Oleh: Rifky Bagas, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam perputaran informasi yang cepat dan melimpah saat ini terkesan menjadi lumrah jika dalam menentukan sebuah langkah diperlukan penelitian yang komprehensif dan membutuhkan waktu yang lama. Adanya keterbatasan penelitian yang dilakukan secara manual sedikit banyak menimbulkan dampak keterlambatan respons yang seharusnya dapat cepat dilakukan. Sepertinya sangat disayangkan juga, jika saat ini manusia kurang bisa memaksimalkan kemampuan teknologi untuk dapat membantu mempercepat penelitian sehingga keputusan dapat segera diambil.

Dukungan teknologi yang dapat berperan besar dalam penelitian, salah satunya ialah pemanfaatan AI (Artificial intelligence) dalam memindai sebuah pola gerakan atau kebiasaan yang dapat digunakan untuk memicu sebuah tindakan yang dilakukan. Belajar banyak dari film seri Start-Up, ternyata pemanfaatan AI sangatlah penting, salah satunya di dalam membantu mengonfirmasi tulisan tangan dan tanda tangan seseorang untuk keperluan organisasi, seperti perbankan, kejaksaan, lembaga forensik, bahkan perpajakan nasional.

Lebih lanjut, hasil penelitian surat di Amerika Serikat menjelaskan bahwa tulisan tangan seseorang yang kembar identik sekalipun adalah berbeda. Tulisan tangan sendiri dapat diibaratkan sidik jari otak sehingga mempunyai keunikannya masing-masing. Namun, walaupun tulisan tangan dan tanda tangan tiap orang itu unik, tindakan pemalsuan tetap saja terjadi. Sekitar 8% kasus pemalsuan tulisan tangan dan tanda tangan ditemukan dan hanya sedikit ahli yang mampu menganalisisnya.

Teknologi AI tersebut dapat menganalisis secara otomatis dengan memasukkan banyak data atas tulisan tangan asli dan palsu dari sumber data dari perbankan. Hasilnya, pola pemalsuan dapat diketahui sehingga dapat membantu memaksimalkan kinerja para ahli dalam melakukan analisis tulisan tangan dan tangan tangan.

Sangat menarik, jika pemanfaatan AI ini dapat membantu juga dalam hal memberikan pelayanan yang memuaskan dalam perpajakan di Indonesia. Salah satu keluhan yang kerap diutarakan wajib pajak ialah mengenai kurang pahamnya fungsi maupun penjelasan dalam kolom-kolom formulir perpajakan. Banyak wajib pajak yang masih melihat formulir perpajakan di Indonesia sangatlah rumit.

Kasus lain yang sering timbul bahkan terjadi di saat tahun pajak sebelumnya mereka sudah berhasil melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, namun karena ada perubahan dalam data rugi laba maupun laporan asetnya, kemudian mereka menjadi bingung kembali mengisi SPT untuk tahun pajak selanjutnya.

Permasalahan yang lebih simpel juga dapat ditemui yaitu tidak dilengkapinya data dalam kolom harta ataupun kolom penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat final. Kebingungan lain yang sering ditemui mungkin juga dalam hal memahami pengertian dari penyesuaian fiskal positif maupun negatif, sehingga mengakibatkan penyusunan pelaporan SPT menjadi semakin lama.

Di sisi lain, akibat dari pengabaian yang sudah menjadi sentimen ini, bisa menjadi awal ketidakpatuhan wajib pajak hingga dapat dimungkinkan untuk lepas dari pemeriksaan pajak. Saat wajib pajak sudah pernah masuk dalam ranah pemeriksaan pajak maka akan ada anggapan riwayat perpajakannya menjadi tidak baik lagi.

Dengan adanya keragu-raguan tersebut, wajib pajak terkadang memaksakan diri untuk menggunakan jasa konsultan sehingga mereka merasa terbebani karena timbul penambahan biaya. Padahal hakikatnya, wajib pajak menginginkan adanya peran fiskus dalam memberikan konsultasi manual mengenai pelaporan SPT. Kembali lagi karena keterbatasan yang ada, DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tidak mungkin bisa memenuhi ekspektasi seluruh wajib pajak.

Kelompok seperti triers tersebut, yaitu wajib pajak yang memiliki kecenderungan untuk patuh namun gagal sebagai akibat atas kendala dan permasalahan yang dihadapi terkait pemahaman mengenai kewajiban perpajakannya, patut menjadi perhatian. Pemanfaatan AI dapat diterapkan dalam memberikan notifikasi otomatis untuk setiap ketidaksesuaian akibat kesalahan memasukkan kolom pengisian.

Teknologi AI dapat dirancang dalam mempelajari pola-pola kesesuaian dalam pelaporan SPT yang tidak disengaja ditambah dengan pola-pola penghindaran pajak yang benar-benar mempunyai riwayat perpajakan ataupun niatan buruk. Mudahnya, teknologi AI akan membaca dan mengingatkan kepada wajib pajak yang untuk mengecek lagi SPT yang sudah dilaporkan berdasarkan pola-pola ketidaksesuaian yang terjadi. Seperti halnya Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan yang masuk dalam kategori UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), sistem akan memberikan notifikasi jika wajib pajak lupa melengkapi kolom nilai perdaran bruto per bulan dibandingkan dengan nilai penyetoran pajaknya.

Contoh lainnya lagi, dapat berupa, notifikasi jika antara nilai yang tertera pada dokumen digital yang rugi laba maupun neraca yang dilampirkan, dibandingkan dengan elemen keuangan berbeda, sistem dapat mengirimkan pengingat otomatis sebagai bagian konfirmasi data. Pemanfaatan AI yang lain yaitu sistem dapat memberikan notifikasi langsung jika diketahui ada transaksi penyetoran pajak yang dimungkinkan salah masa, jenis pajak, kode setor dibandingkan dengan riwayat maupun KLU (Kode Lapangan Usaha) dari wajib pajak.

Fasilitas ini pastinya dapat diberikan kepada wajib pajak jika SPT yang dilaporkan baiknya tidak sampai mendekati batas pelaporan SPT Masa maupun Tahunan. Hal ini perlu ditekankan kembali lagi untuk membedakan wajib pajak mana yang benar-benar lupa atau tidak ada kesengajaan sehingga dapat menimbulkan ketidakpatuhan dengan wajib pajak mana yang memang mempunyai niatan tidak baik dari awal.

Pemanfaatan AI yang seperti ini pastinya memerlukan waktu untuk pengembangannya, namun bukan berarti mustahil. Prasyarat yang pasti menjadi kebutuhan ialah penyediaan sistem dan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memadai dan mampu merealisasikan teknologi ini. Pengoptimalan dan pemberian ruang meningkatkan kapabilitas diri mungkin perlu khususnya pada direktorat-direktorat teknis yang dalam proses bisnisnya menyentuh langsung data maupun teknologi. Bayangkan saja, saat teknologi ini sudah terbangun maka setidaknya langkah DJP menjadi institusi perpajakan yang kredibel semakin diakui dan tercapai dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakannya.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap institusi tempat penulis bekerja.