7 Alasan Tidak Perlu Panik Atas Terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017

Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Senang rasanya membaca berita yang dirilis hampir tengah malam oleh www.antaranews.com, Selasa (16/05), “Pemerintah terbitkan Perppu akses informasi untuk perpajakan.” Betapa tidak! Balaid yang ditandatangani pada 8 Mei 2017 ini adalah jawaban dari penantian yang sangat panjang bagi Ditjen Pajak untuk mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Perppu ini dibuat tidak hanya untuk kepentingan luar negeri tetapi juga untuk kepentingan dalam negeri.

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 Prasyarat Pergaulan Dunia

Bila ditinjau dari kepentingan luar negeri, terbitnya perppu ini dalam rangka mendukung komitmen yang telah dibuat oleh Indonesia bersama dengan negara-negara G20 untuk mendukung pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information / AEOI). Hal tersebut didorong oleh krisis global yang terjadi pada tahun 2008 yang imbasnya menimpa hampir semua negara di dunia yang berakibat terjadi perlambatan dan ketidakpastian ekonomi dunia. Menipisnya sumber pendanaan untuk membiayai penyehatan sektor keuangan adalah faktor pendorong lainnya di samping kegeraman yang luar biasa pada praktek-praktek nakal penghindaran pajak yang pada akhirnya menggerus basis pajak karena para pelaku tahu betul bahwa otoritas pajak di banyak negara mempunyai keterbatasan akses informasi keuangan. Modus yang sering dipakai adalah dengan menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil kegiatan tersebut di negara-negara tax havens atau offshore Financial Center.

Kesepakatan untuk menyonsong era keterbukaan bermula dari deklarasi yang dilakukan oleh  G20 Leaders' pada London Summit pada April 2009 (Indonesia adalah salah satu anggota G20) untuk segera mengakhiri era kerahasiaan perbankan untuk kepentingan perpajakan telah berakhir. Menyusul kemudian pada September 2009 Indonesia bergabung menjadi salah satu anggota Global Forum on Transparancy and Exchange of Information for Tax Purposes (Global Forum). Berikutnya pada November 2011 Pemerintah Indonesia menandatangani Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC), dimana pada Pasal 6-nya mengatur tentang pelaksanaan AEOI.

Selanjutnya pada September 2013, G20 Leaders' Saint Petersburg Summit mendeklarasikan dukungan bagi OECD untuk menetapkan standar global untuk pelaksanaan AEOI. Standar umum atau tata krama yang berlaku dalam pergaulan adalah diterapkannya prinsip timbal balik (resiprokal). Tata krama ini berlaku juga dalam pergaulan internasional. Untuk itulah pada November 2014, G20 Leaders' Brisbane Summit mendeklarasikan komitmen untuk mengimplementasikan AEOI secara resiprokal berdasarkan Common Reporting Standard (CRS)  mulai tahun 2017 atau tahun 2018. Terakhir pada Juni 2015, Indonesia menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), yang di dalam Annex F-nya mencantumkan komitmen Indonesia untuk memulai AEOI pada September 2018.

Sebagai prasyarat adanya keterbukaan informasi keuangan, tentu lah selubung yang selama ini menghalanginya terlebih dulu harus dirobek. Hal yang  harus diwaspadi adalah jangan sampai hingga waktu yang ditentukan pada tanggal 30 Juni 2017 justru Indonesia yang sejak awal bersama negara-negara G20 lainnya berkomitmen untuk terbuka justru gagal memenuhi komitmen (failing to meet their commitments).

Maka, penerbitan regulasi domestik yang mewajibkan lembaga keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada otoritas perpajakan dan memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan untuk mempertukarkan dengan negara lain mendesak untuk dilakukan. Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan maupun aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan telah menjawab tantangan untuk memenuhi komitmen di atas. Tidak hanya sebagai salah satu pertanda bahwa Indonesia telah memasuki era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan, hal tersebut menyusul langkah pertama dalam reformasi perpajakan jilid III yaitu Amnesti Pajak.

Belakangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 mengalami penyempurnaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017, namun perubahan tersebut tidak mengurangi sinyal kuat kesungguhan pemerintah melakukan reformasi perpajakan jilid III ini.  

Bila ditinjau dari sudut pandang kepentingan domestik, dengan berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 berikut aturan pelaksaannya diharapkan akan menambah luasnya basis data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Mengingat Indonesia menganut sistem perpajakan berdasarkan self assessment, basis data yang kuat adalah kunci untuk meningkatkan penerimaan pajak sekaligus tax ratio. Tanpa basis data yang luas lagi-lagi institusi perpajakan seperti pasukan yang ditugasi untuk berperang tetapi tanpa diberikan senjata. 

