Untung Besar Usaha Sarang Burung Walet, Kenali Kewajiban Perpajakan

Oleh: Eka Ardi Handoko, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Indonesia merupakan ‘surga’ bagi burung walet bermukim. Tak heran, banyak orang melirik peluang usaha menjanjikan ini untuk mendulang untung besar.
Sarang Burung Walet (SBW) Indonesia sudah diekspor ke berbagai negara, seperti China, Hong Kong, Vietnam, Kanada, sampai terbang ke Amerika Serikat.
Berdasarkan data laman bps.go.id yang di akses tanggal 14 September 2022, ekspor sarang burung menurut negara tujuan utama 2012 hasil industri SBW Indonesia di pasar internasional, terus meningkat dari tahun ke tahun. Urutan tertinggi ditempati oleh negara Hongkong, Tiongkok, Singapura, Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pertumbuhan nilai ekspor pada tahun 2021 sebesar US$517,02 juta. Sementara di masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020, nilainya bahkan meningkat sebesar 4,45% menjadi US$540,36 juta.
Berdasarkan berita di laman Korankaltara tanggal 14 September 2022 harga sarang burung wallet harga Rp10 juta per kg yang sebelumnya dapat mencapai Rp14 juta per kg untuk sarang yang berbentuk mangkuk sedangkan berbentuk pecahan atau mangkuk tidak utuh dihargai Rp8 juta per kg-nya.
Dengan penghasilan sebesar itu, usaha SBW wajib dikenakan pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan SBW. Dasar hukum pengenaannya tertulis pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pajak Pemerintah Daerah
Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 dijelaskan bahwa objek pajak SBW adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet, baik yang memiliki izin atau tidak. Sedangkan subjek dan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan SBW.
Ada dua objek yang dikecualikan, yaitu yang pertama, pengambilan SBW yang sudah dikenakan PNPB atau Penerimaan Negara Bukan pajak, sehingga tidak termasuk dalam pajak SBW. Yang kedua adalah kegiatan pengambilan maupun usaha sarang burung walet yang sudah ditetapkan oleh Peraturan Daerah atau Perda.
Untuk tarifnya sudah diatur dalam Pasal 79, besaran maksimal pajak yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 10%, yang ditetapkan oleh masing masing daerah yang memiliki kewenangan. Masing-masing daerah bebas menentukan besaran tarif pajak SBW yang akan dikenakan kepada pribadi atau badan yang melakukan pengambilan maupun usaha SBW, namun besarannya tidak boleh lebih dari ketentuan UU Nomor 1 tahun 2022 tersebut.
Penghitungan pajak SBW juga sudah diatur dalam Pasal 78 yang di dalamnya mengatur nilai jual SBW, yang didapatkan dari perkalian antara harga pasar SBW secara umum di suatu daerah dengan jumlah volume yang dihasilkan.
Pada Pasal 80 dijelaskan bahwa jika besaran pokok pajak SBW yang terutang dihitung dengan mengalikan dasar pengenaan pajak dengan besaran tarif pajak SBW.
Pajak Pemerintah Pusat
Beberapa jenis pajak yang dikenakan kepada usaha pengambilan atau pengusahaan SBW antara lain PPN, PPh, dan PPh Final.
PPN dikenakan karena SBW sudah tidak termasuk ke dalam Barang Kena Pajak (BKP) yang dibebaskan pengenaan PPN-nya. Dengan kata lain, SBW merupakan BKP yang harus dikenakan PPN atas setiap penyerahannya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karenanya, Wajib Pajak SBW, baik orang pribadi maupun badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan SBW, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
Pungutan PPh dikenakan kepada usaha SBW di antaranya PPh Pasal 21/26 yang berhubungan dengan pekerjaan/jasa dan kegiatan yang diterima oleh orang pribadi.
PPh Pasal 23 berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta, royalti, hadiah/ penghargaan, dan imbalan sehubungan dengan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir sesuai ketentuan yang tertuang dalam PMK Nomor 34 tahun 2017.
PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan serta pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan rumah walet.
Pengusaha SBW juga dikenakan PPh Final dengan tarif 0,5% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu dengan syarat memiliki omzet yang tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dan berlaku untuk UMKM.
Tarif ini merupakan pilihan bagi para UMKM yang memenuhi persyaratan untuk menerapkan tarif pajak yang lebih rendah daripada tarif dalam UU PPh. Bagi pengusaha SBW yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar selama satu bulan, wajib mendaftarkan diri menjadi PKP, memungut dan melaporkan PPN serta membuat faktur pajak atas setiap penyerahan SBW.
Perhitungan Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari besarnya penghasilan bruto selama setahun dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, sesuai ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Namun demikian, dengan nilai ekspor yang begitu besar, jenis pajak yang dikenakan kepada usaha SBW, dalam praktiknya kontribusi bagi penerimaan pajak belum signifikan. Hal ini disebabkan selain tidak semua daerah memiliki potensi besar terkait pemungutan pajak SBW, terdapat pro dan kontra dalam pemungutannya, terutama terkait prinsip keadilan, bagi pengusaha SBW.
Terdapat perbedaan perlakuan perpajakan di antara wajib pajak meskipun sama-sama melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan SBW. Pengusaha SBW yang membangun rumah walet (habitat buatan) dikenakan pajak daerah dan pajak pusat (PPN dan PPh) yang harus ditanggung oleh wajib pajak sendiri dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain atau lawan transaksi.
Berdasarkan Pasal 16C UU PPN dan PMK Nomor 163/PMK.03/2012, pengusaha SBW yang membangun rumah walet sendiri dengan hasil dari rumah walet tersebut digunakan sendiri atau pihak lain, dapat dikenakan PPN selama memenuhi kriteria. Rincian kriterianya itu antara lain bangunan rumah walet tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dan menggunakan kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis dan/atau baja sebagai konstruksi utama, diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dan memiliki luas keseluruhan paling sedikit 200 meter persegi.
Besarnya adalah 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan walet, tidak termasuk harga perolehan tanah dan dihitung sejak mulai dibangun hingga rumah walet tersebut selesai.
Dari sisi pemungutannya, pajak SBW merupakan salah satu objek paling paling sulit dipungut pajaknya oleh pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan tingkat kepatuhan para pelaku usaha SBW rendah dan berupaya untuk menghindari pembayaran pajak dengan alasan merugi serta dikenakan pajak berganda. Pada saat diminta memenuhi kewajiban membayar pajak daerah, mereka berkilah telah membayar PPh. Demikian pula sebaliknya, ketika diimbau membayar PPh, mereka keberatan karena merasa sudah membayar Pajak Daerah.
Oleh karena itu, wajib pajak harus menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan ketentuan akuntansi maupun pembukuan yang lazim, untuk mempermudah pengelolaan usaha, serta memudahkan petugas pajak melakukan pengawasan. Selain itu, diperlukan perbaikan sektor tata niaga SBW dalam upaya mengoptimalkan penerimaan negara dan daerah.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap institusi tempat penulis bekerja.
- 4677 views