Aksi PPK untuk Pengamanan Penerimaan Negara (oleh: Johana Lanjar Wibowo)

Oleh: Johana Lanjar Wibowo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2016, dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi, Presiden telah menginstruksikan kepada para pimpinan Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah guna melaksanakan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2016 dan Tahun 2017. Di dalam Inpres tersebut terdapat dua strategi, yaitu strategi pencegahan dan penegakan hukum, dimana setiap strategi dijabarkan dalam fokus-fokus kegiatan. 

Presiden menaruh perhatian sangat besar dalam bidang penerimaan negara dengan memfokuskan kegiatan aksi melalui reformasi tata kelola pajak dan optimalisasi penerimaan pajak. Fokus kegiatan tersebut, dijabarkan menjadi tujuh aksi, yaitu: (1) Evaluasi kualitas dan penguatan mekanisme pertukaran data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, (2) Pelaksanaan konfirmasi status wajib pajak untuk layanan publik tertentu sesuai ketentuan, (3) Pengaturan mengenai kewajiban melakukan konfirmasi status wajib pajak untuk layanan publik tertentu, (4) Evaluasi konfirmasi status wajib pajak sektor strategis dan penguatan mekanisme konfirmasi wajib pajak, (5) Penyusunan kebijakan tentang integrasi data keuangan, (6) Penyediaan interfacing database pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi dengan Database Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), (7) Percepatan pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi, dan (8) Percepatan pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi.

Dari delapan kegiatan di atas, terdapat tiga program implementasi aksi kaitannya dengan bidang perpajakan, yaitu: (1) Pertukaran Data dan Informasi Perpajakan, (2) Konfirmasi Status Wajib Pajak, dan (3) Integrasi Data Keuangan. Pertukaran Data dan Informasi Perpajakan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah mengatur, kewajiban pemberian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 35 dan 35A, dimana setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP), wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012, jenis data dan informasi yang disampaikan kepada DJP berupa data dan informasi yang berkaitan dengan kekayaan atau harta dan utang yang dimiliki, penghasilan yang diperoleh atau diterima dan biaya yang dikeluarkan dan/atau yang menjadi beban, transaksi keuangan, dan kegiatan ekonomi orang pribadi atau badan. 

Terdapat 67 (enam puluh tujuh) ILAP yang telah diwajibkan memberikan data dan informasi perpajakan sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan yang telah diubah lima kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016. Dengan data dan informasi ini diharapkan dapat mendukung pencapaian penerimaan pajak. Data dan informasi hasil pertukaran dengan ILAP terkait ini sangat penting digunakan dalam pengawasan dan pemeriksaan dalam kepatuhan atas kewajiban perpajakan wajib pajak. Sebagai contoh, pasca tax amnesty ini data dan informasi berkaitan dengan kekayaan atau harta dan utang yang dimiliki oleh orang pribadi atau badan digunakan untuk mengecek apakah masih ada harta atau utang yang belum wajib pajak laporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya. Sedangkan data dan informasi lainnya (penghasilan, biaya, transaksi keuangan, dan kegiatan ekonomi) digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) terutang wajib pajak, baik melalui pengawasan oleh Account Representatitive atau pemeriksaan oleh pemeriksa pajak.

Sejak tahun 2013 hingga sekarang, pertukaran data dan informasi perpajakan telah dijalankan dengan baik. Tentunya secara kuantitas jumlah data dan informasi perpajakan tersebut sangatlah besar. Banyaknya data dan informasi perpajakan haruslah diikuti dengan peningkatan kualitas dan penguatan mekanisme pertukaran data dan informasi yang tersedia.

