Oleh: Tobagos Manshor Makmun, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada hakikatnya, kewajiban yang benar-benar melekat pada setiap wajib pajak adalah Pajak Penghasilan (PPh). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Penghasilan sendiri didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Namun, bukankah terdapat kewajiban pajak yang lain? Undang-undang kita menyebutkan Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan, juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain kewajiban pajak atas penghasilannya sendiri—lazim disebut PPh Pasal 25/29—banyak wajib pajak yang diwajibkan melakukan pemotongan/pemungutan dan penyetoran atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain, juga memungut PPN atas transaksi penyerahan yang dilakukan. Menurut penulis, posisi sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak bisa diibaratkan sebagai agen pemerintah. Wajib pajak tersebut berada dalam posisi membantu pemerintah untuk mengumpulkan penerimaan. Dalam kondisi seperti itu, seyogyanya pemerintah menciptakan sebuah sistem yang membuat kewajiban tambahan tersebut tidak terlalu membebani wajib pajak.

Salah satu masalah klasik yang sering dihadapi wajib pajak adalah saat petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan penyandingan data Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pajak masukan PPN dengan DPP pemotongan/pemungutan PPh. Penyandingan ini biasa dilakukan oleh petugas sebagai salah satu tahap dalam pengujian kepatuhan wajib pajak. Lazimnya memang akan terjadi selisih. Perbedaan yang terjadi bisa karena beda waktu, misalnya masa pembayaran tagihan yang merupakan saat terutangnya PPh tidak sama dengan masa penerbitan atau pengkreditan pajak masukan. Perbedaan juga mungkin terjadi karena terdapat transaksi pembelian barang dan jasa dalam satu faktur. Dalam proses penyandingan tersebut, petugas akan melakukan rekapitulasi DPP seluruh Pajak Masukan selama satu tahun yang terindikasi terdapat transaksi jasa, lalu membandingkan dengan jumlah DPP pemotongan/pemungutan PPh.

Tidak ada yang salah dari prosedur yang dilakukan oleh petugas. Fungsi pengawasan mengharuskannya untuk memastikan wajib pajak telah melakukan pemotongan/pemungutan pajak secara benar. Namun, saat proses penyandingan tersebut dimulai, sebenarnya sudah ada hambatan yang terjadi dari sisi petugas. Hambatan tersebut adalah tidak terdapat sistem yang bisa memilah mana faktur yang hanya berisi transaksi penyerahan barang, mana faktur yang hanya berisi transaksi penyerahan jasa, dan mana faktur yang berisi transaksi penyerahan barang dan jasa. Hambatan tersebut berlanjut pada saat wajib pajak memberikan klarifikasi atas selisih DPP. Wajib pajak memerlukan usaha yang cukup menyita waktu saat harus memilah masing-masing transaksi pada faktur pajak masukan, kemudian menyandingkannya dengan bukti pemotongan/pemungutan PPh.

Solusi yang Diperlukan

Penulis berpendapat, perlu dilakukan sedikit modifikasi pada formulir pengisian faktur pajak dan bukti potong PPh. Pengisian faktur pajak yang mengacu pada PER-24/PJ/2012 dan aturan perubahannya sebenarnya telah mencakup informasi yang cukup lengkap, meliputi uraian transaksi, jumlah barang, harga satuan, harga total, diskon, selain DPP dan PPN terutang tentunya. Informasi tersebut akan makin memudahkan apabila ditambah satu kolom lagi berupa kode jenis transaksi. Dengan tambahan kode tersebut akan memudahkan petugas maupun wajib pajak saat melakukan pemilahan mana transaksi yang merupakan penyerahan barang dan mana transaksi yang merupakan penyerahan jasa. Sekilas, penambahan kolom isian memang seperti merepotkan, tetapi penulis percaya dengan tambahan satu kolom itu akan menghemat banyak waktu dan tenaga saat diperlukan penyandingan DPP Pajak Masukan dan Pemotongan/Pemungutan PPh.

Perubahan juga perlu dilakukan pada kolom isian bukti potong PPh. Menurut penulis, perlu ditambahkan kolom referensi berupa nomor faktur pajak. Dengan tambahan kolom nomor referensi tersebut penulis berharap data yang dimiliki wajib pajak –yang juga tersaji pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak-- cukup jelas dan lengkap. Pada sisi wajib pajak, data tersebut bisa memperkuat sistem pengawasan internal, sedangkan dari sisi DJP data tersebut juga memudahkan untuk melakukan pengawasan. Petugas maupun wajib pajak tidak perlu lagi melakukan rekapitulasi dan penyandingan secara manual.

Idealnya, tambahan kolom referensi berupa nomor faktur pajak tersebut merupakan isian yang terintegrasi dalam sistem. Menurut penulis, hal itu bukan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Sama halnya seperti prepopulated bukti potong PPh Pasal 21 pada aplikasi efiling SPT Tahunan Orang Pribadi, juga prepopulated Pemberitahuan Impor Barang (PIB), prepopulated Pajak Masukan (PM), serta prepopulated Value Added Tax (VAT) Refund pada aplikasi berbasis web, efaktur 3.0.

Seperti telah dibahas pada bagian awal tulisan ini, posisi pemotong/pemungut bisa diibaratkan sebagai agen yang membantu pengumpulan penerimaan negara. Menurut penulis, menjadi tugas DJP untuk menciptakan sebuah sistem yang bisa menekan biaya kepatuhan “agen” dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Modifikasi pada formulir pengisian faktur pajak dan bukti potong PPh bisa menjadi satu bagian kecil di antaranya.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.