Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik dari 10 persen menjadi 11 persen mulai tanggal 1 April 2022. Kenaikan ini merupakan amanat pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Penyuluh Pajak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pangkalan Bun Muhammad Widodo Ma’ruf menyampaiakan bahwa kenaikan PPN ini berdasarkan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam acara Dialog Interaktif Pajak melalui siniar KPP Pangkalan Bun di Kabupaten Kotawaringin (Rabu (30/3).

“Sementara dalam UU HPP mengatur kenaikan tarif menjadi 11% per 1 April 2022, kemudian ada juga kenaikan tarif menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025,” ujar Widodo.

Perubahan tarif PPN ini adalah kelanjutan dari upaya reformasi perpajakan dan konsolidasi fiskal untuk mendukung penerimaan pajak yang lebih optimal. Dapat juga menguatkan fondasi perpajakan seraya menambah daya dorong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengingat, kemampuan negara meningkat dalam menyediakan bantalan sosial.

 “Lebih jauh lagi, terdapat beberapa urgensi dilaksanakannya reformasi perpajakan, yaitu untuk menciptakan basis pajak yang kuat dan merata, APBN yang sehat dan berkelanjutan, serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” jelas Widodo.

Sebagai bagian dari reformasi perpajakan, penyesuaian tarif PPN juga dibarengi dengan:

  1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi atas penghasilan sampai dengan Rp60 juta dari 15 persen menjadi 5 persen.
  2. Pembebasan pajak untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp500 juta;
  3. Fasilitas PPN final dengan besaran tertentu yang lebih kecil, yaitu 1%, 2% atau 3%;
  4. Layanan restitusi PPN dipercepat sampai dengan Rp 5 miliar tetap diberikan.

Selain kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen, terdapat juga beberapa barang dan jasa tertentu yang diberikan fasilitas bebas PPN meliputi:

  1. Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging,
  2. Telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi;
  3. Jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja;
  4. Vaksin, buku pelajaran dan kitab suci;
  5. Air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap);
  6. Listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA);
  7. Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
  8. Jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional;
  9. Mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak;
  10. Minyak bumi, gas bumi (gas melalui pipa, Liquefied Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG)) dan panas bumi;
  11. Emas batangan dan emas granula;
  12. Senjata/alutsista dan alat foto udara

“Pajak itu harus adil, dengan melaksanakan distribusi kekayaan dari masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih untuk bayar pajak dan disalurkan oleh pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan lewat subsidi dan program-program untuk masyarakat,” imbuhnya. 

Banyak insentif dan program-program yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti subsidi untuk bahan bakar, Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), vaksin Covid-19, Program Keluarga Harapan, dan Kartu Indonesia Pintar.

Widodo juga menekankan bahwa kenaikan PPN bukan untuk makin menyusahkan masyarakat. Hal ini bertujan untuk membangun masa depan yang akan dinikmati oleh masyarakat juga.