Filosofi Ketupat vol.1

Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Dalam bulan Syawal setelah menjalankan puasa ada dua kali pelaksanaan lebaran yang dikenal masyarakat Jawa pada umumnya, yaitu Idulfitri dan Lebaran Ketupat. Idulfitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah sepekan sesudahnya (8 Syawal). Pada lebaran Idulfitri dan lebaran ketupat, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat. Ketupat adalah jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong yang kemudian dimasak dalam waktu lama. Setelah masak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Adalah Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat Jawa. Ketupat merupakan simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. Saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied 1 Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim. Sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran, yaitu setelah masyarakat menjalankan puasa syawal selama enam hari.

Filosofi ketupat dalam tradisi Jawa memiliki arti khusus. Ketupat sendiri merupakan kependekan dari Ngaku Lepat atau berarti mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan di implementasikan dengan tradisi minta maaf, sungkeman, dan halal bihalal.

Ketupat sendiri dibungkus dengan daun janur (dalam bahasa arab Ja’anur berarti telah datang cahaya), dengan bentuk fisik segi empat merupakan ibarat hati manusia. Dalam artian saat seseorang sudah mengakui kesalahan maka hatinya seperti ketupat yang berisi putih, hati tanpa iri dan dengki karena sudah dibungkus dengan cahaya.

Setiap manusia yang sudah dengan hati meminta maaf, maka ia diibaratkan hatinya bersih, tidak memiliki sifat iri ke sesama, dendam atapun kedengkian. Janur yang membungkus ketupat bagai cahaya yang melindungi hati tersebut.

Selain itu pada perayaan idul fitri dalam tradisi Jawa, tradisi lain adalah dalam keluarga besar yaitu sungkeman. Tradisi ini pada umumnya dilakukan di kalangan kerabat atau keluarga saja. Sungkeman tidak hanya dilakukan dengan berjabat tangan, ada tata cara tertentu yang perlu dilakukan pada acara sungkeman yaitu dilakukan secara terurut dari yang dituakan.

Mengambil tradisi ketupat, Direktorat Jenderal Pajak juga telah mengadakan lebaran dengan seluruh wajib pajak, yaitu dengan amnesti pajak. Dimana dalam amnesti ini wajib pajak yang mengakui ada pajak atau harta yang belum dilaporkan, telah dimaafkan dengan syarat membayar pajak yang terutang dan pokok hutang pajaknya. Sedangkan atas sanksinya Direktorat Jenderal Pajak berbesar hati memaafkan dengan menghapuskan.

Setelah melakukan pengakuan diharapkan hati wajib pajak menjadi bersih, jauh dari sifat iri, dengki, ataupun sifat yang lain. Wajib pajak diharapkan melaporkan pajaknya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa ada paksaan, karena hatinya sudah dilindungi “Ja’anur” atau cahaya. Wajib pajak diharapkan dengan kesadaran sendiri membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya, tanpa perlu melihat atau menunggu apabila ada tetangganya yang belum membayar atau melaporkan pajaknya.

Saat ini masih ada wajib pajak yang belum kembali fitrah setelah ikut amnesti pajak. Mengikuti amnesti pajak hanya sekadar ikut tanpa mengerti makna yang ada. Saya jadi berfikir, kalau saja filosofi ketupat ini dimengerti oleh wajib pajak alangkah makmurnya negeriku ini. Orang akan berlomba-lomba membayar dan melaporkan pajaknya sesuai dengan ketentuan dan pembangunan negeri ini akan semakin cepat. Masyarakat yang kurang mampu akan mudah mendapat pelayanan pendidikan dan kesehatan. Masyarakat luas akan mudah melakukan usaha karena akses jalan yang mudah. Negeri indah karena hati masyarakatnya sudah dilindungi oleh cahaya kebaikan.

Selamat merayakan lebaran ketupat, semoga hati kita semua kembali bersih, jauh dari sifat iri, dengki, dan dendam serta hati kita semua selalu dalam lindungan cahaya kebaikan. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.