Ini Lima Alasan Harus Taat Bayar Pajak

Oleh: Mochammad Luthfan Nur Rafif Falah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Mengeluarkan pendapat di negara ini sudah dijamin undang-undang. Berpendapat itu pun bergantung pada persepsi Anda. Menurut Philip Kotler dalam bukunya yang berjudul Manajemen Pemasaran, persepsi adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur, dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Oleh karena itu, tulisan ini akan merubah persepsi Anda melalui lima alasan mengapa kita harus patuh membayar pajak.
Pertama, sebanyak 83,5% pendapatan negara Indonesia bersumber dari penerimaan pajak. Dilansir dari data APBN tahun 2020, pajak memberikan sumbangsih terbesar bagi penerimaan negara. Tidak mengejutkan apabila pajak menjadi urutan pertama dalam hal ini, mengingat dari tahun ke tahun, goresan APBN berkata hal yang sama “Pajak menjadi tulang punggung negara”. Tanpa adanya pajak, kita akan kehilangan delapan puluh persen penerimaan negara.
Pada tahun 2020, Indonesia mencatat pendapatan sebesar 2.233,2 triliun rupiah. Hal ini dapat diartikan bahwa pendapatan negara yang hampir mencapai 1.900 triliun rupiah ini bersumber dari pajak yang kita bayar. Angka yang terlihat besar bukan? Namun sayangnya, angka yang fantastis pada pendapatan pajak diperkirakan hanya bisa mencapai 8,57% dari PDB Indonesia pada tahun 2020.
Kedua, inti dari dasar negara kita yaitu gotong royong. Berorasi di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, Presiden pertama negara kita berujar lantang, “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!”
Membantu yang patut dibantu. Jika menurut undang-undang Anda dipandang layak untuk membayar pajak artinya Anda telah ikut mengisi kas negara guna membantu program pemerintah agar berjalan dengan baik. Toh hanya sepersekian persen yang digunakan pemerintah untuk menggaji pegawainya, selebihnya dibagikan lagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kita tidak merasakan langsung manfaat akan kita dapat dari membayar pajak, atau setidaknya itu yang mereka dan buku bicarakan. Kenyataannya? Silakan Anda keluar rumah dan lihat jalan depan rumah Anda. Selain itu, lampu penerangan jalan umum juga. Jika bukan dari kita, lalu dari siapa lagi?
Ketiga, this country needs your help. Dari dahulu hingga saat ini, jika kita bicara tentang postur anggaran, negara kita menggunakan skema anggaran defisit. Apa artinya? Pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Hal ini memaksa kita menutupi kekurangannya dengan berutang. Dari kalimat ini terbesit di pikiran kita, mengapa pemerintah melakukan hal ini jika saja pemerintah mau menggunakan apa yang ada dan tidak berutang?
Alasan pemerintah memilih untuk menggunakan skema anggaran defisit masih dapat diterima oleh teori ekonomi yaitu biaya kesempatan. Sedikit mengenai biaya kesempatan (opportunity cost), N. Gregory Mankiw mengatakan bahwa biaya peluang adalah segala sesuatu yang harus Anda korbankan untuk memperoleh sesuatu. Intinya, biaya ini timbul ketika kita tidak bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada pada saat sekarang.
Contoh sederhananya adalah saat Sinta di warung bakso dan mi ayam sekolah. Sinta hanya punya uang Rp15.000 jadi ia hanya bisa membeli satu makanan untuk makan siang, antara bakso atau mi ayam. Jika Sinta membeli bakso, biaya kesempatan akan timbul karena Sinta kehilangan kesempatannya untuk membeli mi ayam. Hal ini memang sederhana tapi sudah cukup untuk merefleksikan mengapa pemerintah memilih untuk berutang.
Pemerintah tidak mau menganggung biaya kesempatan. Jika dengan berutang pembuatan jalan, pasar, dan jembatan bisa terlaksana. Jika dengan “meminta” uang dari negara pendonor pembangunan bandara, pembangkit listrik, dan pelabuhan dapat lebih cepat terlaksana. Lantas, kenapa pemerintah tidak “meminta” saja? Kenapa kita harus menunggu uang tersedia dan mengorbankan kesempatan rakyat untuk mendapatkan fasilitas dan infrastruktur yang memadai lebih cepat?
Dengan berutang sekarang, investasi masa depan dapat terlaksana lebih cepat. Kemudian utang pemerintah ini akan berkurang jika kita bayar pajak sebagaimana aturan mengaturnya.
Keempat, dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam pasal tersebut tertera frasa kata diatur dengan undang-undang. Undang-undang, dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai fungsi legislasi DPR.
Mari kita renungkan sejenak apa itu yang disebut dengan demokrasi perwakilan. Pemilihan legislatif (pemilihan anggota DPR) setiap lima tahun sekali memberikan kita hak untuk memilih wakil dari kita untuk duduk di kursi pemerintahan. Mereka sebagai wakil rakyat bertugas membahas nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Artinya, secara tidak langsung kita sendiri telah memberikan mandat kepada orang yang kita percaya untuk menentukan nasib kita.
Kita patut bersyukur karena tidak “didikte” oleh satu orang atau bangsa lain. Kita “mendikte” diri kita sendiri. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita patuh pada aturan yang kita buat sendiri.
Jika keempat alasan di atas tidak membuka mata hati Anda untuk sadar membayar pajak, maka alasan kelima adalah anggaplah bahwa kita sedang membayar upeti ke pemerintah. Alasan terakhir ini mungkin sedikit aneh, tetapi begitulah yang terjadi sekarang. Dengan membayar upeti berarti kita telah membayar jasa negara kita yang telah melindungi kita dari ancaman luar.
Contoh kecil, para nelayan bisa tenang karena ikan hasil tangkapannya tidak berkurang karena penangkapan liar oleh nelayan negara tetangga. Bakamla (Badan Keamanan Laut Republik Indonesia), TNI-AL, dan mungkin saja petugas bea cukai telah mencegat nelayan asing itu. Petani bisa merasa aman dari ancaman turunnya harga karena kebijakan pembatasan impor oleh pemerintah. Kita bisa merasa aman saat di rumah karena ada polisi, serta program vaksinasi dan layanan rumah sakit untuk Covid-19 gratis dari pemerintah.
Semua contoh tersebut dananya bersumber dari APBN yang 80% lebih pemasukannya dari pajak yang secara gotong royong kita bayar. Yuk bayar yuk!
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 1436 views