Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kabar gembira bagi para pemilik usaha indekos! Per 2 Januari 2018, berlaku aturan baru yang mengecualikan "jasa pelayanan penginapan" dari pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 10%.

Di dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2017 Tentang PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "jasa pelayanan penginapan" antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.

Aturan ini merupakan upaya harmonisasi dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggarahan, rumah penginapan, dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).

Aturan ini juga menjawab keresahan mayoritas wajib pajak pemilik usaha kos-kosan terkait pengenaan tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan kamar yang dirasa memberatkan. Kewajiban pelaporan masa juga dinilai merepotkan wajib pajak. Keluhan terbesar mereka adalah tak bisa membebankan pajak yang harus dibayar kepada penyewa orang pribadi (bukan pemotong pajak yang ditunjuk Ditjen Pajak) sebab secara signifikan akan mempengaruhi harga sewa dan menurunkan minat penyewa. Padahal, bila dibandingkan dengan penyewaan gedung atau rumah tinggal dengan sistem pembayaran tahunan, secara nominal penghasilan yang diterima wajib pajak relatif jauh lebih kecil.

Makin Canggih, Makin Sulit Dikenali

Indekos, menurut KBBI adalah tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok. Menilik sejarahnya, sebutan ini berasal dari istilah Belanda "in de kost" yang secara harafiah berarti "makan di dalam" atau secara luas "tinggal dan ikut makan" di dalam rumah tempat menumpang tinggal.

Pada zaman kolonial Belanda, terdapat kalangan pribumi yang membayar sejumlah uang agar anaknya dapat menumpang tinggal dan dianggap bagian dari keluarga Belanda dengan sejumlah fasilitasnya. Pada masa pergerakan kemerdekaan, termasyhur juga kisah tentang Sukarno yang indekos di rumah induk semangnya, Inggit Garnasih.

Bentuk penyewa kos dan induk semang ini lalu menjadi model umum yang berlaku di masyarakat kita. Tak jarang, hubungan antara anak kos dan tuan rumah ini sarat kekeluargaan, disebabkan kerapnya interaksi di antara mereka. Tak sedikit dari hubungan itu yang berlanjut dengan pernikahan antara anak kos dengan pemilik kos atau anak tuan rumah.

Di era disrupsi ini, hubungan sosial itu mulai tergeser nilai-nilai komersial. Induk semang tak lagi tinggal serumah dengan penyewa. Satpam dan penjaga kos-kosan yang melayani kebutuhan penyewa, menjadi komponen baru yang menyerap tenaga kerja.

Bisnis ini kian canggih dengan basis aplikasi dalam jaringan untuk menjaring pelanggan dan memudahkan sistem pembayaran. Hitungan jangka waktu sewa pun makin pendek, tak lagi bulanan namun juga pekanan dan harian. Karakteristik bisnis indekos model semacam ini tentu menyulitkan petugas pajak dalam menyisir atau menggali potensi perpajakannya.

Lebih Mudah, Lebih Murah

Pengecualian dalam aturan PP Nomor 34 Tahun 2017 ini akan mengubah sistem penghitungan pajak kos-kosan ke skema pemajakan yang lebih simpel yaitu PP 46 Tahun 2013. Dalam aturan ini, pelaku kegiatan usaha yang beromset di bawah 4,8 milyar rupiah cukup membayar pajak sebesar 1% dari total omset per bulan sehingga apabila dalam bulan itu tidak ada penyewa maka tidak ada yang perlu dibayar. Wajib pajak hanya perlu menghitung penghasilan total dari persewaan kamar selama sebulan sebelum dikurangi biaya-biaya, dan membayar pajak sebesar 1% dari nilai tersebut ke negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.

Bagi yang belum bisa membuat kode billing sendiri bisa langsung membayarnya via atm. Dan yang lebih memudahkan lagi, wajib pajak tidak perlu lagi melaporkan pembayaran pajaknya sebab pembayaran pajak ini telah dipersamakan dengan pelaporan pajak. Tentu saja, skema ini dilakukan apabila penyewa kos-kosan adalah orang pribadi yang bukan pemungut yang ditunjuk Ditjen Pajak.

Ini tentu hal yang sangat menggembirakan dan mencerminkan prinsip keadilan pajak. Penurunan tarif dan kemudahan cara pembayarannya diharapkan mampu mendongkrak penerimaan pajak dari basis dan menjaring wajib pajak baru pemilik indekos yang belum ber-NPWP. Sosialisasi masif tentu saja diperlukan. Di sinilah agen-agen kehumasan Ditjen Pajak perlu bekerja ekstra untuk menumbuhkan kesadaran dan mengetuk hati para pelaku bisnis kos-kosan baik yang menggunakan metode konvensional maupun dalam jaringan untuk berperan aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Memang, kemudahan sistem dan penurunan tarif sebesar apapun takkan terasa manfaatnya bila wajib pajak tidak tahu atau belum tergugah hatinya. Ya, pemahaman aturan yang baik akan mendorong kesadaran pajak yang lebih paripurna, meresap ke dalam hati dan menggerakkan wajib pajak untuk turut berkontribusi dalam pembangunan bangsa.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.