Makin Kompetitif, Pemerintah Pangkas Tarif Pajak Badan

Oleh: Made Yogi Dwiyana Utama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pajak merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintah suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Kebijakan pajak memiliki dua fungsi utama, yaitu budgetair dan regulerend. Fungsi budgetair atau dikenal dengan fungsi anggaran adalah fungsi pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara, selain Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah dalam struktur penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Uang yang terkumpul dari pemungutan pajak akan dikelola dan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah serta menyediakan barang dan jasa publik untuk masyarakat. Dari kegiatan tersebut diharapkan akan terjadi multiplier effect sehingga mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negara.
Di sisi lain, pajak juga memiliki fungsi regulerend, yaitu fungsi pajak untuk mengatur perekonomian suatu negara. Kebijakan pajak mampu mengubah tingkat supply dan demand dalam perekonomian. Hal ini digunakan pemerintah untuk mengarahkan perekonomian ke tingkat yang paling optimal, di mana pajak yang dipungut mampu membiayai APBN tetapi di saat yang bersamaan juga mampu memastikan perekonomian negara tidak terlalu terbebani dari kebijakan pemungutan pajak. Salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk dapat mencapai hal tersebut adalah melalui penyesuaian tarif pajak.
Ada berbagai jenis dan tarif pajak yang berlaku di Indonesia saat ini. Pajak penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Saat ini PPh Badan (baik migas maupun non migas) memiliki kontribusi terbesar terhadap pendapatan perpajakan dibandingkan jenis pajak lain.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Badan yang berlaku di Indonesia ditetapkan sebesar 25% sejak tahun pajak 2010. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2015 untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka (PT) dapat diberikan penurunan tarif sebesar 5% dari tarif umum PPh Badan yang berlaku. Penurunan tarif tersebut diberikan sepanjang Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentu PT memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
- saham sebagaimana dimaksud dalam angka 1 harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus) Pihak;
- masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 2 hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
- ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3 harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
dari ketentuan tersebut dapat dikatakan tarif PPh Badan yang diterapkan di Indonesia berada pada range 20-25%.
Data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan rata-rata tarif PPh Badan tahun 2019 yang diterapkan oleh negara-negara di dunia adalah sebesar 23% dan untuk negara-negara ASEAN sebesar 22,35%. Jika dibandingkan dengan tarif PPh Badan yang diterapkan di Indonesia, tarif PPh Badan Indonesia relatif lebih tinggi dibanding rata-rata tarif PPh Badan negara tetangga dengan pertimbangan bahwa tidak semua Wajib Pajak Badan dapat menikmati pengurangan tarif 5% sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki karakteristik perekonomian dan tingkat kepatuhan pajak yang berbeda. Sehingga tarif pajak yang rendah belum tentu mencerminkan tarif pajak yang optimal bagi perekonomian negara tersebut.
Kondisi perekonomian global yang sangat dinamis membuat setiap negara dituntut untuk mampu membuat kebijakan-kebijakan, termasuk kebijakan perpajakan, yang optimal sehingga mampu bertahan dan memiliki daya saing yang tinggi. Apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 di mana pemerintah dituntut untuk mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang singkat. Pandemi Covid-19 tidak hanya mendatangkan masalah kesehatan dan penanganan virus, tetapi juga menyisakan permasalahan ekonomi yang harus dituntaskan.
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020 yang selanjutnya disahkan dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah menetapkan penurunan tarif PPh menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 20% mulai tahun pajak 2020. Selain itu, Pemerintah memberikan tambahan pengurangan tarif PPh sebesar 3% untuk Wajib Pajak Badan berbentuk PT yang 40% dari jumlah saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia serta telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka, antara lain:
- paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
- saham sebagaimana dimaksud pada angka 1 harus dimiliki oleh paling sedikit 300 (tiga ratus) Pihak;
- masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud pada angka 2 hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
- ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3 harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak; dan
- pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh Wajib Pajak Perseroan Terbuka dengan menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Jika kita bandingkan dengan ketentuan sebelumnya, dapat kita lihat bahwa secara substansi tidak banyak perubahan yang terjadi pada PP Nomor 30 tahun 2020 selain jumlah penurunan tarif PPh Badan yang sebelumnya 5% saat ini menjadi 3%. Sehingga dengan beleid terbaru ini, tarif PPh Badan Indonesia berada pada range 19-22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 serta 17-20% mulai tahun pajak 2022. Dibandingkan dengan data sebelumnya, tarif PPh Badan Indonesia saat ini relatif lebih rendah. Dengan tarif pajak yang lebih rendah masyarakat dan investor akan cenderung lebih tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Sehingga mampu mempercepat pemulihan ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Investasi merupakan unsur penting dalam perekonomian nasional. Dengan investasi yang tepat perekonomian suatu negara dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat dari multiplier effect yang dihasilkan. Terdapat beberapa faktor yang menentukan keputusan berinvestasi, seperti tingkat pengembalian investasi (yield), risiko investasi, situasi ekonomi nasional, keamanan nasional, dan pajak seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
Kebijakan penuruan tarif PPh Badan juga dapat mengikis penerimaan pajak tahun berjalan. Penerimaan negara dari PPh Badan dapat terkontraksi hingga Rp80 triliun (Indopremier, 11 Februari 2020). Namun, perlu diingat bahwa dengan berkurangnya beban pajak, wajib pajak memiliki lebih banyak sumber daya untuk ekspansi usaha. Sehingga usahanya semakin besar dan berkembang, yang pada akhirnya mampu mendatangkan pajak yang lebih besar di masa yang akan datang.
Dari paparan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pajak memang bukan satu-satunya faktor, bahkan bukan faktor utama, yang mempengaruhi keputusan berinvestasi, tetapi dengan tarif pajak yang rendah, suatu negara tentu akan menjadi opsi tempat berinvestasi yang lebih menarik. Selain itu, tarif pajak yang rendah juga tidak serta merta meningkatkan meningkatkan voluntary compliance wajib pajak dan bahkan dapat membuat defisit penerimaan pajak dalam jangka pendek, tetapi dengan tarif pajak yang lebih rendah wajib pajak memiliki lebih banyak sumber daya untuk mengekspansi bisnis dan usahanya. Hal ini tentunya akan menambah basis pajak yang dapat meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis
- 1407 views