Oleh: Putu Dian Pusparini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Siapa yang tak asing dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)? PPnBM adalah pajak tambahan selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan atas barang-barang yang tergolong mewah. PPnBM tidak dapat dikreditkan layaknya PPN.

Mengapa PPnBM diciptakan? Fungsi pengenaan PPnBM adalah untuk mengurangi regresivitas suatu barang. Seperti yang kita ketahui, PPN dikenakan atas barang atau jasa yang bukan negative list sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

PPN bersifat objektif dalam artian tidak peduli siapa pembeli atau pengguna barang dan/atau jasa tersebut, tidak memandang kaya miskinnya si pembeli yang penting ia membeli barang dan/atau jasa tersebut maka akan dikenakan PPN sebesar 10%.

Namun, dengan adanya ketidakpedulian siapa yang membeli barang tersebut, semua barang dan/atau jasa yang dikenakan PPN bersifat sama saja. Karena pada akhirnya si pembeli akan dikenakan 10% atas barang dan/atau jasa yang ia beli atau gunakan.

Hal ini membuat rakyat menengah ke bawah merasa tidak diperlakukan adil karena barang-barang mewah yang hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan elite memiliki PPN yang sama yaitu 10%. Namun, karakteristik PPN adalah memiliki tarif tunggal serta merupakan pajak objektif.

Menanggulangi hal tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat suatu pajak tambahan yang dikenakan atas barang-barang mewah. Tujuannya adalah agar mengurangi kecemburuan sosial antara pengenaan pajak atas pembelian dan/atau penggunaan barang dan/atau jasa oleh rakyat menengah ke bawah dengan rakyat menengah ke atas.

Pajak tersebut adalah PPnBM. Selain itu juga pemerintah berusaha melindungi produsen dalam negeri dari serbuan produk impor mewah, agar pasar domestik tidak kalah saing.

PPnBM Gratis

PPnBM dikenakan atas impor Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah serta penyerahan BKP mewah kepada konsumen. Tarif PPnBM mulai dari 10% sampai 200%, berbeda dengan PPN yang memiliki tarif tunggal 10%. Barang-barang mewah tersebut dibagi menjadi dua yaitu kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor.

Kabar gembira bagi konsumen mobil baru, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-120/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021. PMK tersebut menjelaskan bahwa PPnBM atas kendaraan bermotor yang semula diberikan untuk masa pajak Maret s.d. Agustus 2021 diperpanjang hingga Desember 2021.

Diskon pajak ini menggunakan skema PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP). Rincian diskonnya adalah sebagaimana berikut :

  • PPnBM DTP 100% untuk segmen kendaraan bermotor penumpang dengan kapasitas mesin sampai dengan 1.500 cc.
  • PPnBM DTP 50% untuk kendaraan bermotor penumpang 4x2 dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
  • PPnBM DTP 25% untuk kendaraan bermotor penumpang 4x4 dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.

Perpanjangan diskon pajak ini bertujuan untuk terus menstimulasi konsumsi masyarakat kelas menengah agar dapat berpartisipasi dalam program pemulihan ekonomi nasional.

Pajak Karbon

Salah satu permasalahan yang dialami oleh bumi kita adalah perubahan iklim seperti pemanasan global. Indonesia sebagai salah satu kontributor emisi karbon terbesar sudah harus hati-hati mencari solusi untuk menguranginya.

Dalam rangka memperluas basis pemajakan dan mengurangi emisi karbon, salah satu usulan materi dalam rancangan Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) adalah pajak karbon. Apalagi ditambah pernyataan Menteri Keuangan Republik Indonesia bahwa Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas karbon sebanyak 26% tahun ini dan meningkat menjadi 29% di tahun 2030. Tentunya pajak karbon akan semakin digadang-gadang.

Basis pajak ini direncanakan akan dikenakan untuk orang pribadi dan/atau badan yang melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon dan/atau membeli barang yang mengandung karbon. Usulan tarif pajak karbon yang sedang dibahas saat ini adalah Rp75 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pajak Karbon vs PPnBM Gratis

Dari dua subbagian di atas, bisa kita lihat bahwa antar kemunculan pajak karbon dengan diperpanjangnya PPnBM DTP 100% untuk mobil baru merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. Yang satu ingin mengurangi aktivitas yang menghasilkan karbon, sedangkan yang satunya malah menambah aktivitas penghasil gas karbon.

Hal ini harus ditelaah lebih lanjut, misalnya dari pengenaan pajak karbon. Pajak karbon diisukan dikenakan kepada orang pribadi dan/atau badan yang melakukan kegiatan yang menghasilkan karbon. Berarti kemungkinan salah satunya adalah orang yang mengendarai kendaraan bermotor yang menghasilkan gas emisi karbon (bukan motor listrik).

Namun, kalau orang membeli sepeda motor dan dikenakan pajak karbon, ini bisa saja menjadi pengenaan pajak berganda karena sepeda motor sudah dikenakan pajak daerah yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang diatur oleh masing-masing daerah.

Memang kalau dipikir-pikir, dua pajak ini punya dua sisinya masing-masing. PPnBM DTP akan membantu menstimulasi perekonomian dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional namun memang malah terkesan mendukung pertambahan emisi karbon.

Di sisi lain, pajak karbon dapat mengurangi produksi emisi karbon, tetapi untuk basis pemajakannya harus ditelaah lebih lanjut agar tidak tumpang tindih dengan pajak yang telah ada. Karena penghasil gas karbon itu tidak hanya kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin dan sejenisnya namun juga pabrik, tambang batu bara, dan lainnya.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.