Selamat Datang Era Disrupsi Diri DJP!
Oleh: Edmalia Rohmani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Charles Darwin berkata, “Bukanlah spesies terkuat yang mampu bertahan, atau yang terpandai. Yang mampu bertahan adalah yang paling mampu beradaptasi untuk berubah.” Meskipun konteksnya dalam ilmu hayati, namun pernyataan itu juga relevan di bidang ekonomi.
Beberapa pakar bisnis menyebut saat ini adalah era disrupsi. Bahkan, setahun terakhir dunia dilanda tiga disrupsi sekaligus yaitu disrupsi digital, disrupsi milenial, dan disrupsi pandemi. Yuswohady dalam buku “Millennials Kill Everything” menyebut disrupsi digital mematikan pemain lama dengan cara menciptakan model bisnis yang sama sekali baru dan segar, yang menyebabkan model bisnis lama menjadi tidak relevan lagi.
Disrupsi milenial mematikan pemain lama melalui terbentuknya nilai-nilai, perilaku, dan preferensi (milenial) yang sama sekali baru, yang menyebabkan proposisi nilai lama menjadi tidak relevan. Wabah COVID-19 menyebabkan disrupsi pandemi karena terjadi perubahan perilaku konsumen dalam menghindari penularan wabah dan mengikuti kebijakan pemerintah.
Sudah banyak institusi yang tumbang atau dipaksa mengubah diri. Beberapa waktu lalu kita mendengar kabar salah satu perusahaan retail raksasa akan menutup seluruh gerainya di akhir Juli 2021. Kondisi ini sangat kontras dengan performa sebagian besar perusahaan retail berbasis platform yang makin melesat.
Selain tutupnya gerai-gerai toko retail, industri perbankan juga menghadapi tantangan. Tahun ini, salah satu bank di Indonesia menutup 96 kantor cabangnya. Situasi ini seperti mengafirmasi ramalan Bill Gates, “Suatu saat kita akan melihat bahwa perbankan itu penting, namun bank tidak lagi penting.” Gates tentu merujuk pada praktik bank konvensional yang saat ini telah tergeser seiring meroketnya teknologi finansial.
Beberapa pakar menganalisis penyebab perubahan ini akibat besarnya aset toko retail atau bank konvensional, berbanding lurus dengan biaya tinggi dalam mengelola asetnya. Sementara, mereka harus bersaing dengan perusahaan berbasis platform yang beraset “ringan” dan terus-menerus berinovasi mengikuti kebutuhan pasar.
Ya, berubah atau mati nampaknya menjadi slogan yang tepat saat ini. Bila ingin bertahan, maka institusi atau organisasi harus mempunyai ketangkasan dalam meremajakan diri atau dapat disebut juga proses disrupsi diri (self-disruption).
Christensen dalam buku “Disruption” (Rhenald Kasali) menyebutkan tiga langkah strategis dalam menghadapi disrupsi. Pertama, membaca sinyal perubahan; kedua, menghadapi medan pertempuran; ketiga, menentukan pilihan untuk menghadapi disrupsi: mencipta (create), membentuk kembali (reshape), atau mengurangi (reduce).
Mana yang Dipilih DJP?
Sinyal perubahan sejak sebelum pandemi melanda sebenarnya telah terbaca. Pada pertengahan 2018, pemerintah menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) UMKM yang mengubah lanskap basis pajak. Selain itu, pesatnya perkembangan ekonomi digital menambah tantangan yang ada. Berbagai fasilitas perpajakan ditawarkan untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).
Dalam menghadapi “pertempuran” itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang masih berada dalam proses Reformasi makin mengakselerasi perubahannya. Regulasi adalah aspek yang paling terdampak dan cepat sekali berubah.
Isu negatif pajak digital telah ditangkal melalui kebijakan PPN PMSE (Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) di tahun 2020. Tarif PPh badan juga telah diturunkan untuk meningkatkan daya saing pelaku usaha dalam negeri.
Sejak awal pandemi, DJP juga makin mengakselerasi layanan digitalnya. Proses pendaftaran NPWP secara penuh dilakukan melalui elektronik, demikian pula dengan proses perpanjangan sertifikat digital Pengusaha Kena Pajak (PKP). Berkolaborasi dengan beberapa marketplace, DJP menambah alternatif kanal pembayaran daring.
