Oleh: Ida Rosnida Laila, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Mengutip dari laman https://covid19.go.id/peta-sebaran, hingga 13 Juli 2021 diketahui bahwa terdapat 2.567.630 kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa besar biaya yang dibutuhkan pemerintah untuk menangani kondisi ini. Pemerintah daerah sudah sangat kewalahan menghadapinya.

Keadaan yang memburuk ini, menurut epidemiolog Universitas Gadjah Mada Bayu Satria Wiratama, tidak hanya disebabkan oleh varian baru saja melainkan ditambah perilaku masyarakat yang mulai abai dengan protokol kesehatan. 

Menurut Baker, SR dalam jurnalnya yang berjudul "Covid-Induced Economic Uncertainty" dituliskan bahwa pandemi Covid-19 telah menciptakan guncangan ekonomi sistemik yang signifikan, melampaui krisis keuangan global pada tahun 2007 sampai dengan 2008. Menanggapi kondisi ini, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk dapat memulihkan masyarakat dari keterpurukan di berbagai sektor terdampak, terutama sektor perekonomian.

Keterpurukan Ekonomi

Indonesia kembali mengalami lonjakan pasien Covid-19 dikarenakan masuknya varian baru virus Covid-19 yang dikombinasikan dengan semakin banyaknya masyarakat yang abai dengan protokol kesehatan. Pemerintah sekali lagi melakukan pembatasan gerak masyarakat. Jika dahulu menggunakan nomenklatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mulai tanggal 3 sampai 20 Juli 2021 pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Penetapan PPKM diharapkan dapat mengurangi atau memutus rantai penyebaran Covid-19. Namun, ada konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan pembatasan kegiatan tersebut. Konsekuensi sosial yang sangat dirasakan masyarakat adalah berhentinya aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja, terutama tenaga kerja sektor informal.

Terlebih lagi kinerja ekonomi akan ikut menurun dikarenakan konsumsi terganggu, investasi terhambat, ekspor-impor terganggu dan akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan di berbagai sektor. Dampak penurunan pada sektor riil juga menimbulkan gejolak pada sektor keuangan. Pada akhirnya, semua akan menimbulkan dampak sosial yang menimbulkan peningkatan jumlah masyarakat miskin.

Insentif Pajak

Dalam Government Financial Reporting in Times of the COVID-19 Pandemic yang dikeluarkan oleh The World Bank, dinyatakan bahwa guncangan ekonomi dari wabah virus corona memiliki dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya pada keuangan publik. Pemerintah menerapkan paket fiskal besar-besaran termasuk langkah-langkah anggaran dan non-anggaran untuk memerangi pandemi sementara penerimaan turun tajam.

Mengomunikasikan konsekuensi keuangan dari Covid-19 kepada semua pemangku kepentingan secara tepat waktu penting untuk menciptakan daya tahan dukungan luas. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia.

Guncangan ekonomi dan sosial yang timbul memicu pemerintah untuk kemudian mengeluarkan kebijakan dalam bentuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program PEN dirancang untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan melindungi masyarakat miskin dan rentan miskin serta mendukung dunia usaha agar tidak makin terpuruk.

Pemerintah telah mengalokasikan Rp677,2 triliun untuk biaya program ini. Besarnya alokasi biaya yang disediakan menandakan keseriusan pemerintah dalam membantu masyarakat kembali bangkit. Adapun salah satu langkah kebijakan penanganan dan pemulihan diarahkan pada sisi demand dengan menjaga konsumsi, mendorong investasi, dan mendukung ekspor-impor.

Secara nyata pemerintah membuat berbagai program percepatan pemulihan kondisi masyarakat mulai dari program perlindungan sosial, Bantuan Produktif Usaha Mikro (BUPM), program padat karya kementerian/lembaga, program insentif pajak, dan program vaksinasi secara bertahap.

Kelima program besar yang dirancang pemerintah berjalan bersama untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi masyarakat untuk bangkit pasca pandemi. Salah satu program yang dikeluarkan segera sejak terjadinya pandemi adalah program insentif pajak yang ditetapkan sejak akhir Maret 2020 melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona.

Peraturan tersebut terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021. Adapun insentif yang diberikan meliputi:

  1. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP),
  2. PPh Pasal 22 impor,
  3. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25,
  4. PPh Final UMKM,
  5. Pengembalian pendahuluan PPN.

Pemberian insentif diutamakan untuk membantu wajib pajak terdampak pandemi Covid-19 dan yang memiliki usaha terkait penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dari pandemi Covid-19. Berbagai upaya dilaksanakan untuk menyampaikan secara masif informasi tentang insentif pajak ini melalui berbagai media, baik media cetak, online, dan elektronik.

Berbagai edukasi pun dilakukan untuk menyampaikan materi-materi dalam PMK agar wajib pajak memahami hak dan kewajiban perpajakan mereka dalam kondisi pandemi. Tentunya, pemberian insentif ini menjadi secercah harapan bagi wajib pajak untuk dapat bertahan dan bangkit di kala pandemi.

Pemerintah mendukung penuh agar wajib pajak dapat tetap menjalankan usahanya. Sehingga kelak setelah pandemi berakhir, diharapkan para wajib pajak sudah dapat beroperasi secara normal dan kembali mendapat keuntungan. Diharapkan juga wajib pajak memiliki kemampuan dan kesadaran yang tinggi untuk berkontribusi dalam pembangunan melalui keterlibatan aktif dalam membayar pajak dan melaporkan usahanya secara jujur.

Hal ini sangat penting, karena pajak di Indonesia merupakan penopang utama Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), agar negara ini dapat membiayai keseharian masyarakatnya, membangun infrastruktur, menyediakan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, keamanan, agama, pariwisata, lingkungan hidup, dan perlindungan sosial.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja