Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

"Duren-duren, Kopi-kopi; Biyen-biyen, Saiki-saiki." Satu pantun yang disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, ini cukup menarik perhatian saya. Pantun yang ingin menggambarkan keseriusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memerangi korupsi dan menyuarakan antikorupsi di lingkungan DJP. Satu pantun yang dalam bahasa Jawa berarti "Dulu-dulu, Sekarang-sekarang," ini pernah juga diutarakan oleh mantan Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), usai penetapan pemenang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur di tahun 2018. Pantun ini mengajak seluruh masyarakat untuk melupakan rivalitas masa lalu saat sebelum pemilihan dan menatap masa sekarang bersama kepala daerah yang baru.

Pantun yang cukup sering diutarakan oleh Dirjen Pajak dalam sesi-sesi penguatan mental pegawai ini, kembali disampaikan Dirjen Pajak dalam suatu acara talk show dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2020 di DJP pada tanggal 3 Desember 2020. Pantun ini merupakan ajakan orang nomor satu di DJP  khususnya kepada seluruh pegawai DJP untuk melupakan kesalahan-kesalahan masa lalu dan menatap masa sekarang ini dengan memegang teguh semangat dan perilaku antikorupsi. Tidak ada toleransi terhadap pelanggaran integritas bagi para pegawai DJP.

Tidak dapat kita mungkiri, DJP merupakan salah satu instansi yang cukup rentan terhadap praktik korupsi. Sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan penerimaan negara, pegawai DJP boleh jadi sering dihadapkan pada “godaan-godaan” untuk meraup keuntungan pribadi dengan perbuatan melanggar hukum dan mengorbankan kepentingan masyarakat. Sejarah juga menjadi saksi praktik-praktik korupsi yang pernah terjadi di DJP. Yang paling fenomenal tentu saja "Kasus Gayus" pada tahun 2010-2011. Bagaimana tidak, kasus ini terjadi di tengah Reformasi Perpajakan Jilid II yang dilaksanakan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2014. Kasus ini tentu saja mencoreng DJP yang saat itu sedang gencar-gencarnya menggaungkan reformasi perpajakan di Indonesia.

Kasus tersebut kembali membuat DJP menjadi sorotan masyarakat. Bahkan sampai sekarang, walaupun telah lewat satu dasawarsa sejak kasus tersebut, masih banyak yang beranggapan bahwa DJP adalah Gayus. Ketika mendengar kata pajak, masih banyak masyarakat yang teringat dengan Gayus. Hal ini terus menghantui DJP dengan stigma-stigma negatif yang beredar di masyarakat. Kenyataan ini makin diperparah dengan masih ditemukannya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum pegawai pajak yang tidak bertanggung jawab pasca kasus Gayus tersebut. Namun, tidak juga dapat dimungkiri bahwa dalam perjalanan berikutnya, tidak sedikit juga pihak-pihak yang menyoroti perubahan positif yang dilakukan oleh DJP, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak yang sangat berbeda (dalam artian positif) dengan pelayanan di instansi pemerintahan lain.

Kenyataan masih adanya suara miring terhadap DJP menjadi tantangan bagi DJP untuk membuktikan bahwa perubahan di instansi ini adalah nyata dan bukan sekadar slogan belaka. Berbagai program yang mendukung semangat dan perilaku antikorupsi pun dilakukan oleh DJP. Penguatan nilai-nilai Kementerian Keuangan, penguatan unit kepatuhan internal, whistle blowing system, penyesuaian tunjangan kinerja pegawai, program knowing your employees, komitmen zona integritas, wilayah bebas korupsi, dan wilayan birokrasi bersih dan melayani adalah beberapa di antaranya. Sosialisasi internal kepada seluruh pegawai juga tidak bosan-bosan dilakukan di seluruh unit kerja di lingkungan DJP.

Namun, untuk memastikan semangat dan perilaku antikorupsi tetap dijalankan secara konsisten, DJP perlu dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya para wajib pajak yang sering berhubungan atau berkomunikasi dengan petugas pajak. Bagaimanapun juga, sebagai pihak yang banyak berinteraksi dengan petugas pajak, wajib pajak juga memiliki peran untuk menihilkan praktik korupsi yang terjadi dalam kaitannya dengan perpajakan. Oleh karena itu, semangat dan perilaku antikorupsi sangat perlu untuk juga melekat di hati sanubari para wajib pajak sebagai bentuk pengawasan kepada petugas pajak dalam upaya menghindari praktik korupsi di bidang perpajakan.

Kenyataan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih di angka 40 (skala 0-100), peringkat 90 dari 180 negara, dan masih jauh dari IPK negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia menunjukkan bahwa negeri ini masih menghadapi masalah pelik yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya untuk menjamin perbaikan di generasi berikutnya. Kementerian Keuangan dan DJP berusaha menjadi pionir semangat dan perilaku antikorupsi di Indonesia, yang dimulai dari menanamkan semangat dan perilaku antikorupsi di hati sanubari seluruh pegawainya. Langkah ini semoga juga diikuti oleh instansi lain dan seluruh masyarakat Indonesia untuk terus menggaungkan semangat dan perilaku antikorupsi di tengah-tengah masyarakat.

Pada akhirnya, korupsi adalah masalah moral. Sebaik apa pun sistem yang dimiliki, masih ada peluang penyalahgunaan yang bisa dilakukan. Bahwa Indeks Perilaku Antikorupsi (PIAK) Indonesia di tahun 2020 yang ada di angka 3,84 (skala 0-5), meningkat 0,14 dari tahun 2019 yang ada di angka 3,70, menunjukkan ada perbaikan perilaku masyarakat dalam menyikapi korupsi di Indonesia. Namun, kita tidak boleh puas hanya sampai di sini. Pendidikan moral anak-anak bangsa mutlak menjadi perhatian dalam memberantas korupsi di Indonesia. Pengetahuan serta semangat dan perilaku antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini. Antikorupsi sangat perlu untuk menjadi budaya di masyarakat.

Mengutip semangat 3M yang dipopulerkan oleh K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), "Semangat dan perilaku antikorupsi perlu dibiasakan untuk dilakukan mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang." Semoga negara kita menjadi negeri yang bebas dari korupsi dengan generasi penerus bangsa yang memiliki semangat dan perilaku antikorupsi. Lupakan masa lalu, fokus masa sekarang dengan memperkuat integritas, meningkatkan profesionalisme, menjunjung sinergi, mengutamakan pelayanan, dan menggapai kesempurnaan untuk menjadikan negeri ini bebas dari korupsi. Biyen-biyen, Saiki-saiki.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.