Oleh: Zidni Hudan Said Purnomo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Industri perfilman Indonesia semakin berkembang dan mendapatkan pengakuan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional. Salah satu contoh yang menonjol adalah kesuksesan film "Agak Laen" yang berhasil tembus di pasar Malaysia dan Brunei. Ada juga "Pemandi Jenazah" yang konon menjadi film horor terlaris kedua sepanjang sejarah Negeri Jiran, Malaysia. Namun, di balik kesuksesan tersebut, pertanyaan mengenai pengenaan pajak seringkali menjadi perhatian utama bagi para produsen dan pelaku industri film.

"Agak Laen" merupakan film komedi yang menceritakan kisah persahabatan dengan sentuhan humor khas Indonesia. Film ini berhasil mencuri perhatian penonton di Indonesia dengan alur cerita yang menghibur dan mudah dipahami. Namun, keberhasilan film ini tidak terbatas pada pasar domestik saja. Dengan tema universal dan komedi yang mudah dipahami, "Agak Laen" berhasil menembus pasar Malaysia dan Brunei.

Kehadiran "Agak Laen" di Malaysia dan Brunei menjadi bukti bahwa industri film Indonesia memiliki potensi untuk bersaing di pasar internasional. Namun, di tengah euforia kesuksesan ini, pertanyaan mengenai kewajiban pajak seringkali terabaikan.

Aspek Perpajakan

Saat sebuah film Indonesia merambah pasar internasional seperti Malaysia dan Brunei, pertanyaan tentang pengenaan pajak menjadi penting. Hal ini karena setiap negara memiliki aturan pajak yang berbeda-beda, termasuk dalam hal penghasilan yang diperoleh dari kegiatan bisnis di negara tersebut.

Pengenaan pajak bagi film Indonesia yang berhasil merambah pasar di luar negeri pada umumnya akan mengikuti peraturan yang berlaku di negara tersebut. Dalam hal ini, ketentuan yang harus dipahami tidak hanya pada peraturan perpajakan Indonesia melalui mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24, melainkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) juga perlu dipahami.

Pengenaan PPh Pasal 24

Pasal 24 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), adalah suatu peraturan yang secara khusus mengatur hak dan kewajiban wajib pajak dalam memanfaatkan kredit pajak yang diperoleh di luar negeri untuk mengurangi jumlah pajak penghasilan yang harus dibayarkan di Indonesia. Dalam konteks ini, wajib pajak memiliki hak untuk menggunakan kredit pajak yang diperoleh dari negara lain sebagai pengurang dalam perhitungan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada otoritas pajak Indonesia.

Peraturan ini penting karena dalam kegiatan usaha lintas batas atau investasi di luar negeri, wajib pajak sering kali harus membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh di negara tempat usaha atau investasi tersebut beroperasi. Namun, sesuai dengan prinsip keadilan dan untuk menghindari pengenaan pajak ganda, wajib pajak diberikan fasilitas untuk mengurangi pajak penghasilan yang terutang di Indonesia dengan menggunakan kredit pajak yang telah dibayarkan di luar negeri.

Dengan demikian, Pasal 24 secara esensial memungkinkan wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak internasional dalam rangka mengurangi beban pajaknya di Indonesia, sehingga memberikan insentif bagi investasi lintas batas serta mendorong integrasi ekonomi global.

Tax Treaty

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah kesepakatan antara dua negara atau lebih untuk mengurangi atau menghindari tumpang tindih pajak atas penghasilan yang diterima oleh warga atau perusahaan dari negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Tujuan utama dari P3B adalah untuk mencegah penghindaran pajak oleh mengatur batasan-batasan pengenaan pajak dan menentukan mekanisme untuk memecahkan sengketa yang mungkin timbul.

P3B mencakup berbagai ketentuan, termasuk ketentuan terkait pengenaan pajak atas penghasilan, pembatasan pajak, penghindaran pengenaan ganda pajak, serta prosedur penyelesaian sengketa. Di dalam P3B, negara-negara yang terlibat sepakat untuk membagi hak untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu, seperti dividen, bunga, royalti, atau keuntungan dari penjualan aset. Hal ini dilakukan agar penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak dua kali.

Selain itu, P3B juga biasanya memuat ketentuan terkait pertukaran informasi antara negara-negara yang terlibat, sehingga memudahkan negara-negara tersebut untuk mengawasi dan menegakkan peraturan perpajakan secara lebih efektif.

Pentingnya Kepatuhan Pajak

Kepatuhan terhadap kewajiban pajak menjadi hal yang sangat penting dalam industri film, terutama ketika film tersebut merambah pasar internasional. Selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial, kepatuhan pajak juga akan menjaga reputasi baik bagi produsen film dan industri secara keseluruhan. Dalam konteks film "Agak Laen" yang berhasil menembus pasar Malaysia dan Brunei, kepatuhan terhadap kewajiban pajak akan memastikan kelangsungan operasional dan pertumbuhan industri film Indonesia secara keseluruhan.

Kesimpulan

Kesuksesan film "Agak Laen" yang disusul film lainnya di Malaysia dan Brunei menjadi cermin bagi potensi industri film Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Namun, di balik kesuksesan tersebut, pengenaan pajak menjadi aspek yang tidak boleh diabaikan. Dengan memahami regulasi pajak yang berlaku, termasuk PPh Pasal 24 dan aturan dalam P3B, produsen film dan pelaku industri dapat memastikan kepatuhan terhadap kewajiban pajak, sehingga menjaga keberlanjutan dan pertumbuhan industri film Indonesia di masa mendatang.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.