Konfirmasi Status Wajib Pajak

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43/PJ/2015, Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah sebelum memberikan layanan publik tertentu untuk memperoleh keterangan status Wajib Pajak. Keterangan status atas KSWP ini memuat status “Valid” atau “Tidak Valid.” Status valid apabila wajib pajak memenuhi ketentuan: (a) nama Wajib Pajak dan NPWP sesuai dengan data dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, dan (b) telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir yang sudah menjadi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam hal wajib pajak memperoleh Keterangan Status Wajib Pajak yang memuat status Valid layanan publik tertentu pada Instansi Pemerintah dapat diberikan, sedangkan apabila tidak memenuhi diberikan Keterangan Status Wajib Pajak yang memuat status Tidak Valid. Tentunya agar layanan publik tertentu tersebut dapat diberikan, wajib pajak dapat memperbaiki nama dan NPWP-nya (dalam hal belum sesuai dengan data dalam sistem informasi) atau menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 (dua) tahun pajak terakhir (dalam hal belum menyampaikan). Terdapat 5 (lima) instansi terkait yang saat ini telah melaksanakan KSWP, yaitu: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Dalam Negeri. Kelima instansi tersebut juga telah menerbitkan landasan hukum KSWP dalam pemberian layanan publik pada instansi masing-masing. Dalam landasan hukum tersebut diuraikan layanan publik apa saja yang mempersyaratkan KSWP dalam pelaksanaan layanan publiknya.

Pada tahun 2017, yang akan melaksanakan KSWP dalam layanan publiknya akan bertambah 7 (tujuh) instansi pemerintah, yaitu: (1) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, (2) Kementerian Perdagangan, (3) Kementerian Kesehatan, (4) Kementerian Perindustrian, (5) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, (6) Badan Koordinasi Penanaman Modal, (7) Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan adanya KSWP ini, wajib pajak, baik orang pribadi ataupun badan yang akan mengajukan pelayanan publik pada instansi pemerintah terpenuhi kepatuhan perpajakannya, sehingga kepatuhan dalam pembayaran pajak meningkat sebagaimana kriteria keberhasilan aksi. Menurut pendapat penulis, minimal terpenuhi terlebih dahulu kepatuhan pelaporan perpajakan wajib pajak. Program KSWP ini sebaiknya diperluas dan ditingkatkan pelaksanaannya kepada seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, peningkatan kepatuhan wajib pajak tidak hanya tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak, tetapi juga instansi pemerintah lainnya juga ikut bersinergi dan berkontribusi di dalamnya.

Integrasi Data Keuangan

Integrasi data keuangan sangat penting, utamanya dalam meningkatkan tingkat kepatuhan pembayaran pajak, tujuannya untuk meningkatkan validitas data keuangan wajib pajak. Pihak terkait dalam program ini adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terdapat dua poin penting sebagai indikator keberhasilan aksi ini, yaitu: (1) pencatatan dan penyimpanan data keuangan wajib pajak berbasis Single Identity Number (SIN) dan (2) implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI). Dengan diberlakukan basis data perpajakan berbasis SIN dan implementasi AEOI ini diharapkan potensi penerimaan pajak yang selama ini belum tergali dapat direalisasikan.

Integrasi data keuangan ini sudah dimulai pada tahun 2017 dengan adanya Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (Akasia) pada DJP dan Aplikasi Buka Rahasia Bank (Akrab) pada OJK. “Akasia” digunakan terbatas di internal pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mempercepat pengajuan usulan pembukaan data perbankan WP kepada Menteri Keuangan, sedangkan “Akrab” merupakan aplikasi internal OJK untuk mempercepat proses pemberian izin atas surat permintaan Menkeu. Selain dengan aplikasi Akasia-Akrab ini, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional. Langkah ini sebagai bagian dari implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI). 

Dengan adanya Akasia-Akrab dapat mempercepat proses pengajuan dan perolehan perintah tertulis (pembukaan data nasabah) kepada bank, tentunya akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemeriksaan. Sedangkan AEOI harapannya akan meningkatkan kualitas data dan informasi perpajakan. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong tingkat kepatuhan pajak. (*) 

Sumber Gambar: http://stranasppk.bappenas.go.id/upload/file_article/document/(sosialisasi-dan-penajaman-inpres-10-tahun-2016)-Inpres%2010%202016_Sosialisasi%20dan%20Penajaman.pdf

*) Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan instansi dimana penulis bekerja