Di bidang teknologi, DJP memperluas pemakaian aplikasi pembuatan bukti potong elektronik, menambah jenis aplikasi pelaporan (e-Form PDF), dan mengubah pelaporan faktur PPN menjadi berbasis web. Tak terhitung aplikasi pendukung lainnya seperti e-Objection (kanal mengajukan keberatan) dan e-PHTB (kanal validasi pembayaran atas PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan).
Untuk mengakomodasi fasilitas perpajakan yang diberikan pemerintah, DJP menambahkan fitur iKSWP dan e-Reporting dalam akun pajak wajib pajak. Proses bisnis DJP pun berubah secara drastis.
Kantor pajak membuka layanan melalui surel dan 10 nomor yang dapat dihubungi via aplikasi percakapan. Semua nomor tersebut dapat dicari wajib pajak melalui situs resmi pajak. Bila layanan tersebut masih belum memadai, Kring Pajak 1500200 dapat diakses melalui telepon, live chat, dan akun Twitter. Layanan transaksionalnya pun ditambah secara bertahap.
Melalui program 3C (Click, Call, Counter), wajib pajak akan diarahkan untuk menyelesaikan kewajiban perpajakannya melalui situs web pajak.go.id atau melalui PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan); atau melalui telepon ke Kring Pajak; sehingga ke depannya kantor pajak dapat lebih fokus dalam pengawasan kepatuhan.
Setelah melewati tahap membaca sinyal perubahan dan sedang berada di “medan pertempuran”, DJP juga telah menentukan pilihan untuk menghadapi disrupsi. Selain menciptakan berbagai regulasi dan inovasi di bidang teknologi (create), DJP juga mengurangi layanan manualnya (reduce).
Puncaknya, reorganisasi (reshape) besar-besaran dimulai per 24 Mei 2021. Terjadi perubahan tugas, fungsi, dan susunan organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020. Ada 15 instansi vertikal DJP yang mengalami perubahan nomenklatur, terjadi perubahan wilayah kerja pada 28 instansi vertikal DJP, serta penambahan dari semula 20 KPP Madya menjadi 38 KPP Madya.
Pengemudi dan Penumpang
Dalam buku “Disruption”, Rhenald Kasali memberikan beberapa rekomendasi bagi organisasi yang sedang berproses mendisrupsi diri. Pertama, memetakan SDM untuk mengetahui mana yang bermental pengemudi (tangkas mengikuti perubahan) atau penumpang (yang enggan berubah), lalu mengidentifikasi mana pengemudi dan penumpang yang baik atau buruk (membagi empat jenis SDM menurut Kasali).
Kedua, organisasi harus mempersiapkan program karier kedua untuk SDM bermental pengemudi buruk, sebab dapat menularkan mental tersebut ke ketiga tipe SDM lainnya. Tipe penumpang buruk dan tipe penumpang baik masih bisa diikutsertakan dalam proses perubahan asal tipe pengemudi baik mendominasi.
Ketiga, melakukan transformasi dari SDM bermental penumpang buruk menjadi penumpang baik dalam jumlah masif. Keempat, menambah kuantitas SDM bermental penumpang baik. Kelima, menerapkan program perubahan kepemimpinan dan disrupsi diri. Keenam, meremajakan organisasi. Ketujuh, membuat program yang menjembatani generasi tua dengan generasi milenial. Terakhir, membentuk tim pemungkas yang meneruskan organisasi pada masa depan.
Delapan rekomendasi ini cukup relevan dengan kondisi DJP. Mau tidak mau, SDM DJP harus mau berubah. Organisasi diharapkan semakin lincah seiring dengan bertambahnya pemangku jabatan fungsional, pekerjaan manual digantikan aplikasi, dan para pegawai milenial perlahan namun pasti mendominasi postur SDM DJP.
Bagaimanakah proses perubahan ini nantinya akan berakhir? Ada baiknya kita mengutip Shakespeare, “Bukanlah bintang-bintang yang memandu takdir kita, melainkan diri kita sendiri.”
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 1694 views