Bersiap untuk Generasi Emas Indonesia Sadar Pajak
Oleh: Teddy Ferdian, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Bangun pemudi pemuda.. Indonesia..
Tangan bajumu singsingkan.. untuk negara..
Masa yang akan datang.. kewajibanmulah..
Menjadi tanggunganmu, terhadap nusa..
Menjadi tanggunganmu, terrhadap nusa.."
Bait lirik di atas merupakan sepenggal lagu 'Bangun Pemudi Pemuda' karya Alfred Simanjuntak. Lagu yang ingin melecut dan menggerakkan semangat para pemuda untuk bangkit dan bergerak memberikan sumbangsih dalam memajukan Ibu Pertiwi. Lagu yang menggambarkan bahwa masa depan Indonesia digantungkan di pundak para pemuda.
Pemuda sering dianalogikan dengan gairah, semangat, berani, kreatif, dan inovatif. Tidak salah memang apa yg dulu dipekikkan Bung Karno, "Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Sejarah mencatat gerakan pemuda di tahun 1908, 1928, 1945, 1998 dan tahun-tahun berikutnya yang memberikan warna perjuangan dan kebangkitan bangsa. Sedemikian kuat pengaruh pemuda, sehingga dengan kekuatannya mampu memberi perubahan pada suatu negara bahkan dunia.
Pun begitu pada masa sekarang ini. Indonesia kembali menaruh harapan kepada generasi muda yang akan membawa perubahan dan kemajuan bangsa. Generasi emas Indonesia dicanangkan pada tahun 2045 saat Indonesia memperingati seabad kemerdekaan. Wacana ini menyeruak seiring dengan 'bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia di tahun 2045. Pada rentang tahun 2020-2045, 70% penduduk Indonesia ada di usia produktif (15-64 tahun) dan hanya 30% penduduk usia tidak produktif (<15 tahun dan >64 tahun)
Sejalan dengan hal tersebut, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mencanangkan bahwa pada tahun 2025, Indonesia akan menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur dan menjadi 12 besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita US$15.000. Kemudian pada tahun 2045 menjadi 7 besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar US$47.000.
Bonus demografi pada tahun 2045 sebagaimana disebutkan tadi, menuntut negara untuk mempersiapkan generasi muda yang berkualitas. Para siswa SMP, SMA, dan mahasiswa sekarang, sekitar 27 tahun kemudian diharapkan menjadi pimpinan lembaga negara, kepala pemerintahan, usahawan, kaum intelektual yang mampu memajukan negara ini. Kualitas pendidikan pun menjadi yang utama untuk dipikirkan. Tak heran jika tidak kurang 20% dari Rp2.220,7 triliun belanja negara berdasarkan APBN 2018 diproyeksikan untuk dunia pendidikan. Pendidikan pun tidak hanya menyasar keilmuan tekstual, namun jg moral dan akhlak untuk membangun generasi penerus yang bermoral, berakhlak mulia, dan berintektualitas tinggi.
Ada satu hal yang sering luput dari perhatian, namun sebenarnya teramat sangat penting untuk menjadi perhatian pemerintah dalam hal membentuk karakter generasi muda bangsa yang berkualitas. Jika tadi sudah disinggung sedikit tentang struktur APBN. Disadari atau tidak, ada satu sumber mayoritas dari pendapatan negara yang menyumbang tidak kurang 85% APBN Indonesia. Tanpa ada pendapatan, mustahil Indonesia dapat membiayai kebutuhan belanja sebesar Rp2.220,7 triliun tadi. Bisa hutang? Ya bisa saja, namun hanya akan menjadi bom waktu bagi negara jika hutang terus membengkak. Darimana sumber pendapatan mayoritas itu? Jawabnya: Pajak.
Ya.. tidak dapat dipungkiri bahwa penerimaan pajak menyumbang 85% pendapatan negara pada APBN 2018. Oleh karena itu usaha mewujudkan pendapatan negara dari pajak itu harus menjadi prioritas negara. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa yang bertanggung jawab mewujudkannya. Apakah semata tanggung jawab ada pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak? Secara teknis ya. Namun Ditjen Pajak tidak dapat bergerak sendirian. Ditjen Pajak butuh dukungan. Dari siapa? Dari Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain (ILAP). Pihak-pihak di luar Ditjen Pajak ini yang diharapkan dapat menjadi agen-agen pajak yang mampu menyuarakan informasi positif tentang pajak.
Pajak ini unik, karena masyarakat tidak merasakan reward langsung sebagai imbalan dari membayar pajak. Beda dengan retribusi. Masyarakat yang membayar retribusi parkir misalnya. Mereka merasakan manfaat langsung dari membayar retribusi. Pajak tidak seperti itu. Yang ada justru komplain dari masyarakat yang mengatakan buat apa bayar pajak, toh jalan di dekat rumah saya tidak pernah diperbaiki, selalu dibiarkan rusak. Mengapa pernyataannya tidak dibalik menjadi "saya harus bayar pajak dan mengajak orang lain bayar pajak supaya semua masyarakat bisa menikmati jalan yang bagus". Kalau ada masyarakat yang berpikir seperti ini baru namanya T.O.P. B.G.T.
Jika diambil sampel dari beberapa kantor pajak. Perbandingan antara jumlah wajib pajak terdaftar wajib SPT yang melakukan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bisa jadi di bawah 50%. Dan dari angka di bawah 50% tersebut mungkin hanya di bawah 20% yang melakukan pembayaran pajak. Ini masalah. Dan, jika dirunut ke belakang, masalah utama bisa jadi adalah kesadaran pajak yang belum melekat di hati sanubari masyarakat Indonesia.
