Oleh: Sandra Puspita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Hari ini overwhelming banget, deh. Kerjaan literally numpuk. Gue butuh healing, nih.”

Kalimat di atas bukan merupakan hal yang aneh lagi untuk didengar di telinga masyarakat. Kebiasaan baru untuk menyisipkan Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari kini dianggap lumrah, terutama pada lingkaran generasi Z. Lambat laun, masyarakat tertantang untuk memperkaya kosakata Bahasa Inggris agar dapat disisipkan dalam percakapan mereka sehari-hari.

Peribahasa “banyak jalan menuju Roma” kiranya tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Pasalnya, ada banyak sekali cara yang dapat dipilih oleh masyarakat dalam memperkaya kosakata Bahasa Inggris agar dapat menyisipkannya dalam percakapan sehari-hari. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan membaca buku versi asli karya penulis mancanegara.

Fakta Literasi di Indonesia

Buku dan literasi dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara harfiah, literasi merupakan istilah umum yang mengacu pada serangkaian kemampuan dan keterampilan manusia dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung hingga memecahkan masalah. Sayangnya, Indonesia sendiri belum mampu meraih “predikat” yang baik dalam aspek literasi ini.

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 silam, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara atau merupakakan 10 negara terbawah dengan tingkat literasi yang rendah. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 2019, Kepala Perpustakaan Nasional Indonesia, M. Syarif Bando menyatakan bahwa stigma “negara rendah budaya baca” telah melekat di pikiran mayoritas penduduk Indonesia. Hal ini justru semakin menurunkan indeks literasi di Indonesia. Beliau juga menambahkan bahwa rendahnya minat baca dan kemampuan literasi ini berdampak pada produksi buku bacaan di Indonesia setiap tahunnya.

Faktanya, total jumlah bacaan Indonesia dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia hanya berada pada rasio nasional 0,09. Artinya, satu buku baru ditunggu atau dibaca oleh hanya sembilan puluh orang Indonesia setiap tahunnya. Menurut Anda, apakah sulitnya akses orang Indonesia terhadap buku sendiri atau mahalnya harga buku yang beredar merupakan penyebabnya? Mari kita ulas.

"Harga" Sebuah Buku

Hal dilematis tentu akan selalu menyelimuti pikiran para pembaca buku. Tentu banyak sekali buku yang menarik perhatian para pembaca tetapi harganya yang selangit dan hampir menyamai harga kebutuhan pokok. Dampaknya, para pembaca lebih banyak untuk mengurungkan niat untuk membeli sebuah buku. Tentu saja kontroversi ini bukan baru terjadi akhir-akhir ini. Lalu bagaimana sebuah buku dapat dihargai dengan harga yang tinggi?

Dikutip dari berbagai sumber, seorang penulis lokal harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat "melahirkan" sebuah buku. Biaya-biaya tersebut di antaranya biaya riset penulis, biaya produksi dan distribusi, hingga biaya pemasaran. Tidak sampai di situ, komponen fiskal juga menyertai perjalanan setiap penulis sebelum buku yang mereka tulis dapat terbit ke pembaca.

Namun, fokus penulis pada artikel ini tertuju pada buku karya penulis mancanegara yang harganya bagaikan langit dan bumi jika disandingkan dengan buku versi asli yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dicetak kembali oleh penerbit lokal. Faktor biaya fiskal tentu saja salah satu penyebab mengapa buku karya penulis mancanegara ini harganya jadi “selangit” saat masuk pasar Indonesia.

Buku-buku karya penulis mancanegara tentu tidak lepas dari kegiatan impor dan komponen fiskal yang menyertainya. Dalam hal impor, barang kiriman akan dibebankan Bea Masuk apabila nilainya melebihi free on board (FOB) 3,00 dolar Amerika Serikat. Atas impor buku karya penulis mancanegara yang nilai kirimannya melebihi FOB 3,00 dolar Amerika Serikat sampai dengan FOB 1.500,00 dolar Amerika Serikat, maka dipungut tarif pembebanan Bea Masuk sebesar 7,5% dari nilai pabean.

Buku-buku karya penulis mancanegara termasuk ke dalam daftar impor barang tertentu lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan kategori buku cetakan, brosur, selebaran dan barang cetakan semacam itu, dalam lembaran tunggal maupun tidak sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Atas impor buku tersebut, dipungut PPh Pasal 22 sebesar 2,5% bagi importir yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API) atau sebesar 7,5% bagi importir yang tidak menggunakan API.

