Oleh: Didik Yandiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kekalahan Jepang pada Perang Asia Timur Raya pada tahun 1945 menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam rangkaian panjang perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam upaya merebut hati masyarakat, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sehingga pada 1 Maret 1945, Jenderal Dai Nippon yang membawahi Jawa, Kumakichi Harada memberi lampu hijau pendirian Dokuritsu Juunbi Cosakai atau yang dikenal sebagai Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

BPUPKI diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat. Pembahasan mengenai tema dasar negara dilaksanakan pada sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945. Dalam pidato pembukaannya di hadapan para anggota siding yang hadir di Gedung Chuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila), dr. Radjiman antara lain mengajukan pertanyaan kepada para anggota, "Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?"

 

Pancasila Sebagai Pilar Ideologis Indonesia

Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pancasila” terdiri dari dua kata berbahasa Sansekerta "pañca" berarti lima dan "śīla" berarti prinsip atau asas. Setelah Mohammad Yamin dan Soepomo mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara pada sidang BPUPKI sebelumnya, melalui pidato pamungkas berjudul “Lahirnya Pancasila” Ir. Soekarno mengemukakan pemikirannya mengenai dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945.

Seiring waktu, dilandasi upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila agar dapat mewujud dalam pengamalan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Ketetapan MPR Nomor TAP-MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Tujuan pembentukan Ketetapan MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. Sejumlah 36 (tiga puluh enam) butir Pancasila akhirnya dikembangkan menjadi 45 (empat puluh lima) butir oleh Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

Setelah berjarak 70 tahun dari kelahirannya, melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni dan ditetapkan sebagai tanggal merah atau hari libur nasional. Tahun ini, Tema Hari Lahir Pancasila adalah “Pancasila dalam Tindakan, Bersatu untuk Indonesia Tangguh”. Sebagaimana diketahui, dalam rangka melanjutkan spirit Pancasila yang dulunya diemban oleh BP7 maupun Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.

 

Taat Pajak Sebagai Wujud Pengamalan Pancasila

Prinsip pemungutan pajak harus diatur dan berdasarkan undang-undang telah lama dikumandangkan. Sebagai contoh, dalam konteks pemajakan koloni Britania di Amerika Serikat di era pra Revolusi Amerika, pada 1765, politisi Boston James Otis mengemukakan pendapatnya mengenai pemajakan sebagaimana dikutip oleh Tibor R. Machan (2008), yaitu pajak yang dikenakan di luar dari yang diatur atau tidak berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk kesewenangan (taxation without representation is tyranny). 

Oleh karenanya, pelaksanaan pemungutan pajak di seluruh negara termasuk Indonesia juga berdasarkan undang-undang. Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Peran pajak dalam percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN Tahun Anggaran 2021 pada tanggal 26 Oktober 2020. Pendapatan negara dalam APBN tahun anggaran 2021 direncanakan sebesar Rp1.743,6 triliun, yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp1.444,5 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp298,2 triliun.

Di tengah perlambatan perekonomian dunia dan risiko ketidakpastian yang tinggi akibat pandemi Covid-19, Pemerintah mengambil langkah kebijakan luar biasa untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 sekaligus memanfaatkan momentum tersebut untuk perubahan lebih baik.

Dalam ringkasan APBN 2021, kebijakan countercyclical masih diperlukan untuk akselerasi pemulihan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian Covid-19. Akselerasi tersebut ditinjau dari aspek pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara.

Dari aspek pendapatan negara, APBN memiliki tiga langkah dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional, yaitu melalui pemberian insentif pajak secara selektif dan terukur, melakukan relaksasi prosedur untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, serta meningkatkan pelayanan PNBP kepada masyarakat. Dari aspek belanja negara, pemerintah berkomitmen melanjutkan penanganan kesehatan akibat Covid-19, utamanya peningkatan supply side dan antisipasi pengadaan vaksin serta melanjutkan program perlindungan sosial untuk akselerasi pemulihan (a.l. Kartu Sembako, PKH, Pra kerja), dukungan program/kegiatan pada sektor terdampak (a.l. pangan dan pariwisata), serta perluasan akses modal UMKM melalui subsidi bunga KUR.

Sementara itu, dari sisi pembiayaan negara APBN dirancang untuk mendukung restrukturisasi BUMN, BLU, Sovereign Wealth Fund (SWF), meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM, UMi, dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), serta melanjutkan dukungan terhadap pendidikan tinggi, penelitian, dan kebudayaan.

Melalui Siaran Pers APBN KiTA Mei 2021 bertajuk “Jaga Optimisme, Perkuat Implementasi APBN dan Dorong Sinergi Kebijakan Ekonomi Mendukung Akselerasi PEN”, terungkap fakta kinerja penerimaan pajak sampai dengan akhir April 2021 mencapai Rp374,9 triliun atau 30,5 persen target APBN 2021, tumbuh negatif 0,5 persen (yoy).

Meski masih terkontraksi, pertumbuhan kumulatif sampai dengan April 2021 lebih baik dibandingkan Januari-Maret, didorong oleh pertumbuhan positif pada bulan April baik secara neto maupun bruto seiring dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Badan. Realisasi penyampaian SPT untuk tahun 2021 mengalami peningkatan sebanyak 1,38 juta SPT dari seluruh jenis Wajib Pajak dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Penerimaan neto mayoritas jenis pajak membaik, bahkan PPh Badan dan PPN Impor mampu tumbuh double digit pada bulan April seiring dengan pemanfaatan insentif fiskal pembebasan PPh 22 Impor dan Pengurangan Angsuran PPh 25 tahun sebelumnya, serta aktivitas impor yang masih tumbuh. Sampai dengan 17 Mei 2021, pemberian insentif fiskal telah berdampak positif bagi para wajib pajak yang memanfaatkannya, antara lain melalui insentif dunia usaha, insentif PPN DTP Rumah, dan Insentif PPnBM DTP Kendaraan Bermotor.

Sinyal dan momentum positif tersebut dapat terwujud karena semangat gotong-royong seluruh rakyat Indonesia. Pancasila telah melandasi semangat warga negara di dalam menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang dan adil. Spirit Pancasila yang mewujud dalam tindakan nyata dapat diwujudkan melalui ketaatan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku. 

Jika semua warga negara sependapat, meski diadang beraneka tantangan, cita-cita negara untuk mewujudkan kehidupan masyarakat akan adil, makmur, aman, dan sejahtera dalam naungan demokrasi akan tetap terpelihara. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.