Dok, Sudah Benarkah Cara Menghitung Pajak Penghasilan Anda ?

Oleh: Wildan Kristianto, pegawai Dirktorat Jenderal Pajak
Bagaimanakah cara menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dokter? Kebanyakan orang pasti akan menjawab dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk seluruh penghasilan yang diterima dokter. Padahal penghasilan dokter bisa berasal dari berbagai macam sumber, tidak hanya hasil dari praktik sebagai dokter, baik praktik pribadi maupun praktik di rumah sakit atau klinik, tetapi bisa juga sebagai pegawai tetap, dewan direksi rumah sakit, ataupun sebagai dosen pengajar. Sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya dapat digunakan untuk wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang tidak menyelenggarakan pembukuan.
Sampai saat ini perhitungan PPh Pasal 21 dokter ini masih belum sepenuhnya dipahami baik oleh dokter maupun pihak rumah sakit ataupun klinik sebagai pemotong pajak. Misalnya banyak dari pemotong PPh Pasal 21 menggunakan jumlah penghasilan yang diterima dokter, yang nyata-nyata merupakan penghasilan bersih, sebagai jumlah penghasilan bruto. Akibatnya para dokter yang menerima bukti potong tersebut beranggapan bahwa jumlah yang ada di bukti potong merupakan penghasilan bruto dan kemudian langsung mengalikan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Hal ini tidak akan menjadi masalah apabila status akhir dalam SPT Tahunan 1770 adalah nihil atau kurang bayar. Namun, apabila menjadi lebih bayar, maka dapat dipastikan dokter tersebut harus mengikuti proses pemeriksaan dan/atau penelitian dalam hal pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Lalu siapa yang harus disalahkan? Dokter akan menganggap itu kesalahan pihak pemotong, dan sebaliknya pihak pemotong akan mengembalikan lagi kepada dokter karena SPT Tahunan merupakan tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, baik pihak pemotong maupun yang dipotong harus memahami esensi dari adanya penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Apabila dilihat dari bentuk kerja sama antara dokter dan rumah sakit/klinik berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-51/PJ/1995 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 atas Honorarium Dokter yang Praktek di Rumah Sakit dapat dikategorikan sebagai berikut :
- Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit;
- Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer rumah sakit;
- Dokter tetap, yaitu dokter yang mempunyai jadwal praktik tetap (hari dan jam praktek tertentu), namun bukan sebagai pegawai rumah sakit;
- Dokter tamu, yaitu dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit;
- Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat praktiknya.
Untuk dapat mengetahui cara penghitungan PPh Pasal 21-nya harus diuraikan terlebih dahulu sumber penghasilan dari masing-masing poin di atas yang dapat dibagi menjadi dua kategori sebagai berikut:
1. Untuk dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pemimpin rumah sakit dan sebagai karyawan tetap ataupun pegawai honorer rumah sakit, tentunya penghasilan dokter tersebut berasal dari keuangan rumah sakit atau dari bendaharawan rumah sakit berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, dan imbalan lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan kerjasama antara dokter dan rumah sakit adalah pegawai dan pemberi kerja. Oleh karena itu aspek perhitungan PPh Pasal 21-nya dapat mengacu pada penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap berdasarkan ayat (1), ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Pasal 10 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.
2. Dokter yang mempunyai jadwal praktek tetap, dokter tamu, dan dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat praktik, hubungan kerja sama antara dokter dan rumah sakit bukan sebagai pegawai dan pemberi kerja melainkan sebagai mitra kerja yang pada umumnya dituangkan dalam perjanjian kontrak kerja. Dalam kontrak kerja tersebut biasanya berisi klausal perjanjian kerja sama secara umum dan juga terdapat persentase pembagian penghasilan yang akan diterima masing-masing pihak. Persentase pembagian hasil tersebut adalah salah satu poin yang paling krusial dalam melakukan perhitungan PPh Pasal 21 dokter dalam kategori ini. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya kita perlu mengetahui dahulu dasar yang menyatakan bahwa dokter dapat menggunakan Noma Penghitungan Penghasilan Neto.
Pertama, untuk menentukan jumlah PPh 21 terutang maka dokter yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 yang tidak memilih menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan dan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 17/PJ/2015.
Kedua, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 17/PJ/2015, penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu Tahun Pajak
Ketiga, dalam Pasal 10 ayat (6) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-16/PJ/2016 dijelasakan bahwa dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa untuk dapat mengggunakan norma penghitungan penghasilan neto harus diketahui terlebih dahulu penghasilan brutonya. Dalam hal dokter yang menerima penghasilan dari rumah sakit atau klinik, harus dipastikan terlebih dahulu jumlah penghasilan yang diterima apakah merupakan penghasilan neto atau bruto.
Menurut data yang diperoleh penulis, sebagian besar dokter menerima penghasilan yang bersifat neto karena seluruh biaya terkait dengan praktek dokter yang meliputi biaya sewa tempat praktek, biaya gaji karyawan, maupun biaya operasional lainnya sudah dibayarkan oleh rumah sakit atau klinik, sehingga dalam hal ini dokter sudah tidak mengeluarkan biaya apapun. Lantas bagaimana cara menetukan penghasilan brutonya? Di sinilah peran penting persentase bagi hasil pada kontrak perjanjian karena dapat digunakan untuk menghitung kembali berapa penghasilan bruto dokter yang sebenarnya dengan cara meng-gross up penghasilan neto.
Namun, tidak semua klinik dan rumah sakit dapat memberikan jumlah persentase atau nilai bagi hasil dalam kontrak perjanjian kerja sama yang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Lalu bagaimana cara dokter menghitung penghasilan brutonya jika pihak rumah sakit atau klinik tidak mau memberikan informasi terkait jumlah jasa dokter yang dibayar pasien ataupun persentase pembagian hasil yang menjadi dasar mengitung penghasilan bruto?
Hal inilah yang sampai saat ini menyebabkan banyak perdebatan baik di kalangan pwtugas pajak maupun wajib pajak karena belum ada peraturan yang dapat menjadi acuan terkait penentuan tarif persentase untuk mengetahui penghasilan bruto dokter. Acuan yang ada saat ini adalah berupa penegasan yang hanya bersifat internal Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam nota dinas tersebut dijelaskan bahwa untuk menghitung penghasilan bruto, berdasarkan kajian maupun data empiris pada berbagai Rumah Sakit Badan Layanan Umum (RS BLU), besaran persentase remunerasi bagian insentif kinerja (P2) adalah sebesar 80% dari jasa dokter yang dibayarkan pasien. Namun demikian bagaimana untuk dokter yang bekerja di rumah sakit swasta dan klinik? Tentu saja akan terdapat perbedaan pada persentase bagi hasil walaupun jumlahnya mungkin tidak terpaut jauh dengan RS BLU.
Pada akhirnya keterbukaan informasi terkait jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien sebagai dasar penghitungan penghasilan neto sudah seharusnya disampaikan oleh rumah sakit dan klinik sebagai pemotong kepada dokter sebagai pihak yang dipotong.
Untuk dokter juga harus bisa memahami konsekuensi apabila pihak pemotong salah menerbitkan butki potong, yaitu dengan cara menghitung kembali jumlah penghasilan bruto yang sebenarnya dan melaporkannya pada SPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hanya sekadar mengikuti jumlah angka pada bukti potong yang diberikan pihak pemotong.
Kesalahan pemotong dalam menghitung PPh Pasal 21 dalam hal ini akan mengakibatkan kurang bayar pajak sehingga sangat berpotensi merugikan keuangan negara, terlebih lagi apabila pihak pemotong merupakan perusahaan berskala nasional maka jumlah kurang bayar pajak akan sangat signifikan. Selain itu masih banyak klinik kecil dan dokter di berbagai daerah yang mungkin masih belum mengetahui perhitungan PPh Pasal 21 yang benar, sehingga kepedulian wajib pdalam menghitung dan melaporkan pajak juga merupakan kunci dari keberhasilan dalam meningkatkan kesadaran akan kewajiban perpajakan.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 5184 kali dilihat