Di samping itu, impor buku karya penulis mancanegara juga dipungut PPN sebesar 11% dari nilai impor sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Atas buku-buku karya penulis mancanegara yang sudah berada di daerah pabean dan dilakukan penyerahan dalam negeri —dalam hal ini, antara perusahaan toko buku kepada konsumen— juga tidak luput dari pengenaan pajak. Penyerahan buku pada dasarnya merupakan objek PPN, kecuali buku pelajaran umum, kitab suci dan buku pelajaran agama baik dalam bentuk fisik maupun e-book. Artinya, penyerahan dalam negeri buku-buku yang ditulis diterbitkan baik oleh penulis maupun penerbit luar negeri —selain kategori buku yang dibebaskan dari pengenaan PPN— dipungut PPN sebesar 11%.

Buku Terjemahan sebagai Alternatif

Setelah membahas "harga" yang harus dikeluarkan untuk dapat memeroleh buku yang ditulis dan/atau diterbitkan oleh penerbit luar negeri, tidak heran jika harga buku-buku tersebut dinilai fantastis saat masuk ke toko buku di Indonesia. Lantas, haruskah para kaum low budget kemudian membeli buku versi bajakannya? Tentu tidak.

Jika kamu berkunjung ke salah satu toko buku paling populer di Indonesia, kamu pasti akan dengan mudah menemukan buku-buku karya penulis mancanegara favoritmu yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan dijual secara bebas. Yang paling menarik di sini adalah, buku versi terjemahan ini harganya jauh lebih murah dibandingkan versi aslinya. Mengapa demikian? Apakah buku yang dipasarkan tersebut ilegal sehingga harganya lebih murah?

Kembali pada pembahasan di awal bahwa harga buku-buku impor mayoritas menyaingi harga kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Walaupun, tidak dapat dipungkiri, tidak sedikit juga masyarakat Indonesia yang bersedia membeli buku-buku impor tersebut dengan harga yang mahal. Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sebuah buku terjemahan asing yang legal di pasar Indonesia.

Ada banyak faktor di balik harga yang lebih merakyat untuk sebuah buku terjemahan asing. Prosedur yang lebih sederhana dan komponen biaya yang dapat ditekan menjadi faktor utamanya. Biasanya importir/penerbit buku lokal Indonesia akan melakukan pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Di sinilah biaya akan terlihat besar di awal karena proses ini tidak luput dari PPN. Setelah mereka mendapatkan "hak cipta" secara legal, mereka akan menyewa penerjemah bahasa asing agar buku tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kemudian dicetak dan diterbitkan dengan versi yang dimodifikasi dari buku aslinya, seperti kualitas kertas, jenis sampul buku, dll. Hal ini tidak semata-mata dilakukan untuk menurunkan kualitas tetapi merupakan salah satu trik yang dilakukan penerbit untuk mengurangi biaya-biaya. Setelah buku tersebut dicetak dalam jumlah yang banyak, penerbit kemudian akan mulai memasarkannya di pasar buku dalam negeri. Dalam hal ini, terdapat persamaan sistem seperti buku asing yang dipasarkan di Indonesia, yaitu pemungutan PPN dalam negeri atas buku-buku—selain kategori buku yang dibebaskan dari pengenaan PPN—sebesar 11%.

Setelah mengetahui teknis di atas, bukan sebuah pertanyaan besar lagi, mengapa harga buku-buku terjemahan dapat berbeda jauh dari harga buku asing versi aslinya. Dan, poin plusnya, buku ini legal dan bukan merupakan buku bajakan.

Namun, bagi beberapa pecinta buku, membeli buku asing versi asli dengan harga yang lebih tinggi bukanlah sebuah hambatan. Apalagi, bagi kaum-kaum milenial yang ingin literally cas cis cus belajar Bahasa Inggris melalui literasi. Selain itu, kaum-kaum milenial yang “takut ketinggalan” atau bahasa kerennya fear of missing out (FOMO) terhadap tren-tren membaca buku asing, pasti tidak akan sungkan untuk mengeluarkan uang demi sebuah buku asing supaya tidak ketinggalan zaman. Tentu saja, lewat sebuah buku asing maupun buku versi terjemahan yang kamu beli untuk alasan apapun, kamu sudah berkontribusi dengan menyumbangkan uangmu ke negara dalam bentuk pajak. Sekecil apapun kontribusi kamu, tetap berarti besar untuk negara ini.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.