Nah sekarang berarti persoalan yang muncul adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran pajak di kalangan masyarakat. Menyadari keterbatasan yang kita miliki. Untuk melaksanakan hal ini kita perlu mengerucutkan sasaran yang akan kita tuju. Kita kembali ke pembahasan generasi emas di awal tadi. Sepertinya akan sangat beralasan jika kita memprioritaskan sasaran kita pada calon generasi emas Indonesia. Ya, para pemuda harapan bangsa.
Menumbuhkan kesadaran pajak di kalangan generasi muda menjadi penting agar generasi emas Indonesia nantinya menjadi generasi emas yang sadar pajak. Sadar pajak bukan berarti mereka harus kuliah di jurusan perpajakan atau menguasai ilmu pajak. Jika itu bisa terwujud memang lebih bagus, tetapi setidaknya mereka memahami pajak itu apa, apa manfaat pajak bagi negara dan masyarakat. Mereka mengerti dipergunakan untuk apa uang masyarakat yang membayar pajak serta dapat menyebarkan informasi sadar pajak ke masyarakat luas. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa pajak itu penting bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara, bukan hanya mengetahui teori tentang perpajakan.
Dengan begitu, ketika mereka menjadi pemimpin lembaga negara nantinya, mereka menjadi pemimpin lembaga negara yang mengerti pentingnya pajak bagi pembangunan dan kemana akan digunakan uang hasil penerimaan pajak untuk mensejahterakan menjadi masyarakat. Ketika mereka menjadi usahawan, mereka menjadi usahawan yang taat pajak karena memahami bahwa pajak yang dibayarkan akan kembali ke masyarakat dalam bentuk fasilitas dan pembangunan infrastruktur. Ketika mereka menjadi ilmuwan, mereka akan menjadi guru, mereka mampu mendarmabaktikan pengetahuan mereka untuk kemajuan bangsa dan mampu meneruskan tongkat estafet sadar pajak kepada murid-murid mereka.
Untuk dapat merealisasikan hal tersebut tentu bukan hal yang mudah. Tahun 2045 boleh dikatakan masih 27 tahun lagi. Namun ini bukan menjadi alasan kita untuk bersantai. Justru persiapan sejak dini perlu dilakukan. Dan, sekarang adalah saat yang tepat. Di saat calon generasi emas Indonesia masih ada di bangku sekolah atau kuliah. Saat yang tepat untuk penanaman sadar pajak agar mereka dapat menjadi insan yang sadar pajak ke depannya.
Dengan sadar pajak, diharapkan dapat membentuk pola pikir generasi muda bahwa pajak itu penting bagi negara. Bagaimana mungkin pembangunan dapat berjalan jika masyarakat masih ogah-ogahan berkontribusi dalam pembayaran pajak. Bagaimana mungkin negara bisa mandiri dari belenggu utang luar negeri jika kita tidak dapat memberdayakan potensi yang kita miliki untuk berpartisipasi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Bayangkan jika 20 tahun lagi, pemimpin-pemimpin Indonesia diisi oleh orang-orang dengan pola pikir sadar pajak yang telah telah terbentuk sejak di usia muda. Orang-orang yang mampu menularkan semangat sadar pajak kepada seluruh masyarakat Indonesia. Indonesia saat itu akan menjadi negara mandiri, maju, dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Ditjen Pajak sendiri terus mempersiapkan segala hal untuk memasyarakatkan sadar pajak ini. Pendekatan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pun dilakukan. Ditjen Pajak saat ini memiliki program inklusi sadar pajak yang menyasar generasi muda di perguruan tinggi. Program yang mencoba meng’insert’kan materi sadar pajak ke dalam kurikulum di mata kuliah dasar umum. Mata kuliah dasar umum dipilih karena mata kuliah tersebut menjadi mata kuliah wajib yang harus diambil oleh semua mahasiswa dari semua jurusan.
Dalam melakukan hal tersebut, Ditjen Pajak menggandeng para dosen untuk bekerja sama menyusun bahan ajar mata kuliah yang akan diajarkan. Materi sederhana terkait pajak coba di’insert’kan ke dalam materi perkuliahan. Hal ini dilakukan sekaligus untuk mencari agen-agen pajak dari dunia pendidikan yang memiliki kepedulian terhadap ibu pertiwi dan ingin melihat Indonesia menjadi maju dan mandiri di masa depan.
Untuk melakukan hal ini, Ditjen Pajak telah melakukan pelatihan duta inklusi untuk lingkungan internal Ditjen Pajak yang melibatkan pegawai terpilih sebagai perwakilan kantor wilayah di seluruh Indonesia. Pelatihan yang telah dua kali dilakukan ini, terakhir dilakukan di Yogjakarta pada akhir Februari silam. Pelatihan yang diharapkan dapat menyamakan frekuensi dan visi misi dari setiap pegawai yang terlibat untuk bersama-sama menyusun rencana dan strategi dalam mencapai tujuan kita bersama untuk Indonesia yang lebih baik. Selanjutnya, sinergi seluruh pihak mutlak diperlukan untuk kesuksesan program inklusi pajak. Semoga program tersebut dapat berjalan lancar dan sukses sesuai yang direncanakan. Jika benar begitu, maka mari bersiap menyambut Generasi emas Indonesia sadar pajak.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1442 kali dilihat