Oleh: I Gede Suryantara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-21/PMK.010/2021 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Rumah Tapak dan Unit Hunian Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2021 pada 1 Maret 2021. PMK 21/2021 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong roda ekonomi salah satunya melalui sektor properti.

Properti menjadi kebutuhan hidup manusia sebagai tempat tinggal. Selain itu dalam perekonomian, properti merupakan salah satu roda penggerak ekonomi negara karena menyerap banyak tenaga kerja dan terhubung dengan banyak bidang usaha dan mencakup ratusan industri turunan.

Sebagaimana diketahui, pemungutan pajak mempunyai dua fungsi dalam ekonomi negara. Pertama, fungsi budgetair sebagai fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal function), yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara yang dilakukan dengan menggunakan sistem pemungutan berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Kedua, fungsi regulerend (mengatur) adalah fungsi pajak yang secara tidak langsung dapat mengatur dan menggerakkan perkembangan sarana perekonomian nasional yang produktif. Selama pandemi Covid-19, berbagai kebijakan perpajakan merupakan salah satu fungsi regulerend untuk menopang perekonomian nasional.

Sejak pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan berbagai macam insentif perpajakan untuk mendorong perekonomian nasional sebagai upaya mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Pemberian insentif perpajakan terhadap impor barang tertentu, UMKM, para karyawan, dan berbagai industri adalah salah satu upaya pemerintah mengambil kebijakan fiskal yang diharapkan dapat mencegah laju ekonomi menurun semakin dalam.

Mengutip berita di media daring, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi 2,07%. Ini merupakan capaian terburuk sejak 22 tahun terakhir atau krisis moneter 1998. Selama tiga kuartal berturut-turut di tahun 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang berarti masuk resesi.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan bahwa hal ini merupakan dampak pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Tidak dimungkiri juga dampak pandemi terlihat buruknya ke seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi terpukul karena konsumsi masyarakat yang selama ini memberikan kontribusi terbesar pada perekonomian anjlok tajam akibat pandemi COVID-19.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengembalikan tingkat konsumsi masyarakat  yang menjadi salah satu kunci untuk memulihkan ekonomi. Namun, menggenjot konsumsi di tengah pandemi tampaknya bukan perkara mudah. Sebagian masyarakat kehilangan penghasilan atau mengalami penurunan penghasilan akibat pandemi.

Sementara sebagian lainnya, terutama dari kelas menengah yang masih memiliki penghasilan, memilih jalur aman dengan menyimpan sebagian penghasilannya. Hal tersebut mendorong peningkatan simpanan masyarakat di perbankan. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan simpanan masyarakat pada 109 bank umum per Desember 2020.

Hal tersebut menunjukkan adanya kenaikan sebesar 10,86% (YoY) dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya menjadi Rp6.737 triliun atau tumbuh 0,53% (MoM) dari bulan sebelumnya. Adapun jumlah rekening simpanan pada Desember 2020 tumbuh 16,12% secara YoY menjadi 350.324.950 rekening dibandingkan Desember 2019. Apabila dibandingkan bulan sebelumnya, jumlah rekening perbankan naik 1,68% (MoM).

Pemerintah berupaya mendorong konsumsi masyarakat melalui berbagai insentif yang tertuang dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu yang diupayakan untuk bisa mendorong konsumsi adalah pemberian stimulus di sektor properti. Sektor properti menjadi salah satu bagian dari program PEN karena melekat di berbagai dimensi, tidak hanya dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi sosial, keuangan, dan fiskal.

Menurut data Real Estate Indonesia (REI), sektor ini terhubung dengan 13 bidang usaha dan memiliki cakupan ke 174 industri turunan, serta menaungi sekitar 20 juta tenaga kerja. Dari situ bisa terlihat bagaimana sektor properti memiliki peranan yang cukup besar untuk perekonomian nasional.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah dengan harga jual paling tinggi Rp5 miliar yang akan ditanggung oleh pemerintah. Kebijakan ini diklasifikasikan dalam dua skema. Pertama, insentif 100% PPN untuk harga jual rumah tapak dan rumah susun paling tinggi Rp2 miliar.

Kedua, insentif 50% PPN untuk harga jual rumah tapak dan rumah susun lebih dari Rp2 miliar hingga Rp5 miliar. Ketentuan tersebut tertuang dalam PMK 21/2021 dan berlaku mulai 1 Maret 2021 hingga 31 Agustus 2021.

Berdasarkan data dari BPS, sektor properti memberi rata-rata kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi sebesar 2,82% dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, lapangan usaha properti memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 2,83%. Lapangan usaha ini pun berhasil tumbuh 4,69% YoY atau lebih tinggi dari pertumbuhan pada tahun 2015 yang sebesar 4,11%.

Kemudian, pada 2017, lapangan usaha ini memberi kontribusi pada pertumbuhan sebesar 2,81% dengan catatan pertumbuhan sektor sebesar 3,6% YoY atau menurun dari pertumbuhan pada tahun 2016. Sementara pada 2018, properti memberi kontribusi sebesar 2,74% dengan pertumbuhan yang kembali merosot ke 3,48% YoY.

Baru pada 2019, sektor ini berhasil tumbuh meningkat hingga 5,76% YoY dengan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi 2,78%. Sayangnya, pertumbuhan tersebut harus terhenti dan bahkan pertumbuhan lapangan usaha properti amblas ke 2,32% YoY akibat pandemi Covid-19 yang melanda. Dengan pertumbuhan tersebut, kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 2,94%.

Tujuan pemerintah memberikan insentif tersebut untuk meningkatkan daya beli masyarakat ekonomi kelas menengah. Sebab, selama pandemi tahun lalu daya beli cenderung tertahan. Melalui PMK 21/2021, diharapkan beleid ini mampu mendukung tingkat kepercayaan dari konsumen dan juga kenaikan konsumsi. Namun, untuk memastikan insentif tepat sasaran dan disesuaikan dengan upaya pemulihan ekonomi, ada empat kondisi yang harus dipenuhi.

Pertama, harga jual memiliki harga maksimal Rp5 miliar. Kedua, diserahkan secara fisik pada periode pemberian insentif. Ketiga, merupakan rumah baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni. Keempat, diberikan maksimal 1 unit rumah tapak atau hunian rumah susun untuk satu orang dan tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Kebijakan ini diharapkan mampu menyerap rumah-rumah yang sudah siap dibangun dan dijual sehingga stok rumah akan menurun, permintaan meningkat dan memacu adanya rumah baru lagi. Perkembangan selanjutnya adalah meningkatnya daya konsumsi masyarakat dan tentunya akan berdampak positif terhadap laju perekonomian negara mengingat sektor properti merupakan sektor usaha yang banyak berkaitan dengan berbagai bidang usaha lainnya.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.