Tepatkah Penerapan Pajak Produk Digital?

Oleh: Deni Hermawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Saat ini semakin banyak masyarakat lebih menggemari menonton konten digital berbasis daring ketimbang saluran TV. Beragamnya konten yang diberikan tanpa terikat jam tayang ditambah dengan iklan yang jauh lebih sedikit membuat masyarakat perlahan meninggalkan saluran TV. Terlebih untuk kaum milenial yang cenderung tak sabaran dan menginginkan tayangan yang sesuai dengan genre yang disukai.
Masyarakat sekarang disuguhkan dengan banyak pilihan untuk berlangganan penyedia konten daring, seperti Netflix misalnya. Perusahaan asal Amerika Serikat ini paling banyak memperoleh keuntungan selama masa pandemi ini. Dalam kondisi pandemi Covid-19, masyarakat terpaksa harus beraktivitas dari rumah. Mulai dari bekerja, sekolah, bahkan sekadar mencari hiburan untuk menemani masa karantina.
Tingginya keuntungan ini dapat dilihat dari jumlah pelanggan Netflix yang meningkat drastis. Untuk pelanggan dari Indonesia saja, tahun ini diproyeksikan menembus 900 ribu atau naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dengan banyaknya keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut, sudah sewajarnya pemerintah mengenakan pajak atas perusahaan yang dengan bebas menjual produknya di dalam negeri.
Dalam aspek pajak sendiri, perusahaan penyedia konten daring masuk ke dalam perusahaan yang menjual produk digital. Sedangkan sejak 1 Juli 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa pembelian produk digital dari luar negeri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Sementara pemungutan PPN dilakukan mulai Agustus 2020 oleh Pengusaha Perdagangan Melalui Sistem Elekronik atau selanjutnya disingkat PMSE.
Hal ini termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Aturan tersebut merupakan turunan dari Pasal 6 ayat (13a) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keungan untuk Penanganan Covid-19. Dalam perumusan aturan pemajakan PMSE ini, pemerintah perlu memperhatikan praktik terbaik dengan berkaca pada negara lain dan memastikan 3 asas dapat berjalan baik di Indonesia. Asas tersebut yaitu netralitas, keadilan, serta kemudahan dan efisiensi administrasi.
Pajak harus netral dan tidak boleh membedakan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penerapan tarif PPN untuk transaksi digital dan nondigital baik lintas negara maupun domestik adalah sama. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PMK-48/2020 yang menyebutkan jumlah PPN yang harus dipungut pemungut PPN PMSE adalah 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Aturan tarif ini sama dengan ketetapan tarif PPN pada umumnya yaitu 10%, seperti diatur Pasal 7 ayat (1) UU PPN No. 42 Tahun 2009.
Keadilan dalam pajak sangat penting. Pajak tidak boleh memberatkan sebagian wajib pajak, disisi lain pajak dirasa ringan oleh wajib pajak tertentu. Oleh karena itu, pengenaan pajak harus berdasarkan kemampuan wajib pajak itu sendiri.
Penentuan jumlah ambang pembebasan (threshold) registrasi PPN di Indonesia sebesar Rp600 juta dalam setahun atau setara dengan Rp50 juta dalam sebulan dan/atau bisa dilihat dari jumlah pengakses melebihi 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan. Hal tersebut sebagaimana termuat dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 sebagai panduan teknis penerapan PPN PMSE dari luar negeri.
Angka tersebut dinilai wajar karena Direktorat Jenderal Pajak sudah melakukan penolokukuran sebelum menetapkan kriteria nilai transaksi dan jumlah trafik pemungut PPN PMSE. Berkaca dari negara lain seperti Australia misalnya, jumlah ambang pembebasan PPN sebesar AU$75.000 atau sekitar Rp750 juta. Terlebih ambang batas nilai transaksi sebesar Rp600 juta per tahun ini setara dengan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebelum berlakunya PMK No. 197/2013 yang meningkatkan ambang batas PKP dari Rp600 juta menjadi Rp4,8 miliar.
Penerapan batas sebesar Rp600 juta ini pun mempetimbangkan asas keadilan karena pelaku usaha PMSE memiliki daya jangkau pasar yang lebih luas dibandingkan pelaku usaha konvensional yang terikat dengan kehadiran fisik.
Faktor Penting Lainnya
Mengutip dari Ottawa Taxation Framework Conditions, sistem pajak yang efisien diartikan dengan biaya kepatuhan pembayar pajak dan biaya administrasi otoritas pajak harus diminimalisasi sejauh mungkin. Oleh karena itu, kemudahan dan efisiensi administrasi merupakan faktor yang penting diterapkan.
Pasal 9 ayat (1) PMK-48/PMK.03/2020 menyebutkan bahwa pemungut PPN harus melaporkan PPN yang dipungut secara triwulanan untuk periode 3 masa pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir. Mengingat PPN PMSE ini merupakan kebijakan baru dan baru kali ini pemungutnya melibatkan wajib pajak luar negeri, maka ketentuan pelaporan secara triwulan dinilai wajar dan memenuhi asas kemudahan administrasi.
Pasal 7 PMK 48/2020 menyebutkan bahwa pemungut PPN membuat bukti pungut PPN atas PPN yang dipungut. Memperhatikan ketentuan ini, verifikasi kepatuhan PPN masih cenderung lemah karena hanya berdasarkan pelaporan pemungut PPN PMSE saja. Berbeda dengan metode substraksi pajak keluaran dan pajak masukan yang dapat menjadi salah satu kontrol kepatuhan wajib pajak dalam negeri.
PPN PMSE ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemeriksa pajak untuk membuktikan wajib pajak luar negeri mematuhi seluruh kewajiban pemungutan PPN PMSE. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu mengembangkan kerja sama yang kuat untuk membangun basis data PMSE dengan pemungut di luar negeri ataupun pihak ketiga yang secara langsung memfasilitasi pemanfaatan barang/jasa kena pajak tidak berwujud melalui PMSE.
Dengan ditetapkannya PMK 48/2020, tindakan DJP sudah tepat karena dapat memberikan kepastian hukum bagi pemungut PPN yang berimbas bagi optimalisasi penerimaan pajak. Tentunya dengan kebijakan baru ini, DJP dapat mengembangkan potensi penerimaan baru dan menciptakan keadilan bagi pengusaha non PMSE yang terlebih dulu sudah ditetapkan kewajiban perpajakannya.
Harapannya, kelemahan kebijakan PMSE saat ini dapat terus ditingkat dengan menambah ketentuan baru seperti menambah lingkup pegusaha PMSE dalam negeri, baik perorangan atau badan dan menambah objek pajak PMSE yaitu Barang Kena Pajak (BKP) berwujud agar manfaat yang dihasilkan untuk penerimaan negara di sektor pajak lebih maksimal.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 461 views