BBM, Memang Ada Aspek Perpajakannya?

Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam Pasal 33 ayat (2) mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Salah satu cabang produksi yang vital bagi hajat hidup seluruh rakyat Indonesia adalah pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM). Dilansir dari berbagai sumber, konsumsi BBM, khususnya Pertalite, selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini juga mencerminkan tingginya ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar fosil untuk transportasi dan aktivitas sehari-hari. Pada tahun 2023, konsumsi BBM nasional mencapai 505 juta barel. Sementara itu, konsumsi Pertalite, sebagai salah satu jenis BBM yang paling banyak digunakan masyarakat, mengalami peningkatan dari 18,1 juta kiloliter pada 2019 menjadi 23 juta kiloliter pada 2021. BBM adalah darah yang menggerakkan arteri perekonomian Indonesia.
Sektor minyak dan gas bumi (migas) memiliki peran signifikan dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Kontribusi sektor ini terhadap pendapatan negara terdiri dari 2 kategori, yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas dan Pajak atas migas. Setidaknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas menyumbang Rp110,15 triliun pada total penerimaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) di tahun 2024. Mari kita bahas aspek perpajakan dalam sektor migas secara sederhana.
Pajak Penghasilan (PPh)
Dalam konteks transaksi bisnis antara importir dan agen/distributor, dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 yang bersifat final. Dengan dikenakan pajak yang bersifat final, penghitungan PPh Pasal 22 atas transaksi BBM di level importir/produsen dan agen/distributor menjadi lebih sederhana. PPh Pasal 22 mengatur pemajakan produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas. Aturan ini diperinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024). PMK ini mengatur tarif pajak atas penjualan BBM, BBG, dan Pelumas dari produsen atau importir kepada penyalur. Tarif 0,25% dikenakan untuk penyerahan BBM kepada SPBU Pertamina dan tarif 0,3% dikenakan untuk penyerahan BBM kepada SPBU non-Pertamina. Dasar pengenaan pajaknya (DPP) adalah nilai penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), BBM termasuk dalam barang kena pajak (BKP) yang dikenai PPN. Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 12% dengan penyesuaian Dasar Pengenaan Pajak (DPP). BBM tertentu yang disubsidi pemerintah (misalnya solar subsidi) tidak dikenakan PPN sedangkan BBM nonsubsidi, seperti Pertalite RON 90, Pertamax RON 92, Pertamax Turbo dan Dexlite, dikenakan PPN.
Lebih lanjut, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan BBM juga dikenakan pajak lain seperti keuntungan dari perusahaan importir/produsen BBM dikenakan PPh 25/29 atas Badan dan Pajak atas Pengalihan Harta Tidak Berwujud Pasal 11A ayat (7) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh jo. UU HPP dalam hal penjualan hak penambangan migas antar pelaku usaha.
BBM memiliki peran krusial dalam pasar energi global, baik dari sisi konsumsi maupun produksi. Pada tahun 2022 negara adidaya, Amerika Serikat, menjadi negara yang mengkonsumsi BBM tertinggi di dunia dengan besaran konsumsi 19,1 juta barel per hari (19,7% dari konsumsi global). Indonesia sendiri mengkonsumsi BBM sebesar 97,3 juta barel per hari pada tahun 2022. Tingkat konsumsi ini kontradiktif dengan kapasitas produksi minyak mentah Indonesia yang hanya sebesar 576 ribu barel per hari berdasarkan data pada Oktober 2024, menurun dari rata-rata historis 1.200 juta barel per hari sejak 1973. Hal ini menjadikan BBM bukan sekadar komoditas di Indonesia, tetapi urat nadi perekonomian bangsa.
Pajak yang dikenakan atas BBM menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara yang mendukung pembangunan nasional.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 259 kali dilihat