Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Hari raya Idulfitri bagi masyarakat pesisir pantai utara selalu identik dengan kata-kata ini: mudik, ketupat, dan lepet. Mudik sendiri berasal dari kata mulih disik atau pulang kampung dulu. Untuk ketupat sudah kita bahas di Filosofi Ketupat vol. 1, sedangkan Lepet (bahasa Jawa) dan Leupeut (bahasa Sunda) dapat diartikan sebagai makanan berbahan dasar beras ketan yang dibungkus dengan janur berbentuk lonjong terikat oleh tali. Sedangkan menurut wikipedia "Lepet (Jawa) atau Leupeut (Sunda) adalah sejenis penganan dari beras ketan yang dicampur kacang dan dimasak dalam santan, kemudian dibungkus daun janur. Makanan ini lazimnya ditemukan di daerah Jawa dan Sunda dan populer disantap sebagai kudapan. Waktu saya mencoba mencari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak menemukan kata lepet dengan definisi di atas, hanya tertulis Lepet itu sama dengan Lepat.

LEPET sendiri memiliki makna disiLEP sing raPET (disembunyikan yang rapat), artinya setelah kita mengakui kesalahan maka selanjutnya kita wajib menyimpan semua kesalahan, dendam amarah, dan berjanji untuk tidak mengulanginya (disilep sing rapet : lepet). Kata Lepet sendiri sama seperti kupat diciptakan oleh Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga mengutip Al-Qur’an yaitu surat Ali Imron ayat 134 yang memiliki arti, "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Q.S. Ali Imron: 134). Surat ini memiliki makna bahwa orang-orang yang telah mengeluarkan zakat fitrah dan infaq shodaqoh baik dalam keadaan susah atau pun senang, hari Idulfitri merupakan hari istimewa untuk merayakan kemenangan melawan hawa nafsu. Pada hari itu juga telah mengakui kesalahannya (ngaku lepat) untuk kemudian ia juga telah mampu menahan amarahnya dan menyimpan dendamnya (disilep sing rapet) terhadap orang lain, maka Allah SWT akan menyempurnakan amal ibadahnya dengan rasa rahmatnya dan tetap menjaga dalam kebajikan.

Bentuk Lepet yang lonjong dan terikat disetiap ujungnya memiliki makna sebagai gambaran bahwa nantinya kalau sudah meninggal manusia akan terbungkus kain kafan dan diikat diujung-ujungnya seperti lepet. Pada saat kita telah mengakui kesalahan (ngaku lepat) maka kita harus menyimpan kesalahan itu sebagai masa lalu dan tidak perlu diulang kembali (disilep sing rapet). Kuburlah kesalahan kita layaknya mayat yang akan dikebumikan di alam barzakh, tidak akan bicara dan tidak akan mengumpat karena itu adalah masa lalu.

Kembali Kerja Setelah Lebaran

Libur panjang lebaran berakhir minggu kemarin. Hari ini semua sudah kembali bekerja, kemacetan sudah mulai nampak di jalanan menandakan roda ekonomi di Jakarta sudah mulai bergerak. Kembalinya kita bekerja diharapkan membawa semangat baru, mengubur semua kesalahan masa lalu, dan memulai lagi kehidupan yang baru.

Pemerintah sudah mengawali kerja dengan mempromosikan PP 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dimana dalam aturan ini tarif untuk UMKM turun dari 1% menjadi 0,5%. Selain tarif yang turun juga ada batasan baru yaitu jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final ini bagi wajib pajak orang pribadi 7 tahun sejak peraturan ini diundangkan atau sejak wajib pajak terdaftar bagi yang terdaftar setelah peraturan berlaku. Bagi wajib pajak badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditier, atau firma berlaku 4 tahun, sedangkan yang berbentuk perseroan terbatas berlaku 3 tahun.

Peraturan ini senafas dengan filosofi ketupat dan lepet, saat yang tepat diundangkan. Masa yang sudah dianggap berlalu, mulai saat ini dimulai aturan baru. Diharapkan tidak ada lagi alasan wajib pajak untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan. Siapa yang diuntungkan? Semua pihak diuntungkan, baik wajib pajak, pemerintah, maupun Ditjen Pajak.

Di masa krisis, tahun 2008 dan 2014 banyak perusahaan yang gulung tikar. Hanya sekitar 30% yang tetap bertahan. Namun banyak UMKM yang terus bertahan meskipun dilanda krisis. Oleh sebab itu perhatian pemerintah terhadap perkembangan UMKM sudah tepat karena diharapkan nantinya UMKM ini menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Dalam era digital di saat banyak departemen store gulung tikar namun UMKM masih bisa mengikuti era digital bahkan makin eksis dengan omset yang makin besar.

Dengan semangat lebaran, mari kita kawal pelaksanaan peraturan PP 23 tahun 2018. Kita lupakan yang sebelumnya. Kita kubur masa lalu, kita benahi ke depan dengan melaporkan pajak sesuai ketentuan. Saat mudik lebaran kita sudah merasakan manfaat pajak dengan pembangunan infrastruktur yang sampai pelosok sehingga menghemat waktu kita pulang kampung. Tidak perlu kita curiga dengan keluarnya peraturan baru ini, semua diuntungkan dengan peraturan ini.

Setelah kita menyantap KETUPAT dan LEPET di hari lebaran dengan harapan agar kita benar-benar menjadi manusia seutuhnya dan menjadi manusia hijrah menjadi lebih baik seperti anak manusia yang baru lahir. Marilah kita memaknai lebaran bukan hanya dari baju yang baru tetapi juga hijrah menjadi lebih baik, bukankah itu yang kita dambakan selama puasa. Taqaballahu Minna Wa Minkum, Shiyamana wa shiyamakum.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.