Berapa Pajak Pendengung dan Pemengaruh

Oleh: Muhammad Rifqi Saifudin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pendengung adalah padanan untuk kata buzzer dan pemengaruh merupakan padanan untuk influencer. Dua kata ini sudah tidak asing bagi warganet, apalagi yang sering mengikuti perkembangan berita di media sosial. Pendengung dan pemengaruh bisa dikatakan sebagai sebuah profesi dewasa ini. Lalu, berapa pajak yang dikenakan atas penghasilan mereka?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pemengaruh sebagai orang yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan atau merekomendasikan sesuatu. Pendengung menurut KBBI adalah orang yang menyebarkan rumor atau gosip (terutama melalui media sosial) untuk menjadi perhatian banyak orang supaya hal tersebut menjadi perbincangan banyak orang. Definisi pendengung sebenarnya kurang tepat jika hanya dibilang menyebarkan rumor atau gosip, karena banyak pihak yang menyewa pendengung untuk menyebarkan fakta terkini atau sekadar meminta mengiklankan suatu perusahaan.
Secara umum, pendengung dan pemengaruh adalah orang yang menggunakan media sosial untuk tujuan tertentu. Perbedaan terletak pada skalanya, seorang pemengaruh biasanya merupakan akun dengan pengikut media sosial yang banyak atau orang terpandang sedangkan pendengung bisa siapa saja tanpa memandang pengikut atau statusnya di lingkungan. Pendengung akan mendengungkan atau menyebarkan konten yang diposting pemengaruh baik secara langsung di konten pemengaruh atau tidak langsung dengan membuat konten sendiri namun tetap bersinggungan dengan konten tersebut.
Profesi ini makin dicari semenjak hadirnya teknik pemasaran digital. Jumlah pengguna internet yang semakin bertambah membuat pemasaran merambah dunia maya. Pendengung dan pemengaruh ibarat sales promotion girl (SPG) dan sales promotion boy (SPB) yang ada di dunia maya.
Aspek Perpajakan
Pendengung dan pemengaruh ada yang bekerja sendiri dan ada pula yang dibawahkan manajemen. Pendengung biasanya bergerak berdasarkan konten dari Key Opinion Leader (KOL). Seperti namanya, KOL merupakan “pemimpin kunci” yang opininya akan disebarkan oleh pendengung. Pemengaruh adalah salah satu jenis KOL.
Pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap profesi ini tergantung dari aliran uang yang mereka peroleh, apakah melewati manajemen atau langsung menuju dari penyewa (penerima jasa) kepada pendengung dan pemengaruh.
Apabila melewati manajemen, maka ia dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% atas jasa dari nilai kontrak. Ini dengan catatan manajemennya berbentuk badan seperti PT, CV, atau semacamnya. Pendengung dan pemengaruh akan mendapatkan penghasilan dari manajemen yang sudah dipotong pajak dan biaya dari manajemen.
Pendengung dan pemengaruh yang mendapatkan pekerjaan tanpa melewati manajemen akan dipotong PPh Pasal 21. Profesi ini masuk dalam kategori bukan pegawai. Ketentuan lama PPh membagi bukan pegawai menjadi berkesinambungan dan tidak berkesinambungan, namun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi, pemotongan dilakukan dengan rumus tunggal yaitu Tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh x (50% x Penghasilan Bruto). PPh yang dipotong menjadi kredit pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Lalu, bagaimana cara melaporkan SPT Tahunannya?
Pendengung dan pemengaruh dapat dikategorikan sebagai pekerja seni sehingga pelaporan SPT Tahunan dapat menggunakan tata cara orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang dari Rp4,8 miliar boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. NPPN untuk pekerja kegiatan seni adalah sebesar 50%.
Misalnya seorang pemengaruh selama setahun mendapatkan penghasilan sebesar Rp70 juta dari suatu manajemen. Penghasilan netonya dihitung dari tarif NPPN dikali penghasilan, yaitu 50% x Rp70 juta = Rp35 juta. Pemengaruh ini masih lajang dan tidak mempunyai tanggungan maka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah Rp54 juta. Penghasilan kena pajaknya adalah Rp35 juta - Rp54 juta = Rp0. Artinya pemengaruh ini tidak perlu membayar pajak pada tahun bersangkutan karena penghasilan kena pajak (penghasilan bruto x NPPN) masih di bawah PTKP. Hanya saja, dia tetap wajib melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan.
Pendengung dan pemengaruh sama seperti profesi lainnya karena penghasilannya dikenakan pajak. Pemberi kerja yang baik harusnya menerbitkan bukti potong (bupot) setiap kali memberikan penghasilan kepada pendengung dan pemengaruh. Tidak hanya memengaruhi warganet, pendengung dan pemengaruh yang sudah sadar pajak akan membantu DJP. Kontribusi ini dapat menjadi salah satu cara pendengung menghilangkan konotasi negatif pada definisi pekerjaannya, karena nyatanya pendengung ada untuk menyebarkan informasi dan tidak selalu informasi buruk.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 128 kali dilihat