Mengulik Pajak Penghasilan Jasa Konstruksi

Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada tahun 2021, Pemerintah merencanakan Proyek Strategis Nasioanl dengan alokasi sekitar Rp464 triliun sesuai RKP (Rencana Kerja Pemerintah). Data lain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, menyebutkan kebutuhan untuk infrastruktur jangka waktu tahun 2020-2024, menyentuh Rp2.058 triliun. Kebutuhan ini meliputi sumber daya air (577 T), jalan dan jembatan (573 T), permukiman (128 T) dan perumahan (780 T). Angka lain dari BCI Asia menyebutkan prediksi proyek konstruksi Indonesia untuk tahun 2021, yaitu Rp197,8 T untuk proyek gedung, sektor residensial Rp52,4 T dan konstruksi industri Rp16,7 T.
Bisnis jasa konstruksi akan mendorong penerimaan pajak apabila penyetoran dan pemotongan PPh Final atas Jasa Konstruksi dilakukan secara benar. Selain penyetoran, perlu ditilik kepatuhan dan kebenaran pelaporan SPT Masa PPh Final atas Jasa Konstruksi.
Pekerjaan jasa konstruksi meliputi jasa konsultasi perencanaan, jasa pelaksana, dan jasa pengawasan konstruksi. Aturan Pajak Penghasilan atas Jasa Konstruksi diatur berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU Pajak Penghasilan dan diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Atas pekerjaan pelaksanaan jasa konstruksi dikenakan tarif PPh Final sebesar 2 persen sampai 4 persen sedangkan perencanaan konstruksi dan pengawasan dikenakan 4 persen sampai 6 persen. Dalam hal wajib pajak yang tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha, maka pengenaan PPh atas jasa konstruksi menggunakan PPh Pasal 23 untuk wajib pajak Badan dan PPh Pasal 21 wajib pajak orang pribadi.
Mekanisme Penyetoran
Pemenuhan pembayaran PPh Final Usaha Jasa Konstruksi dapat dilakukan melalui (a) pemotongan atau pemungutan oleh pengguna jasa (konsumen) dan (b) pembayaran melalui penyetoran sendiri oleh kontraktor jasa konstruksi. Jika pengguna jasa konstruksi berstatus sebagai pemotong PPh, maka pemenuhan kewajiban dilakukan melalui pemotongan PPh oleh pengguna jasa itu sendiri. Apabila pengguna jasa bukan pemotong PPh, maka kontraktor wajib menyetorkan sendiri PPh jasa konstruksi yang terutang.
Batasan pembayaran dan pelunasan PPh Final usaha jasa konstruksi maksimal tanggal sepuluh bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh oleh pengguna jasa dan tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran oleh pemberi jasa (kontraktor). Pemotong dan pemungut PPh jasa konstruksi wajib melaporkan pemotongan dan pemungutan tersebut maksimal tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh. Batasan tanggal pelaporan ini juga berlaku untuk pengusaha jasa konstruksi menyetor sendiri PPh jasa konstruksi.
Jika ada selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri, maka atas selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
Kendala PPh Jasa Konstruksi
Jamaknya di negara lain, Indonesia juga menerapkan tata cara pemotongan dan pemungutan pajak (withholding tax). Sistem ini dipilih untuk memudahkan wajib pajak karena penghasilan yang seharusnya diterima oleh wajib pajak, terlebih dahulu dipotong atau dipungut pajak. Walaupun tentu saja, ini menuntut pekerjaan administrasi dari pihak pemotong/pemungut pajak.
UU Pajak Penghasilan Nomor 28/2006 menyatakan bahwa pelunasan PPh terutang dilakukan sendiri oleh wajib pajak atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain. Dalam hal pelunasan PPh dilakukan melalui pemotongan/pemungutan, maka pihak pemotong /pemungut harus membuat bukti pemotongan/pemungutan. Bukti ini diberikan kepada pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut sebagai bukti pelunasan pajak.
Kendala terjadi pada praktek lapangan. Kewajiban pembuatan bukti potong PPh jasa konstruksi dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 seringkali tidak dilakukan oleh pemotong PPh, dalam hal ini Bendahara. Akibatnya, pemberi jasa konstruksi tidak mendapatkan bukti potong PPh Final Pasal 4 ayat 2 walaupun penghasilan atas jasa konstruksi telah dipotong PPh Final Pasal 4 ayat 2 oleh Bendahara.
Problem ini berlanjut ke pelaporan SPT Pajak Penghasilan Badan. Pelaporan SPT PPh Badan hanya mewajibkan data bukti potong PPh non Final yang dilaporkan secara detil (meliputi nama dan NPWP pemotong pajak, nomor bukti pemotongan/pemungutan, dan nilai Pajak Penghasilan yang dipotong/dipungut).
Pengisian SPT PPh Badan tidak mewajibkan adanya lampiran bukti potong PPh Final, termasuk bukti potong PPh Final jasa konstruksi. Kasus yang ada, banyak wajib pajak konstruksi melaporkan PPh Final atas jasa konstruksi, namun setelah diteliti, tidak ada bukti potong PPh Final jasa konstruksi yang dilaporkan oleh Bendahara.
Mengulik Jasa Konstruksi
Ada solusi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengawasan PPh Jasa Konstruksi. Pertama, penyetoran PPh Jasa Konstruksi oleh pengguna jasa, wajib menggunakan NPWP penyedia jasa konstruksi. Hal ini memudahkan pengawasan fiskus karena pembayaran PPN jasa konstruksi yang dipungut oleh Bendahara/Pemungut sudah menggunakan NPWP penyedia jasa konstruksi. Kewajiban penyetoran PPh Jasa Konstruksi dengan NPWP penyedia jasa konstruksi dapat dipersandingkan dengan PPN jasa konstruksi yang dipungut oleh Bendahara/Pemungut.
Kedua, mewajibkan perusahaan jasa konstruksi untuk mencantumkan bukti potong/pungut PPh Jasa Konstruksi pada SPT Tahunan PPh Badan. Selama ini pengisian form lampiran 1771-IV SPT Badan, tidak ada underlying bukti potong/pungut PPh Jasa Konstruksi. Bisa jadi Bendahara/Pemungut PPh jasa konstruksi sudah memungut pajak penghasilan, tetapi tidak ada bukti potong/pungut. Hal ini menyulitkan pengawasan.
Ketiga, terkait pengembalian pendahuluan restitusi PPN sesuai PMK No.39 tahun 2018, perlu ada penelitian data setoran PPh jasa konstruksi dan bukti potong/pungut jasa konstruksi untuk lebih bayar kurang dari Rp1 miliar. Jika wajib pajak jasa konstruksi ternyata tidak memiliki bukti potong/pungut jasa konstruksi dari Bendahara/Pemungut, restitusi PPN diproses dengan pemeriksaan dan bukan pengembalian pendahuluan. Dengan demikian, fiskus bisa memastikan bahwa PPh jasa konstruksi telah disetor dengan benar. Aturan ini bisa memaksa Bendahara/Pemungut untuk lebih tertib dalam mengelola pembayaran dan pelaporan PPh jasa konstruksi.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 15427 views