang. Dalam dunia politik, citra diri kandidat yang ditampilkan pada kampanye publik, nyatanya mampu memengaruhi jumlah perolehan suara. Olivola (2010) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “Elected in 100 miliseconds: Appearance-Based Trait Inferences and Voting” menekankan bahwa,
“First impressions based on appearances are remarkably influential, frustratingly difficult to overcome, and occur with astonishing speed.” (Kesan pertama yang ditampilkan dari penampilan memiliki pengaruh yang luar biasa besar, sangat sulit untuk dihilangkan, dan muncul dengan begitu saja)
Sebegitu dahsyatnya dampak dari kesan pertama yang ditimbulkan sehingga mampu memengaruhi keputusan, dalam hal ini para pemilih, dalam menentukan pilihannya. Literatur yang telah dikaji dalam jurnal ilmiah tersebut membuktikan bahwa pencitraan yang ditampilkan oleh kandidat politik, bagaimana mereka digambarkan pada kampanye publik, sangat memengaruhi perolehan suara serta mampu menjadi prediksi akan kesuksesan pemilihan.
Sejalan dengan kesimpulan tersebut dalam bidang pelayanan jasa, Wang (2019) mengemukakan hubungan antara bagaimana gaya berbusana pegawai restoran dengan persepsi konsumen terhadap jenama rumah makan tersebut. Walaupun tidak terdapat seragam tertentu dalam keseharian kerja, baiknya perusahaan tetap membuat panduan berbusana untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap nilai dasar dan positioning perusahaan.
Menilik persandingan yang setara, Abraham (2018) dalam jurnal ilmiah yang berjudul “The Impact of Dress Code on an Organisational Image: A Case Study of Prudential Bank Limited, Takoradi Branch” menarik kesimpulan bahwa gaya berbusana formal di tempat kerja sangat membantu menggambarkan kondisi organisasi terhadap publik. Sampel yang digunakan pada penelitian tersebut adalah pegawai Prudential Bank Limited cabang Takoradi, Ghana. Abraham (2018) berpendapat bahwa pegawai bank bertugas untuk mengelola aspek keuangan seseorang, sehingga mereka harus tampil sebagai pribadi yang profesional dan dapat diandalkan. Bagaimana cara berpakaian menampilkan komitmen mereka untuk bertindak secara profesional, perhatian terhadap detail dan klien mereka. Sebaliknya, jika gaya berbusana pegawai terkesan sembarangan, memberikan kesan bahwa mereka tidak mengacuhkan persepsi konsumen. Keseluruh jurnal tersebut di atas merekomendasikan perusahaan untuk membuat panduan terhadap tata cara berbusana pegawai yang baik dalam rangka meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap organisasi.
Gaya Personal
Era kiwari membawa banyak kemajuan dalam bidang teknologi. Perusahaan perintis (start-up company) semakin bermunculan untuk mengakomodasi gagasan generasi muda. Batasan-batasan formal diabaikan karena dianggap bukanlah suatu hal yang memengaruhi keberhasilan, termasuk didalamnya panduan berbusana.
Industri kreatif mencuat dengan membawa pandangan baru. Gaya personal dijunjung tinggi untuk menciptakan jenama pada diri sendiri. Perbedaan, menurut mereka, adalah suatu keunggulan yang patut diapresiasi. Mulai bermunculan pertanyaan, apakah tepat jika birokrasi dilandaskan dengan orientasi hasil dibanding dengan proses yang dijalani?
Kajian ilmiah oleh Angeline (2013) yang berjudul “Image Does Matter: Personal Style vs Professional Image” mengemukakan pandangan mengenai gaya personal seseorang dibandingkan dengan citra profesional yang ditampilkan. Melalui penelitian tersebut, ditarik simpulan bahwa gaya personal sesungguhnya sangat berdampak pada citra profesionalitas. Citra perusahaan, selain digambarkan oleh produk juga digambarkan oleh para karyawan dalam perusahaan tersebut. Karyawan sebaiknya selain dapat menggambarkan citra profesional juga dapat menggambarkan citra perusahaan melalui gaya personalnya.
Branding
Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan merupakan salah satu organisasi pemerintah yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme. Terpaut dalam Nilai-nilai Kementerian Keuangan, profesional diartikan sebagai bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Sebagai pegawai DJP kesan pertama yang ingin dibentuk ketika bertemu wajib pajak adalah sosok yang berintegritas dan profesional. Sangat disayangkan ketika wajib pajak serta merta menilai pegawai tidak cakap atau tidak dapat diandalkan hanya karena cara berpakaian yang salah.
Selain itu, DJP juga mencoba mengimplementasikan gaya hidup bersih dan rapi melalui program Internalisasi Corporate Value. Salah satu program yang bertitel Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin (5R) dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya kesadaran, keyakinan, dan kepedulian Pegawai Kementerian Keuangan akan pentingnya penataan ruang kantor dan lingkungan kerja yang aman, ringkas, rapi, resik/bersih melalui perawatan yang dilakukan secara rutin, agar tercipta lingkungan kerja yang nyaman guna meningkatkan etos kerja dan semangat berkarya. Kerapian dalam hal ini, selain mampu menciptakan persepsi yang baik bagi pengguna layanan diharapkan juga mampu meningkatkan kinerja pegawai secara keseluruhan.
Tahun 2017 Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan pedoman mengenai jenama (branding) DJP. Beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penamaan DJP ini adalah untuk membangun citra dan reputasi yang positif di masyarakat. Selain itu, diharapkan juga mampu menciptakan kebanggaan bagi pegawai yang secara tidak langsung dapat membangun semangat kinerja dalam melaksanakan tugas.
Dalam surat edaran tersebut, selain memperkenalkan logo teranyar DJP, pun terdapat panduan umum mengenai pakaian kerja pegawai. Menjadi unit kerja vertikal di bawah naungan Kementerian Keuangan, tentunya pedoman berbusana tetap menginduk pada ketentuan Menteri Keuangan. Terdapat modifikasi yang tetap sesuai aturan namun menjadi sorotan pada identitas DJP yang baru. Batasan formal masih ditegakkan dengan harapan dapat menciptakan gambaran yang relevan dengan ekspektasi masyarakat.
Gaya personal memang memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum muda. Lantas apakah ASN yang kini didominasi oleh generasi milenial lebih mengedepankan aktualisasi diri daripada kepentingan organisasi? Bukankah masyarakat juga menginginkan kenyamanan serta ketenangan bahwa masalahnya diatasi secara profesional oleh pelayan publik?
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 299 kali dilihat