Wajib Pajak tidak perlu khawatir

Di atas langit ada langit, demikian kiranya kalimat yang tepat untuk mengiringi terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017.  Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena sejatinya tidak ada kewenangan yang diberikan tanpa batas. Pun demikian dengan yang dimiliki Ditjen Pajak pasca terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 berikut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017. Setidaknya terdapat tujuh alasan mengapa wajib pajak tidak perlu menghawatirkan terbitnya balaid tersebut:

Pertama,  akses informasi keuangan ini hanya untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk kepentingan lain. Pasal 2 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 maupun Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 secara jelas membatasi kewenangan Ditjen Pajak yaitu  hanya dapat mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Sekali lagi dicatat, hanya untuk keperluan perpajakan bukan untuk keperluan lainnya.

Kedua,  Pemerintah / Ditjen Pajak akan melindungi keamanan dan kerahasiaan data nasabah sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dan perjanjian internasional. Perihal keamanan dan kerahasiaan data nasabah dijamin, sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017.

Ketiga,  hanya penjabat Ditjen Pajak tertentu yang mendapatkan akses dan terdapat sanksi pidana bagi yang membocorkan. Pasal 30 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017, melarang setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, untuk membocorkan, menyebarluaskan, dan / atau memberitahukan informasi keuangan dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan berkaitan dengan informasi keuangan wajib pajak kepada pihak yang tidak berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Apabila nekat melanggar  keamanan dan kerahasiaan data nasabah sanksi yang akan diterapkan pun tidak main-main, yaitu dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). 

Keempat,  tidak semua data nasabah wajib dilaporkan secara otomatis kepada Ditjen Pajak karena akan ditetapkan batasan (threshold). Pada mulanya berdasarkan Pasal 19 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017, Pemerintah menetapkan batasan saldo atau nilai rekening keuangan orang pribadi yang harus dilaporkan oleh LJK kepada Ditjen Pajak yaitu  rekening keuangan yang dimiliki orang pribadi, saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan jumlah paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara. Sseiring berjalannya waktu dan memperhatikan respon masyarakat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 disempurnakan dan terbitlah  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 yang menaikan batasan rekening keuangan yang dimiliki orang pribadi yang harus dilaporkan kepada Ditjen Pajak yaitu  dengan saldo atau nilai dari satu Rekening Keuangan atau lebih dengan jumlah paling sedikit menjadi Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Satu hal lagi, yang harus dilaporkan oleh adalah saldo atau nilai rekening keuangan per 31 Desember pada tahun kalender pelaporan dan bukan mutasi pada tiap rekening tersebut.

Kelima, sepanjang dana nasabah beserta penghasilan yang menjadi sumber atas dana nasabah tersebut telah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tentunya tidak akan ada masalah dalam hal perpajakan. UU Pajak Penghasilan telah mendefinisikan penghasilan dalam arti luas yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Hal tersebut sejalan dengan pendekatan penghasilan secara  ekonomi dimana penghasilan akan bertransformasi atau berubah bentuk dan selalu equal dengan pengeluaran yang dikeluarkan atas konsumsi dan tabungan / investasi (Y =  C + I/S). Dengan demikian, semestinya jika seluruh penghasilan (yang kemudian sebagiannya menjadi sumber dana dari tabungan wajib pajak) berikut saldo tabungan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, masa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan karena itu berarti seluruh Pajak Penghasilan telah dibayar.

Keenam, masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengikuti Amnesti Pajak, sehingga dana nasabah seharusnya sudah tidak terdapat permasalahan perpajakan lagi. Pada saat mulai berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak mulai dari Pemerintah, DPR, KADIN, berbagai macam asosiasi, perkumpulan, bank dan berbagai pihak telah mensosialisasikan dan menyampaikan baik secara langsunh maupun melalui beragam media massa bahwa salah satu alasan mengapa Amnesti Pajak dilakukan mulai pertengahan tahun 2016 hingga Maret 2017 karena Indonesia bersama-sama negara yang tergabung dalam G20 segera memasuki era keterbukaan informasi keuangan di tahun 2018. Bahkan Presiden Jokowi tidak segan-segan turun langsung memberikan sosialisasi Amnesti Pajak. Jika kemudian wajib pajak merespon dan segera mengikuti Amnesti Pajak dengan melaporkan seluruh harta yang dimilikinya termasuk saldo atau nilai rekening dan membayar uang tebusan, tentu tidak ada lagi permasalahan perpajakan.

Ketujuh, bagi wajib pajak yang belum melaporkan SPT Tahunan dapat segera menyampaikan SPT Tahunan yang mencantumkan saldo rekening yang dimiliki. Pun demikian jika wajib pajak tidak ikut Amnesti Pajak dan belum melaporkan saldo rekening dengan benar dalam SPT Tahunan masih dapat melakukan pembetulan. UU KUP mengatur bahwa sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat melaporkan dan membetulkan SPT Tahunan sesuai dengan tahun diperoleh saldo rekening tersebut. Jika setelah melaporkan saldo rekening dalam SPT Tahunan terdapat ketidaksesuaian dengan penghasilan yang telah dilaporkan yang mengakibatkan terdapat pajak yang masih harus dibayar tentu pajak tersebut harus dibayar ditambah sanksi administrasi 2% perbulan. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja